Senin, 30 Mei 2011

Bagaimana kita hidup begitulah kita mati

Namanya Dahlan Iskan. Beliau adalah CEO Surat Kabar Jawa Pos dan Jawa Pos Network. Beliau juga adalah Direktur Utama PLN sejak 23 Desember 2009. Saya sekarang mengidolakannya. Apalagi setelah membaca Catatan-Catatannya. Di catatan-catatan itu saya bisa tahu target-target apa saja yang ia cita-citakan sebagai pemimpin PLN dalam membereskan masalah kelistrikan di Indonesia.

Sore tadi setelah membaca sebuah Catatannya tentang pengalaman pribadinya, saya dibuat termenung, merenungi hidup dan orang-orang yang pernah saya kenal. Lalu bertanya, bagaimanakah matiku nanti?

* * *

Kamis, 26 Mei 2011

Jangan ragu untuk tersenyum

Pagi ini kami didatangi oleh seorang petugas pengantar air mineral. Kami termasuk salah satu yang menjadi pelanggan produk air mineral tersebut. Kepada seorang teman, petugas pengantar tadi menyodorkan selembar daftar pertanyaan. Pada bagian atas daftar pertanyaan tersebut tertera tulisan, Survey Kepuasan Pelanggan. Untuk menjawab daftar pertanyaan itu, kami sebagai pelanggan diberikan dua opsi pilihan jawaban. Pertama, PUAS, dan yang kedua, TIDAK PUAS. Untuk jawaban PUAS kami mesti mencentang tanda gambar emotion berwarna biru yang menggambarkan SENYUM, dan untuk jawaban TIDAK PUAS kami mesti mencentang tanda gambar emotion berwarna merah yang menggambarkan MARAH.

Teman yang disodori daftar pertanyaan tersebut sesekali bertanya kepada saya tentang gambar apa yang harus ia centang untuk point pertanyaan-pertanyaan itu. Salah satu point yang ia tanyakan kepada saya adalah pertanyaan: "Apakah dalam air minum yang Anda terima terdapat benda asing?"
Saya bilang kepada teman tadi untuk menjawab apa adanya, menjawab sesuai fakta, dan kalo PUAS, jangan ragu untuk mencentang tanda gambar TERSENYUM, sebab SENYUM itu menyehatkan.

Salam,

Senin, 23 Mei 2011

Semua punya syarat

Ada dua syarat sehingga sebuah lagu bisa disebut sebagai fenomenal, kata Erwin Gutawa. Pertama, liriknya yang punya makna, dan yang kedua, komposisi musiknya yang bisa mewarnai makna dari lirik lagu tadi. Tidak mudah untuk memenuhi kedua syarat ini, namun jika keduanya terpenuhi, maka akan menjadikan album yang memuat lagu tadi terjual hingga melebihi sejuta copy.

Itulah sepenggal kalimat yang bisa saya rekam ketika malam ini baru saja menonton acara Harmoni di SCTV. Di acara itu ada 13 lagu Fenomenal yang diiringi oleh orchestra yang dikonduktori oleh Erwin Gutawa. 

Di depan televisi dengan lampu yang telah dimatikan saya menonton sendirian. Rasa kantuk yang semula menyelimuti, perlahan sirna. Di acara itu ada Kikan, ada Fadly, ada Slank, ada Sammy, ada Afgan, ada Lea Simanjuntak, dan ada vokalis Blackout, Azizi. Mereka bernyanyi, namun dengan lagu yang dipopulerkan bukan oleh mereka., kecuali Slank yang menyanyikan lagu mereka sendiri. 13 lagu itu dinyanyikan dengan aransemen yang berbeda dengan ketika dinyanyikan oleh penyanyi aslinya. Oleh aransemen berbeda itu, sekali waktu saya dibawa terhanyut oleh gesekan biola, sekali waktu saya dibuat tersentak oleh pukulan drum, sekali waktu saya dibuat tertegun oleh petikan gitar, irama seruling, terompet. Semuanya campur aduk dalam harmoni bunyi-bunyian berbagai alat musik yang mengiringi lagu yang liriknya mengena dan menyentuh. Saya terhanyut. Saya tersentak. Saya tertegun. Saya tersentuh.

Saya menggemari Iwan Fals, namun dalam acara tadi, dalam aransemen musik Erwin Gutawa, saya tak bisa membohongi diri kalau saya menikmati semuanya. Terlebih lagi lagu penutupnya adalah lagu Bento karya Iwan Fals. Lagu ini dinyanyikan dengan garang oleh Azizi, vokalis Blackout. Saya tak bisa membohongi diri. Saya menikmati semuanya. Apakah ini akibat fenomenalnya lagu-lagu tersebut seperti yang dikatakan oleh Erwin Gutawa? Ah, bisa jadi. Dan itu pasti karena dua syarat yang tadi, yang terpenuhi.

Setelah acara itu selesai, saya kembali ke kamar. Saya mengetikkan sebuah judul untuk tulisan ini "semua punya syarat". Untuk diakui sebagai fenomenal, selalu punya syarat memang. Dibidang apapun itu, profesi apa pun itu. Syarat itulah yang akan kita penuhi untuk memantaskan diri sebagai fenomenal dibidang kita masing-masing. Belum terlambat. Belum. Mumpung hari masih Senin.. :D

Senin, 16 Mei 2011

Menguatkan Kekuatan

Di kantor, saya punya seorang teman. Kami biasa memanggilnya Sam. Setiap hari dia mesti datang paling awal dan pulang paling belakangan. Sam mempunyai tugas  menyiapkan segala kebutuhan staf kantor sedemikian sehingga  para staf merasa nyaman untuk beraktifitas. Mulai dari membersihkan ruangan, mengelap debu di atas meja kerja, menyiapkan keranjang sampah di beberapa sudut ruangan, hingga menyiapkan teh atau kopi hangat dan segelas air putih untuk masing-masing staf. Untuk urusan teh dan kopi hangat ini, si Sam menyiapkannya dua kali, sekali dipagi hari dan sekali disore hari.

Selain tugas-tugas pokok tadi, si Sam juga mempunyai tugas lainnya. Memfotocopy berkas-berkas kantor yang akan diarsipkan, dan membayar tagihan kantor. Jika ada staf yang datang ke kantor dan  belum sempat sarapan, maka biasanya si Sam ini yang akan diminta untuk membelikan sarapan buat si staf tadi. Tidak jarang pula si Sam diminta untuk membantu urusan-urusan pribadi para staf kantor. Harus kesana dan harus kesini.

Lalu, pada suatu sore setelah jam kerja, kami menonton sebuah film yang begitu imajinatif. Di film itu ada tokoh yang bertangan empat. Menonton film ini, saya berkata kepada si Sam, bagaimana seandainya jika si Sam juga bertangan empat? Saya berpikir pasti pekerjaannya akan lebih mudah. Misalnya dipagi hari, sepasang tangan menyiapkan teh hangat dan sepasang lagi menyeduh kopi.

Namun, si Sam punya keinginan lain. Seandainya bisa, katanya, maka kelebihan yang ingin ia miliki adalah kemampuan untuk berada disuatu tempat hanya dengan memikirkan tempat itu. Misalnya, kalau ia diminta ke bank untuk membayar tagihan, maka ia cukup memikirkan bank itu lalu tibalah ia di bank tadi. Ia tidak butuh kelebihan yang lain, seperti itu sajalah, katanya. Itu akan memampukan ia untuk menolong pekerjaan banyak orang, katanya lagi.

Wajar saja menurut saya, jika si Sam menginginkan seperti itu. Karena memang ssering kali ia harus mobile untuk mengerjakan dan mengantar ini itu kesana kemari.

Saya pun secara pribadi sering menginginkan punya kelebihan-kelebihan yang tidak saya miliki kini. Kelebihan-kelebihan yang barangkali jika saya mulai mempelajarinya sekarang maka waktunya telah terlambat, dan barangkali bakat saya tidak ada disitu.

Untuk itu, daripada fokus terhadap kemampuan yang tidak saya miliki, lebih baik saya menguatkan kemampuan yang sudah ada pada diri ini. Salah satunya seperti ini, menulis. Selamat menulis.

* * *