Selasa, 29 Oktober 2013

Sakit Perut

Tidak gampang untuk mengamalkan nasehat bahwa sepertiga bagian perut untuk makanan, sepertiga untuk minuman, dan sepertiganya lagi untuk udara. Memang tidak gampang, apalagi jika segala ongkos prosesi mengisi perut tersebut tidak dibebankan pada isi dompetmu. 

Begitulah kira-kira. Semalam saya ditraktir seorang teman. Ia katanya kebetulan lewat di depan kantor saya. Singgahlah ia. Diajaknyalah saya untuk pergi makan. 

"Tunggulah sedikit lagi, masih ada beberapa file di komputer yang harus saya bereskan. Maghrib sepertinya juga sedang menjelang", begitu pesan saya kepada teman ini.

Sebenarnya makanan yang kami makan tadi malam itu biasa-biasa saja. Menu ikan bakar. Makanan nasional yang gampang sekali ditemui di seluruh tanah air kita ini, tak terkecuali di Manado tempatku bermukim sejak tiga tahun lalu. Hanya saja barangkali yang membedakan menu ikan bakar di daerah satu dengan di daerah lain yakni terletak pada bumbu dan sambal yang menemani ikan bakar tadi. Apalah jadinya ikan bakar tanpa sambal yang menendang.

Saya memang sejak dulu hobi makan dengan sambal. Bahkan sejak sambal itu masih dalam bentuk lombok biji. Barangkali disitulah akar persoalannya. Semalam itu menu ikan bakar kami dipadu dengan irisan tomat mentah ditambah dengan lombok biji yang ditumbuk kasar. orang Manado sini bilang dabu-dabu iris. Pernah dengar kan lagu Pulang Jo yang populer dinyayikan oleh Tantowi Yahya? Baiklah saya kutipkan beberapa lirik di lagu itu. Makan batata ubi kayu, rebus di balanga, colo dabu-dabu kapala ikan, ikan roa.... Pulang jo, pulang jo, biar busu-busu ini kampung sandiri. Nah, cita rasa dabu-dabu itulah yang barangkali akan bisa mengajak orang-orang Manado di perantauan sana untuk selalu pulang.

Hmm, dabu-dabu iris. Semalam saya pasti menyantap terlalu lahap dabu-dabu itu. Saking lahapnya saya jadi menambah lagi sepiring nasi. Lalu akhirnya lupalah saya pada nasehat sepertiga perut tadi.

(Beberapa menit setelah menuliskan catatan ini, saya menemukan diri saya sedang nongkrong di dalam toilet kantor sambil memikirkan hari esok dan entah apalagi, sesekali diselingi bunyi "plung" di dasar kloset)

* * *

Rabu, 23 Oktober 2013

Artikanlah Saja Sendiri!

Tulisan berikut saya kutip dari beranda facebook seorang teman.
"Engkau yang terus tumbuh berpikirlah tentang rubuh. Engkau yang terus terbang berpikirlah tentang hinggap. Engkau yang terus menyelam berpikirlah tentang rembulan." 

* * *




Kamis, 17 Oktober 2013

Hukum Kekekalan Bahagia

Ketika kuliah dulu saya pernah bergabung dengan sebuah organisasi kemahasiswaan. Agar diterima bergabung kami mesti melalui begadang bermalam-malam. Begadang menerima materi pelatihan dasar atau istilahnya basic training. Dimulai selepas Isya dan berakhir menjelang Subuh. Begitu terus hingga beberapa malam. Bisa seminggu barangkali. Tapi memang waktu itu masih fresh-freshnya saya sebagai mahasiswa. Kalau tidak salah ingat sekitar semester 3. Sehingga urusan gadang-begadang masih jagonyalah.

Teman-teman seangkatan saya beberapa orang telah lebih dulu bergabung. Atas bujuk rayu mereka, maka saya pun tertarik untuk mengikuti pelatihan dasar itu. Apalagi kata mereka, pelatihannya tidak dipungut biaya sepeser pun. Malah makan, minum, dan snacknya ditanggung oleh panitia. Wah, bagus juga buat penghematan, pikir saya.

Sejujurnya saya akui, karena mengikuti pelatihan inilah saya jadi suka membaca buku-buku filsafat. Bagaimana tidak, setiap pembicara yang membawakan materi selalu melandaskan teori mereka pada buku "ini" yang ditulis "si ini". Wah, wah, begini toh pengetahuannya orang yang banyak baca. Untuk kampanye gemar membaca, sepertinya mereka berhasil mempengaruhi pikiran mahasiswa baru yang bernama Luqman ini.

Memang asyik juga begadang bermalam-malam dengan dijejali teori-teori filsafat, apalagi selalu terbuka ruang untuk berdiskusi juga berdebat. Sejak itu saya juga jadi suka mengikuti forum-forum diskusi mahasiswa, baik yang formal maupun diskusi-diskusi lepas di kantin kampus.

Dimalam pelatihan itu, kami tiba pada sebuah diskusi tentang Tuhan. Akhh, lihatlah kami makhluk yang terbatas ini mencoba mendiskusikan Engkau yang serba tak terbatas.

"Kita percaya dan yakin bahwa Tuhan itu Maha Kuasa."
"Iya, sepakat!"
"Kalau begitu, bisakah Tuhan menciptakan batu yang tidak bisa diangkatNya?"

Pertanyaan macam mana pula itu, hei. Perdebatan bermunculan. Diskusi pun menjurus panas. Malam yang dingin tak terasa sudah. Pertanyaan itu harus mendapatkan jawaban. Tidak cukup sekedar jawaban. Jangan sampai mempengaruhi tingkat kewarasan kami yang mahasiswa baru ini.

Oke, mari kita tinggalkan pertanyaan yang di atas. Ini masih tentang materi diskusi di pelatihan itu. Bahasannya masih tentang Tuhan. 
"Siapakah Tuhan itu?" 
"Tuhan itu adalah Dia Yang Maha Awal". 
"Dia tidak beranak dan tidak diperanakkan".
"Dia yang menciptakan langit dan bumi beserta segala isinya".
"Dia tidak diciptakan, Dialah Yang Maha Pencipta".

Berbagai jawaban bermunculan. Karena sebagian besar kami yang ikut adalah mahasiswa MIPA, tiba-tiba datang lagi sebuah pertanyaan yang menyentak.

"Kalau begitu, Energi adalah Tuhan. Bukankah Hukum Kekekalan Energi menyebutkan bahwa Energi tidak dapat diciptakan dan tidak dapat dimusnahkan?"

* * *

Sudahlah. Tulisan yang tidak beraturan diatas sebenarnya dipicu oleh ingatan saya pada Hukum Kekekalan Energi itu. Tadi selepas shalat Maghrib saya merenung. Sebenarnya kebahagiaan seperti apa yang kita cari. Bahkan kita selalu meminta kebahagiaan tadi melalui doa rabbana atina itu. Kita mengulang-ulang doa itu setiap hari. Tapi apakah kita menjadi bahagia.

Saya lalu berpikir apakah Hukum Kebahagiaan sama dengan Hukum Kekalan Energi itu. Bahwa bahagia tidak dapat diciptakan dan tidak dapat dimusnahkan. Bahwa bahagia itu hanya dapat diubah dari bahagia yang satu ke bentuk bahagia yang lain.

Ngomong-ngomong tentang bahagia, barangkali ada baiknya kita mencoba mencicipi oleh-oleh khas daerah Gorontalo sana, namanya Pia Bahagia. Makan sebiji kita bisa langsung kenyang. Kenapa ia dinamai Pia Bahagia, mungkin seperti kata teman saya: bahagia itu sederhana, makan lalu kenyang.

Tapi saya tetap percaya bahwa sambil kita selalu berdoa rabbana atina, bahagia itu juga punya hukum kekekalannya sendiri. Ia bisa berupa mendengar suara riang ibu kita diujung telepon sana. Ia bisa berupa menyingkirkan kerikil kecil di tengah jalan. Ia bisa berupa menemukan secangkir teh hangat di pagi yang dingin. Ia bisa berupa apa saja. Seperti kata para bijak: bahagia itu bukan dimana-mana, bahagia itu ada dimana-mana.

* * *


Rabu, 09 Oktober 2013

Saya Baru Tahu


Bertahun-tahun saya berkirim email via gmail.
Saya baru tahu kalau maksimal ukuran file attach yang boleh dilampirkan adalah 25MB.
Saya baru tahu.
Baru saja.

* * *

Selasa, 08 Oktober 2013

Apa Kabar

Seberapa penting pertanyaan "apa kabar" kita tanyakan kepada seseorang? Penting ataupun tidak penting tanyakan saja. Kalaupun menurutmu tidak penting, anggaplah saja itu sebagai basa-basi pembuka percakapan. Kalaupun menurutmu penting, ya, sudah pasti kamu akan menanyakannya.

Tapi, saran saya, tanyakanlah, apalagi kalau percakapan itu lewat pesan blackberry, atau sms.

Saya pernah mengalaminya sendiri. Kejadiannya dengan sesama teman di tempat kerja. Teman ini berkantor di Jakarta. Suatu hari tanpa basa-basi saya mengirimkan pesan melalui blackberry. Kami saling berbalas pesan. Saya menanyakan sebuah surat yang akan kami sampaikan ke nasabah. Surat itu sudah diproses, sudah ada di meja Pak Bos, tinggal menunggu ditandatangani, Pak Bosnya lagi meeting.

Saya minta kalau bisa keesokan harinya, pagi-pagi sekali, surat itu agar dapat diemail ke kantor di cabang kami. Sudah beberapa hari soalnya nasabah kami selalu menayakan perihal surat tersebut.

Pesan blackberry yang saya kirimkan tanpa basa-basi itu disertai pula dengan nada mendesak. Tadinya sapaan "mbak" kepada teman ini dibalas dengan sapaan "mas" kepada diri ini. Dibeberapa pesan balasan, sapaan mas masih selalu melekat. Tapi setelah pesan bernada mendesak tadi, sapaan mas yang terdengar begitu akrab tiba-tiba berganti dengan sapaan "kamu" yang disertai dengan nada yang ketus. Balas membalas pesan pun terhenti. Ada yang salahkah dengan desakan saya.

Lama saya berpikir sebelum akhirnya saya mengirim pesan lagi.
Mbak, tadi itu mbak marah ya.

Mbak lagi capek dan demam.
Tadi waktu luqman bbm lagi di dokter.
Tapi ga marah.

* * *