Rabu, 19 September 2012

Perihal Perempuan Di Kotaku

Siapa bilang malam Minggu adalah malam yang panjang. Saya bilang malam Sabtu atau Jum'at malamlah yang paling panjang. Saya tak perlu memberi tahu alasannya. Anda yang bekerja dari Senin hingga Jum'at dan libur pada Sabtu-Minggu pasti tahu.

Pernah hampir disetiap akhir pekan kami rutin mengunjungi sebuah mall dan nongkrong di salah satu tempat makan yang ada disana. Kami biasanya memilih meja dengan view yang memberikan pemandangan pada jalan masuk pengunjung mall. Pada posisi ini, jika Anda pandai membaca peluang pasar maka Anda akan langsung tahu produk apa yang akan laku keras disini. Ya, kota ini adalah surganya pakaian mini.

Di tempat makan tadi, kalau sedang tak ingin makan saya biasanya memesan secangkir teh. Cangkir teh disitu cukup besar. Dua kali besarnya jika dibandingkan dengan cangkir teh di kantorku yang biasa dihidangkan di atas meja kerjaku. Suatu kali saya mencoba memesan secangkir coklat hangat. Setelah menghabiskannya, saya berbisik kepada teman-teman yang bersama saya waktu itu: "Lain kali saya sudah tahu apa yang akan saya pesan kalau kesini lagi", sambil saya menunjuk cangkir yang telah kosong.

Pernah disuatu kunjungan nongkrong kami berikutnya, kami memilih meja yang agak di pojok. Walaupun agak di pojok namun masih tetap strategis untuk dapat mengamati lalu-lalang perempuan-perempuan berbalut pakaian mini.

Dan, lihat.. beberapa meja di depan sana. Kau lihat? Perempuan itu, yang memakai jilbab itu. Yang duduk sendiri itu. Mungkin saja dia memesan secangkir teh hangat juga, atau mungkin secangkir cokelat hangat.

Di kota ini saya seringkali dibuat takjub ketika melihat perempuan yang mengenakan jilbab. Mereka punya aura tersendiri tatkala berada di antara mereka-mereka yang menganggap pakaian mini adalah hal yang biasa. 

Namun ada ketakjuban jenis lain ketika dihari itu saya memperhatikan perempuan berjilbab yang duduk sendiri pada meja di depan sana. Jilbabnya membingkai pas pada wajah cantiknya, dipadu dengan pakaian yang menutupi tinggi tubuhnya yang semampai. Perempuan ini sepertinya tidak suka memakai busana yang hanya sekedar pembungkus tubuh yang menampakkan lekukan-lekukan anggota tubuhnya. Perempuan ini memakai pakaian yang selayaknya perempuan yang disebut berhijab. Di meja itu ia duduk sendiri, kepalanya menunduk acuh. Tampaknya ia sedang asyik memainkan blackberry yang ada di genggamannya. Dan pada tangan yang satu, jari-jarinya mengapit sebatang rokok. Sesekali rokok itu dihisapnya. Asap rokok mengepul di sekitar mejanya. Saya tak menyangka. Seketika itu saya takjub. Sebuah ketakjuban yang benar-benar lain. Pikiran saya tiba-tiba dihinggapi banyak pertanyaan, banyak penilaian. Di kota ini saya memang tidak sulit untuk menemukan perempuan-perempuan yang menghisap rokok di tempat-tempat umum. Tidak ada perasaan risih sedikit pun yang mereka tampakkan.

Jangan salah. Merokok itu bukan persoalan gender. Ia adalah persoalan kesehatan. Sudah lama saya berhenti merokok.

Pernah pula suatu sore saya mendapati diri ini harus terburu-buru mengejar jamaah maghrib yang sudah dimulai. Saya mengambil wudhu lalu menuju tangga mesjid. Di tangga itulah saya berpapasan dengan perempuan yang beberapa saat sebelumnya turun dari mobil. Perempuan itu nampaknya juga bergegas mengejar jamaah maghrib yang hampir usai. Ia menuju lemari berisi mukena pada barisan shaf perempuan yang berada di belakang. Kulitnya putih mulus, rambutnya hitam terawat dan panjang hingga melewati bahu. Ia mengenakan pakaian terusan yang tak berlengan. Pakaian itu memperlihatkan sebagian punggung hingga keseluruhan lengannya yang putih mulus itu. Terusan yang ia pakai nampaknya tidak cukup panjang untuk menutupi keseluruhan betisnya. Salah kostumkah perempuan itu? Saya tidak tahu. Yang saya tahu pakaiaannya sangat menggoda dan menantang imajinasi. Jika nanti saya sudah beristri, saya akan meminta isteriku untuk berdandan dan memakai busana seperti perempuan di tangga mesjid itu. Saya akan meminta isteriku berdandan seperti itu di rumah. Hanya di rumah saja, dan pasti saya betah.

Malam ini saya menulis lagi. Saya teringat pada salah seorang perempuan yang menjadi kawan saya. Dia pernah menulis: "Seandainya keimanan seseorang hanya didasarkan pada penampilan luar saja, maka betapa mudahnya masuk surga".

* * *

1 komentar: