Minggu, 25 November 2012

Salam Buat Keluarga Di Rumah

Minggu lalu saya ke Makassar. Saya terbang dengan pesawat Lion Air. Untuk rute Manado-Makassar, maskapai ini punya dua jadwal penerbangan. Pagi jam 06.45 dan siang jam 02.45. Saya mengambil jadwal yang siang hari itu.

Sebelum berangkat saya sudah menghubungi adik saya yang di Makassar untuk menjemput. Penerbangan Manado-Makassar menempuh waktu kurang lebih 90 menit. Maka saya bilang ke adik saya agar setengah lima sore dia sudah harus berada di bandara.

Sebenarnya akan lebih nyaman jika menyewa taksi. Tapi saya pikir biarlah saya dijemput dengan sepeda motor. Jalanan pasti macet. Dengan sepeda motor akan lebih cepat sampainya. Kemacetan biasanya terjadi di sekitaran pasar Mandai pas baru keluar dari jalan bandara. Namun, minggu lalu itu sepertinya arus lalu lintas lancar-lancar saja. Saya tanya ke adik saya, apakah ini karena hari ini hari libur? Kebetulan memang minggu lalu itu adalah libur 1 Muharram. Tidak berapa lama kami pun sampai ke tempat adik saya.

Bulan Januari nanti Sulawesi Selatan akan melaksanakan Pemilukada, Pemilihan Gubernur. Di beberapa ruas jalan yang sempat saya lewati telah banyak spanduk-spanduk pasangan Calon Gubernur yang mencoba menarik simpati masyarakat Makassar. Di beberapa tempat saya juga sempat melihat tulisan yang menunjukkan posko-posko pemenangan para pasangan.

Selain hiruk-pikuk pemilukada, saya juga meyaksikan Makassar yang sedang bergeliat. Pembangunan dimana-mana. Ekonomi kota itu nampaknya terus bertumbuh. Saya sempat melewati jalan Hertasning Baru, sepertinya di kawasan itu akan dikembangkan menjadi kawasan perumahan. Sawah-sawah yang ada di sekitarnya tidak lama lagi mungkin juga akan beralih fungsi. Di jalan yang lainnya, pembangunan ruko-ruko baru juga tidak kalah banyaknya saya temui.

Lapangan futsal juga bertambah. Lapangan-lapangan baru banyak bermunculan di sekitaran jalan Perintis Kemerdekaan. Beberapa tahun lalu hanya ada lapangan futsal Tango di eks gedung Goro di jalan Pettarani sana. Sekarang kalau ke Makassar ada banyak pilihan tempat untuk mengundang teman-teman bermain futsal.

Beberapa hari berada di Makassar, saya lalu membandingkannya dengan Manado. Di Manado kita masih bisa merasakan kenyamanan jika berjalan kaki. Jalan-jalannya memang tidak selebar di Makassar tetapi di kiri kanannya selalu terdapat trotoar yang berfungsi sesuai peruntukannya. Di Manado banyak sekali jalur jalan yang hanya bisa dilewati oleh dua mobil yang berjalan bersisian. Perbandingannya barangkali seperti ini. Satu jalur jalan di Makassar sama dengan dua setengah kali jalur jalan di Manado.

Matahari di Manado juga tak semenyengat di Makassar. Panasnya mungkin sama, tapi sengatannya berbeda. Bisa jadi ini pengaruh tambahan panas mesin-mesin kendaraan yang lalu-lalang di jalan. Banyak teman yang kini juga sering mengeluhkan macetnya jalan-jalan di Makassar, ditambah lagi jika terjadi demonstrasi Mahasiswa.

Membanding-bandingkan Makassar dengan Manado, saya merasa masih lebih nyaman memang tinggal di Manado. Namun, Manado juga terus bertumbuh. Iklim investasi disini juga sedang bagus. Pembangunan juga sedang bergeliat. Di jalan-jalan di Manado yang sempit ini, lebih banyak saya jumpai mobil daripada motor. Perhatikanlah jika berhenti di lampu merah. Hitunglah jumlah mobil dan motor. Mana yang lebih banyak.

Polisi lalu-lintas disini juga telah beberapa kali mengubah jalur jalan untuk mengurai kemacetan. Sampai-sampai Bapak Kapolda Sulut yang baru memberi warning kepada Kapolantas Manado bahwa kalau kemacetan di Manado tidak dapat teratasi maka tidak segan-segan ia akan mengganti Kapolantas tadi. Titik.

Kemacetan sepertinya telah menjadi problem di kota-kota besar saat ini. Beberapa tahun kedepan jika lalu lintas tidak tertangani dengan baik, maka saya memprediksi jualan kampanye Pasangan Calon Gubernur ataupun Calon Walikota pastilah soal bagaimana mengatasi kemacetan di daerah yang akan mereka pimpin. Seperti tuntutan warga Jakarta di Pemilukada yang baru lalu.

Dalam ekonomi yang terus bertumbuh, dengan pendapatan masyarakat yang juga membaik, dengan kemudahan memiliki kendaraan bermotor yang ditawarkan dealer, memang tak ada yang melarang seseorang untuk memiliki mobil ataupun motor. Di jalan yang lebarnya begitu-begitu saja, yang kita lewati setiap pergi dan pulang kerja, kita mesti berbagi ataupun berebut dengan kendaraan lain yang jumlahnya terus bertambah setiap hari. Barangkali di jalan yang macet itu tak jarang kita saling mengumpat, saling menyepelekan satu sama lain.

Akhirnya, kalaupun besok-besok kemacetan di kota-kota tempat kita bekerja terus saja terjadi, kalaupun pekerjaan yang kita lakukan di tempat kerja selalu saja melahirkan lelah, mari berharap kita semua tetap masih punya keluarga yang sakinah menunggu di rumah. Dengan begitu kita selalu punya tempat untuk pulang. Agar kepenatan di jalan mendapatkan oasenya di rumah.

Selamat berakhir pekan. Salam buat keluarga di rumah.

* * *

Begadang Jangan Begadang

Menengok diri sendiri di dalam cermin
saya lihat ia baru bangun
ia ingin mengucapkan selamat pagi
tapi matahari sudah terlalu tinggi

* * *

Kamis, 22 November 2012

17 menit yang lalu

Ini hanya intermezo saja. Mudah-mudahan catatan ini tidak akan panjang. Kalaupun nanti menjadi panjang saya akan tetap melabeli tulisan ini sebagai catatan pendek. Saya menulis catatan ini karena teringat kawan saya. Namanya Fadillah. Namun orang-orang lebih sering memanggilnya dengan Bung Fadil.

O iya, dulu saya hanya tahu kalau di Indonesia ini hanya ada tiga orang yang dipanggil dengan sebutan Bung di depan namanya. Bung Karno, Bung Hatta, Bung Tomo. Tapi belakangan ketika saya bertanya kepada seorang teman tentang sebaiknya saya memanggil ia dengan sebutan apa. Apakah Pak, Bang, Bro, atau Mas. Teman saya itu bilang panggil saja Bung, biar kedengarannya selalu muda. Bukan saja kepada teman ini saya memanggil mereka dengan sebutan Bung, kepada beberapa teman yang lain pun saya sering memanggil demikian. Termasuk kawan saya Bung Fadil tadi.

Saya pernah membaca kalau kata bung itu diambil dari kata rebung yang berarti anak-anak bambu. Panggilan Bung ini diberikan kepada pejuang-pejuang kemerdekaan yang waktu itu bersenjatakan bambu runcing.

Kita kembali ke kawan saya yang bernama Bung Fadil itu. Sejak meninggalkan kampus, saya jadi jarang bertemu dengan kawan yang satu ini. Biasanya komunikasi kami lakukan melalui chat box di fb. Melalui chating-chating ini saya bisa tahu sedikit banyaknya kabar-kabar tentang kampus almamater saya dulu.

Melalui media sosial saya selalu bisa mendapatkan kabar terkini dari teman-teman yang terpisah jauh. Saya rutin mengikuti kabar teman-teman dari update status di akun media sosial mereka. Memang sih, ada juga status-status yang tidak jelas yang hanya untuk seru-seruan saja.

Kawan saya yang Bung Fadil itu sering menulis status: 17 menit yang lalu. Saya tak tahu apa maksudnya. Setahu saya tentang angka 17 itu seringkali muncul diawal film yang waktu kecil dulu saya dilarang untuk menontonnya. 17 tahun keatas.

Belakangan saya tersadar bahwa tulisan 17 menit yang lalu, yang sering ditulis oleh kawan saya itu, akan tetap terbaca sebagai 17 menit yang lalu. Kapan pun kita membacanya. Apakah besok, lusa, bulan depan, ataupun tahun depan. Begitulah barangkali sifat tulisan itu. Ia akan abadi. Seperti kata orang-orang bahwa menulis adalah bekerja untuk keabadian. Hanya penulis yang tak akan mati.
* * *

Minggu lalu ketika ke Makassar saya bertemu dengan kawan saya Bung Fadil tadi. Kami saling menjabat tangan. Dalam jabat tangan itu saya bilang 17 menit yang lalu. Kawan saya itu tersenyum. Mungkin juga malu-malu. Saya tidak sempat menanyakan apa makna 17 menit yang lalu yang sering ia tulis. Jika nanti bertemu lagi saya mungkin akan bilang ini. "Hei Bung Fadil...! Bung Karno dan Bung Hatta memproklamirkan Kemerdekaan Indonesia bukan pada 17 menit yang lalu, tapi pada 17 Agustus 1945".

Seperti janji saya, tulisan ini hanya intermezo saja. Merdeka !

* * *

Kamis, 01 November 2012

Melihat Hijaunya Rumput Sendiri

Saya punya seorang kawan. Sejak SD, SMP, SMA kami selalu satu sekolah. Ia sekarang bekerja di Trans7 TV. Saya tak tahu persis ia bekerja di bagian mana atau untuk acara apa. Saya seringkali membaca status pada akun facebooknya. Hari ini dia di daerah ini, pekan depan sudah di daerah yang lain lagi. Di statusnya di facebook itu kadang saya membaca komentar dari teman-teman kawan saya ini : Asyik ya, jalan-jalan terus.

Ketika mudik pada Lebaran Idul Fitri yang baru lalu, saya bertemu dengan kawan ini. Kami bercerita banyak tentang pekerjaan masing-masing.

Ia, katanya, pernah syuting di sebuah daerah terpencil. Saya sudah lupa apa nama daerahnya. Apakah di Kalimantan, atau di Sumatera. Saking terpencilnya daerah itu, ketika mereka kehabisan uang untuk perjalanan pulang kembali ke Jakarta, mereka terpaksa harus mencari Kantor Pos terdekat. Kantor Pos-lah satu-satunya cara untuk menerima kiriman uang dari Jakarta. Tetapi tidak cukup sampai disitu saja. Mereka harus mengecek terlebih dahulu jumlah uang tunai yang ada di Kantor Pos tersebut. Jika jumlahnya mencukupi untuk kiriman yang mereka minta, barulah wesel pos akan dikirimkan melalui Kantor Pos tadi.

"Saya kadang iri dengan orang-orang kantoran. Saya kadang ingin kerja seperti mereka. Pergi pagi pulang petang dan diakhir pekan menikmati liburan. Saat diakhir pekan pergi syuting pagi-pagi, saat memandang keluar melalui kaca mobil, memandang orang-orang yang bersepeda, saya juga ingin seperti mereka", begitu pengakuan kawan saya tadi.

Tak jarang pula kawan saya ini bekerja hingga subuh hari. Jam-jam selepas tengah malam sangat cocok untuk menulis script acara yang baru saja selesai syutingnya. Kalau sudah begini, pagi-pagi adalah waktu untuk tidur.

Tapi, asyik kan jalan-jalan terus? Bisa mengunjungi berbagai tempat? Banyak yang bertanya seperti itu. Saya pun bertanya demikian kepada kawan ini. 

"Iya, barangkali seperti itu", jawab kawan saya. "Atau, rumput tetangga barangkali memang selalu lebih hijau dari rumput sendiri?" sambungnya lagi.

* * *

Sampai disitu dulu, sudah dulu, ya, hhooamm... Besok pagi saya harus ngantor. :)