Senin, 20 Oktober 2014

Seringkali saya dihinggapi perasaan bingung

Seringkali saya dihinggapi perasaan bingung. Pasalnya, setelah seharian duduk berhadapan dengan komputer, mondar-mandir dari meja teman yang satu ke meja teman yang lain, mengirim dan menjawab panggilan telepon kiri-kanan, melayani teman yang datang berkonsultasi, lalu tiba-tiba ketika jam pulang tiba saya tidak tahu apa saja yang sudah saya kerjakan sepanjang hari itu.

Akhirnya saya menemukan cara untuk mengatasi kebingungan itu. Saya mencatat semua pekerjaan yang masuk di meja saya. Dari mulai permintaan proposal penawaran dari bagian marketing, verifikasi dan analisa data nasabah, menelepon kantor pusat, menjawab dan mengirim email, hingga hal-hal kecil apapun yang sering masuk di sela-sela daftar rutin harian saya.

Setiap selesai satu pekerjaan, saya melingkari nomor daftar pekerjaan itu. Selesai satu pekerjaan lagi, saya melingkari lagi nomor daftarnya. Begitu seterusnya hingga semua nomor di daftar itu terlingkari. Ada pekerjaan yang masuk lagi, saya tambah lagi nomor daftarnya. Begitu seterusnya. Pekerjaan masuk didaftarkan, pekerjaan selesai daftarnya dilingkari.

Akhirnya setelah waktunya pulang saya akan membuka buku catatan dan memeriksa daftar pekerjaan yang berhasil saya lingkari sepanjang hari itu. Saya akan tersenyum manis, lalu berbicara kepada diri sendiri, "Alhamdulillah, hari ini saya sangat produktif. Ada banyak pekerjaan yang bisa saya selesaikan".

Begitulah cara saya mengatasi kebingungan menghadapi ritme pekerjaan yang datang dan pergi. 

Memang betul kalau pekerjaan itu tidak akan pernah berakhir. Kita harus bisa menjadi bos untuk pekerjaan kita. Jangan sampai pekerjaan yang mengatur kita. Jangan sampai kita seperti apa yang disampaikan oleh Dalai Lama, Pemimpin Spiritual Tibet. Sewaktu ditanya apakah yang paling membingungkan di dunia ini? Beliau menjawab: "Manusia. Karena dia mengorbankan kesehatannya hanya demi uang. Lalu dia mengorbankan uangnya demi kesehatan. Lalu dia sangat khawatir dengan masa depannya sampai dia tidak menikmati masa kini. Akhirnya dia tidak hidup dimasa depan dan dimasa kini. Dia hidup seakan-akan tidak akan mati, lalu dia mati tanpa benar-benar menikmati apa itu hidup."

Bagaimana dengan kamu?

* * *

Selasa, 30 September 2014

Di Penghujung September

Sekitar empat tahun yang lalu, ketika saya dan beberapa teman masih mengurusi usaha warnet kecil-kecilan, hampir di setiap pagi di akhir pekan di depan warnet melintas anak-anak hingga orang-tua yang asyik mengayuh sepeda.

Ketika itu, bagi kebanyakan orang, pagi adalah saat untuk memulai hari. Tapi bagi kami, pagi adalah waktu untuk memulai tidur. Sebelum aktifitas tidur-pagi dimulai saya biasanya menyapu terlebih dahulu ruangan warnet, membersihkan asbak-asbak rokok di setiap bilik, mengepel lantai, hingga menyapu halaman depan ruko kontrakan kami.

Saat menyapu halaman depan ruko itulah saya sering menyaksikan keasyikan orang-orang yang bersepeda. Sempat muncul pertanyaan di benak saya, kapan ya saya bisa asyik bersepeda menikmati pagi seperti orang-orang tadi.

Waktu berputar, akhirnya saya pun punya sepeda. Malah ketika sebenarnya saya sudah mampu untuk mencicil motor, justru sepedalah yang pertama saya beli. Tapi bukankah hidup ini memang punya tahapan? Bukankah motor itu adalah sepeda yang bermesin, makanya ia disebut sepeda-motor? Kalau begitu, apa yang saya lakukan sudah sesuai dengan tahapan tadi, beli dulu sepedanya, baru beli motornya. Heheh. Dan, Alhamdulillah, setelah membeli sepeda, akhirnya saya dimampukan pula untuk mencicil motor.

Pagi tadi adalah rekor tercepat saya memulai bersepeda. Biasanya jam enam saya baru keluar kompleks. Tapi pagi tadi jam setengah enam saya sudah siap meluncur. Headset sudah terpasang di telinga. Instrument Mozart dengan volume yang lembut sudah siap mengiringi setiap putaran roda.

Sebulan terakhir ini saya memang hampir setiap pagi bersepeda, sampai-sampai tetangga kamar di kost-kostan berkomentar: wah tiap pagi olah raga Mas ini. Lalu saya jawab saja dengan enteng: itulah enaknya kalau bangun lebih pagi Mas. Lalu saya pun berlalu mengayuh sepeda hingga tahu-tahu beberapa saat kemudian saya sudah menyusuri jalan-jalan kota yang masih lengang.

Salah satu manfaat bersepeda adalah untuk kesehatan jantung. Selain itu juga dapat menguatkan otot paha dan otot pernapasan di perut. Perbedaannya dapat kita rasakan saat kita menaiki tangga di kantor, misalnya. Begitu menurut pengakuan teman saya yang berhasil saya provokasi untuk membeli sepeda.

Kalau menurut saya, bersepeda itu bisa menambah kebahagian kita. Sebenarnya bukan hanya bersepeda, tetapi segala jenis olah raga bisa menambah kebahagiaan kita. Pasalnya, karena saat berolah raga terjadi peningkatan produksi hormon yang berhubungan dengan kebahagiaan. Bersepeda juga bisa menambah rasa syukur kita, ini juga menurut saya. Apalagi jika bersepeda di pagi hari. Karena disaat orang lain mengisi pagi dengan terburu-buru mengejar jam sekolah atau jam kantor, kita masih berkesempatan menyusuri pagi dengan santai sambil menikmati setiap kayuhan sepeda.

Setiap kita barangkali punya pagi yang sama. Tetapi tidak setiap kita diberikan rasa nikmat yang sama pada pagi kita. Mungkin disinilah rasa syukur itu bekerja. Seperti janji Tuhan kita. Siapa yang bersyukur maka akan ditambahkan nikmat kepadanya. Jangan salah, kata "ditambahkan" disini jangan selalu dilihat dari segi kuantitas atau jumlahnya. Kita bisa keliru kalau melihatnya dari sisi itu.

Kata "ditambahkan" disini barangkali lebih sering berhubungan dengan kualitas. Kita barangkali sama-sama sebagai seorang karyawan dengan besaran gaji yang sama, tetapi nikmatnya kita menjadi karyawan boleh jadi berbeda. Kita barangkali sama-sama mengendarai motor kalau ke kantor, tetapi nikmatnya naik motor kita boleh jadi tidak sama.

Atau, kita sama-sama berada di penghujung September, tetapi nikmatnya ....
Silahkan lanjutkan sendiri saja. (*)

* * *

Kamis, 11 September 2014

Pekerja Malam

Seluruh peluh luruh
Dibasuh wudhu subuh

* * *

Selasa, 05 Agustus 2014

Selamat Merayakan Kerja

Ada beberapa kebiasaan di bulan Ramadhan yang sampai hari ini mudah-mudahan bisa tetap saya pertahankan.

Pertama, yaitu kebiasaan bangun subuh.
Kedua, yaitu kebiasaan tidak membawa pulang laptop dan pekerjaan kantor ke rumah.

Makanya, di bulan Ramadhan yang lalu waktu 24 jam sehari yang saya punya terasa begitu berkualitas.
Urusan kantor dibereskan di kantor. Urusan dirumah dinikmati di rumah.

Ramadhan telah berlalu, libur pun telah usai.
Selamat merayakan kerja.
Mohon maaf lahir dan batin.

* * *

Senin, 12 Mei 2014

Hei

Hei, hei
Ini sudah bulan mei kan


* * *