Minggu, 27 Desember 2015

Novel Pulang Tere Liye, Buku Biografi Andy F. Noya, dan Tahun 2015 yang Akan Berakhir

Tahun 2015, akhirnya, akan segera berakhir. Masih lima hari lagi. Sudah lima hari pula saya libur kerja. Hari ini hari keenam, hari terakhir liburan. Libur enam hari itu ternyata sama dengan libur selama seratus empat puluh empat jam. Tapi kenapa rasanya seperti sebentar saja. Heheh.

Desember tahun ini saya tidak pulang ke kampung. Walaupun sebenarnya libur 6 hari itu adalah waktu yang cukup untuk mudik ke tanah kelahiran saya Raha, Kabupaten Muna, di Sulawesi Tenggara sana. Alasan pertama saya tidak mudik adalah karena baru saja bulan November yang lalu saya mengunjungi kampungku itu.  Alasan yang kedua adalah karena masih ada beberapa urusan pekerjaan yang harus diselesaikan sebelum tahun 2015 berakhir.

Tiga tahun terakhir setiap Desember saya memang selalu pulang memanfaatkan banyaknya hari libur disekitaran hari natal. Tiga tahun terakhir ini setiap tahun saya selalu pulang dua kali, saat Hari Raya Idul Fitri dan liburan natal. Memang, sebaik-baik liburan adalah ke kampung sendiri. Apalagi jika disana kita masih bisa bertemu dan menciumi tangan kedua orang tua kita. Bapak saya selalu bilang, kepulangan kami anak-anaknya adalah obat umur panjang bagi orang tua.

Enam hari libur, saya tidak kemana-mana. Saya di rumah saja. File-file pekerjaan kantor yang akan diselesaikan ikut saya boyong ke rumah. Oh iya, saya menyebut rumah karena sejak satu bulan lalu saya tidak indekos lagi. Saya sekarang tinggal agak jauh sedikit dari pusat kota, menyewa sebuah rumah kecil. Di depan rumah itu saya tanami bibit pohon rambutan pemberian Bapak Kostku sebelumnya. Kata Beliau, pohon rambutan itu sebagai kenang-kenangan agar saya selalu mengingat keluarga kos-kosan.

Liburan kali ini saya memang tidak kemana-mana, saya hanya di rumah saja. Saya membaca habis dua buah buku. Novel berjudul Pulang karya Tere Liye dan Buku Biografi Andy F. Noya, host Acara Kick Andy di Metro TV itu. Dari dua buku yang habis saya baca itu, walaupun saya hanya di rumah saja, tetapi dengan membacanya saya seperti mengunjungi banyak tempat, berjumpa banyak peristiwa, dan mengunjungi dimensi waktu yang banyak pula. Disitulah keajaibannya kalau kita membaca buku.

Walaupun genrenya berbeda, secara garis besar, kedua buku itu sama-sama bercerita tentang pengalaman-pengalaman masa lalu, pencapaian-pencapaian hari ini, dan harapan-harapan di masa depan. Di tulisan ini saya tidak ingin membedah isi kedua buku itu. Anda yang mengikuti novel-novel Tere Liye mungkin saja sudah membaca novel berjudul Pulang tersebut. Saya bukan pengoleksi novel, tapi kalau Anda ingin mengoleksi, saya menyarankan untuk tidak melewatkan karya-karya Tere Liye. Sampai hari ini saya (baru) hanya memiliki empat judul karangannya. Rembulan Tenggelam Di Wajahmu, Sunset Bersama Rose, Eliana, dan Pulang. Setelah ini saya mungkin akan mencari judul-judul yang lain. Dalam karya-karya Tere Liye banyak disisipkan nasehat-nasehat kehidupan. Menurut saya, akan sangat berguna jika kelak kita bisa mewariskan novel-novel itu ke anak-anak kita.

Kemudian tentang Buku Biografi Andi F. Noya. 

Sebelum membaca buku tersebut, selama ini saya mengira bahwa kata Flores pada nama Andy Flores Noya adalah karena Beliau berasal dari Flores. Tetapi ternyata Andy Noya bukan berasal dari Flores. Kata itu berasal dari bahasa Portugis yang berarti bunga. Di Biografi tersebut, Andy F. Noya menuturkan bahwa ia adalah keturunan campur aduk. “Selain darah Belanda dari Ibuku, aku juga mewarisi “bonus” darah Perancis-Portugis dari ayahku. Ayahku, Ade Wilhelmus Flores Noya, lahir dari pasangan Thobias Noya, asal Hulaliu, sebuah desa di Maluku Tengah, dan Adolfina Josephine Dousse, perempuan Ternate keturunan Perancis. Darah Portugis juga mengalir dari kakekku”, begitu buku itu mengisahkan di halaman-halaman awal.

Buku ini bercerita tentang kehidupan Andy F. Noya sejak dari pengalaman masa kecil di Surabaya, masa remaja di Jayapura, hingga kuliah di Jakarta. Bagaimana kehidupan Keluarganya, Ibunya, Bapaknya, Kakak-kakaknya, kisah bertemu pertama kali dengan perempuan yang sekarang menjadi Isterinya, hingga bagaimana ia meniti karir dari wartawan junior sampai bisa menjadi Pemimpin Redaksi di Metro TV dan menjadi orang kepercayaan Surya Paloh pemilik Media Group. Di buku ini juga diceritakan ide awal Program Acara Kick Andy di Metro TV yang selalu menghadirkan nara sumber-nara sumber yang penuh inspirasi dan telah menginspirasi jutaan pemirsa Indonesia.

Salah satu yang juga menarik dari buku itu, ini mungkin sangat subyektif sekali, adalah karena nama tanah kelahiranku, Raha, sempat diceritakan di dalamnya. Tak perlu Anda susah-susah mencarinya di halaman berapa diceritakan. Saya akan memberitahukannya. Halaman 176 baris ke-10. Wuihh, hafal benar saya, wkwkwk. Menemukan tanah kelahiranku disebut dalam buku itu memang senang rasanya. Karena selama ini jika saya memperkenalkan diri berasal dari Raha, orang-orang selalu salah menebak. Mereka mengira Raha itu adanya di Nusa Tenggara sana. Tapi yang lebih menyakitkan lagi adalah jika ada yang bertanya Raha itu dimana, adakah di peta Indonesia? Arrggh, sakitnya tuh disini.. Kawan!

Dan tentu saja ada banyak cerita menarik lainnya di dalam buku itu. Kisah yang lebih lengkap silahkan Anda baca sendiri saja. Saya merekomendasikan buku ini untuk Anda baca dengan tuntas dan menjadi salah satu koleksi Anda di rumah.

Saya punya beberapa koleksi buku Biografi di rumah. Dan sepertinya saya akan terus menambah koleksi buku-buku yang bertema Biografi. Saya pernah bilang kepada seorang kawan bahwa buku-buku dengan tema-tema Biografi adalah buku yang layak untuk dimiliki. Waktu itu saya tidak menyampaikan alasannya kenapa.

Belakangan saya menyadari bahwa dengan membaca buku perjalanan hidup seseorang, sebenarnya kita diajak untuk melihat bagaimana Allah merancang kehidupan ini. Bagaimana Allah mempertemukan kita dengan suatu peristiwa untuk kemudian bertemu lagi dengan peristiwa berikutnya. Bagaimana Allah menitipkan kita pada satu keadaan lalu dibawa lagi pada keadaan yang lainnya. Kenapa kemarin kita bertemu dengan si Fulan, bertemu si Fulanah. Kenapa kemarin kita berada di kota sana hari ini di kota sini, kenapa kita bertemu dengan keadaan-keadaan senang, kenapa kita mengalami keadaan-keadaan susah, dan banyak lagi peristiwa-peristiwa hidup lainnya. Tugas kitalah untuk menghubung-hubungkan berbagai peristiwa itu untuk mengambil hikmah dan pelajaran bagi kehidupan kita hari ini dan juga esok. Dan kita wajib percaya bahwa kejadian-kejadian yang hadir dalam kehidupan kita pasti punya makna. Tidaklah Allah menciptakan segala sesuatu di muka bumi ini dengan sia-sia.

Kalau Allah berkehendak, maka lima hari lagi kita akan bertemu dengan tahun 2016. Kita tidak tahu rencana apa yang Allah telah persiapkan untuk kehidupan kita di tahun 2016 nanti. Mengutip sebuah dialog yang terdapat dalam novel Pulang itu. “Seluruh masa lalu, hari ini, dan masa depan akan selalu berkelindan, kait-mengait. Esok lusa kau akan lebih memahaminya”.

Aamiin. (*)


Senin, 07 Desember 2015

Senin (Semangat Nan Indah)

Kalau soal urusan dunia melihatlah ke bawah. Kalau soal urusan akhirat melihatlah ke atas. Begitulah seringkali saya mendapat nasehat.

Dan benar saja, ketika saya dihinggapi perasaan jenuh mengerjakan rutinitas kantor, saya biasanya akan mengingat mereka-mereka yang saya temui di jalan-jalan. Mereka-mereka ini ada yang menjajakan koran, sopir angkot, penjaja minuman dingin, tukang parkir, hingga pemandu kendaraan yang akan memutar arah. Saya membandingkan pekerjaan mereka yang bisa seharian penuh berpanas-panasan di jalan dengan pekerjaan saya yang seharian penuh berada dalam sejuknya ruangan ber-AC.

Sekarang musim hujan telah tiba. Mereka-mereka yang saya temui di jalan-jalan tadi barangkali akan kembali menjalani pekerjaan mereka dengan berhujan-hujanan. Saya pun akan tetap menjalani pekerjaan saya dalam sejuknya ruangan ber-AC, mungkin juga dengan ditemani kopi hangat atau ditemani instrument musik jazz yang tenang.

Dengan membandingkan seperti ini biasanya semangat kerja saya kembali hidup dan rasa syukur menjadi berlimpah. Dalam soal-soal urusan dunia ini, jika kita melihat ke atas maka comparison is the thief of joy. Namun, jika kita melihat ke bawah maka comparison is the ocean of grateful. Begitulah barangkali rumus kehidupan ini. Sederhana sekali. Alhamdulillah. (*)

Jumat, 04 Desember 2015

They Are Our Future

Judul Foto : Para Keponakan, Sumber: Koleksi Pribadi 

Senin, 19 Oktober 2015

Thank God It's Monday

"Saya pegang Persib saja". Begitu bunyi status bbm saya beberapa saat sebelum pertandingan dimulai. Seperti tidak mau kalah untuk menunjukkan eksistensinya, beberapa teman di daftar kontak saya juga menulis di status mereka, "Sriwijaya FC." Wah, banyak yang berseberangan ternyata. Siap-siap saja menerima pesan masuk, atau apalah, kalau saja nanti Persib kalah, wkwkwk.

Rupanya semalam saya tidak salah memberikan dukungan ke Persib. Saat babak pertama baru memasuki menit ke-13 Persib sudah unggul satu kosong. Dalam keunggulan tersebut iseng-iseng saya mengirim pesan bbm ke beberapa teman yang mendukung Sriwijaya. Pesan saya singkat saja, "Persib dong, Bro, heheh."  Tidak berapa lama, saya menerima pesan balasan. "Adoohh... kalaahh." Teman yang lain lagi membalas seperti ini, "Hahahah.. Anti mainstream." Mungkin karena saking banyaknya yang mendukung Persib makanya teman ini memilih mendukung Sriwijaya, anti maistream katanya. Tapi ada teman yang lain daripada yang lain. Teman ini bukannya mendukung Persib atau Sriwijaya, ia malah mendukung Persipura. Tim mana yang main, tim mana yang didukung. Ah, ada-ada saja. Saya tidak tahu lagi sebutan untuk teman ini, apakah masih termasuk juga anti mainstream atau anti yang mana lagi, ckckckck.

Ngomong-ngomong soal mainstream, ketika Idul Fitri lalu teman-teman mengirimkan ucapan Selamat Idul Fitri dengan merangkai kata-kata melalui sms dan pesan di bbm, saya memilih mengirimkan ucapan dengan sebuah video pendek yang merupakan hasil kiriman seorang teman. Video pendek tadi lalu saya teruskan ke beberapa teman. Salah satu teman tanpa basa-basi langsung membalas, "anti mainstream ya?" Saya hanya senyum-senyum saja memandangi layar hape. Oh, begini ini ya, yang dibilang anti mainstream itu, heheh.

Masih tentang mainstream juga, pernah seorang teman membagikan di akun fesbuknya sebuah gambar tutorial tentang bagaimana memakai sarung. Di gambar yang dibagikan itu teman ini menulis, "karena tutorial memakai jilbab terlalu mainstream." Waktu itu memang di media sosial orang-orang sering sekali memposting tentang tutorial memakai jilbab ini.

Terinspirasi dari cerita-cerita tentang mainstream di atas, pagi tadi saya pun menuliskan sebuah kalimat pendek di akun twitter saya, "Thank God It's Monday karena Thank God It's Friday terlalu mainstream".

Selamat beraktifitas. Salam semangat untuk kita semua. (*)


Jumat, 02 Oktober 2015

Tentang Baju Batik Cokelatku

Hari ini kamu memakai batik warna apa?

Hari ini saya memakai batik warna cokelat. Saya sudah lupa berapa harga belinya. Apakah 30 ribu atau 50 ribu. Saya beli di Tanah Abang Jakarta, lima tahun yang lalu. Kebetulan waktu itu saya sedang mengikuti pendidikan dasar sebagai karyawan baru di perusahaan tempatku bekerja sekarang. 

Ketika mengikuti pendidikan, saya hanya membawa satu baju batik, itupun dipinjam dari teman. Baju batik pinjaman tadi saya pakai saat pembukaan acara. Padahal, saat penutupan kegiatan peserta masih diharuskan memakai batik. Saya tidak mau kalau kostum saya pada pembukaan dan penutupan acara masih dengan batik yang sama. Maka ketika tiba jadwalnya jalan-jalan, salah satu tempat yang saya dan teman-teman datangi waktu itu adalah Pasar Tanah Abang. Seingat saya, waktu itu saya hanya membeli selembar baju batik cokelat yang saya pakai hari ini dan sebuah jam tangan kw yang sekarang sudah innalillahi.

Hingga hari ini saya sudah memiliki beberapa koleksi baju batik. Hampir selusin barangkali. Kebanyakan dari koleksi itu adalah hadiah dan oleh-oleh dari teman. Walaupun baju batik saya sekarang ada beberapa, tapi yang paling sering saya pakai adalah batik cokelatku ini. Alasannya sederhana. Baju batikku ini anti kusut dan tak butuh diseterika. Karena alasan yang sederhana itulah, makanya batik cokelatku ini selalu jadi pilihan pertama yang akan saya masukkan ke dalam ransel ketika akan dinas ke daerah.

* * *

Ada cerita lain yang juga akan selalu saya kenang tentang batik cokelatku ini. Kejadiannya pas Hari Batik tahun 2014 yang lalu. Hari itu saya tidak berniat sama sekali memakai batik. Saya pun sebenarnya lupa kalau hari itu adalah Hari Batik. Biasanya sehari sebelumnya kami diingatkan melalui surat edaran dari kantor pusat untuk mengenakan baju batik. Tapi sepertinya saya tidak mengetahui adanya surat edaran tersebut.

Pagi itu jam masuk kantor sudah mepet sekali, sudah hampir jam setengah delapan. Sedangkan saya hanya baru menyelesaikan mandi. Ketika membuka lemari tak ada kemeja kantor yang layak dipakai kecuali diseterika dulu. Jarak kosan tempat tinggal saya memang hanya lima menit naik motor, tapi kalau harus menyeterika baju dulu maka saya akan menghabiskan alokasi waktu yang lima menit tadi. Saya pasti akan terlambat membubuhkan sidik jari di mesin absensi fingerprint. Tanpa berpikir panjang lagi, saya langsung menyambar baju batik cokelatku ini. Bisa langsung dipakai, tak butuh diseterika.

Sampai di kantor ternyata banyak teman-teman yang tidak tahu, dan lupa memakai batik. Dalam hati saya membatin, sebenarnya saya pun lupa bahwa hari itu Hari Batik. Kebetulan saja saya memakai batik karena kemeja-kemeja yang lain belum diseterika. wkwkwkwk.

Selamat Hari Batik. (*)

Rabu, 09 September 2015

Harga-harga boleh naik, asal jangan harga rica


Barangkali ini alasannya, kenapa di Manado ada anekdot bahwa harga-harga boleh naik asal jangan harga rica. (*)

Rabu, 26 Agustus 2015

Mahasiswa Universitas Kehidupan

Hingga hari ini adik-adik Mahasiswa di jurusanku dulu, Jurusan Matematika Universitas Hasanuddin Makassar, masih sering mengirimi saya sms undangan untuk menghadiri kegiatan mereka. Dari kegiatan penerimaan mahasiswa baru, kegiatan lomba dalam rangka ulang tahun Organisasi Himpunan Mahasiswa, hingga Musyawarah Besar menjelang suksesi pergantian kepengurusan.

Doktrin jaspulisi - jangan sampai putus tali silaturrahiim - terus ditularkan oleh senior-senior kepada adik-adik mahasiswa yang baru masuk. Doktrin ini turun-temurun diwariskan dari angkatan ke angkatan. Maka jika sampai hari ini masih ada sms-sms yang masuk, itu adalah buah dari doktrin tadi. Kami pun sebagai alumni yang telah bertahun-tahun meninggalkan kampus, mendapat sms seperti ini bagaikan diajak untuk mengenang kembali kampus almamater kami. Dan, tentu saja ada perasaan haru dan juga bahagia mengetahui nama kami masih tetap hidup di kampus yang telah lama kami tinggalkan.

Pernah suatu sore, di Manado sini, saya mengunjungi kampus Universitas Samratulangi. Sebenarnya sebelum kunjungan itu saya pernah datang beberapa kali. Hanya saja pada kunjungan saya yang beberapa kali itu, suasana kampus masih sepi. Pada kunjungan saya berikutnya, pada sore itu, suasana kampus lagi ramai-ramainya oleh mahasiswa. Dari halaman parkir saya berdiri memandang gedung Pascasarjana Jurusan Ekonomi. Saya melihat geliat kehidupan kampus begitu kuat menggoda diri ini untuk merasakan kembali berada dalam atmosfer perkuliahan.

Saya kuliah S1 saja susahnya bukan main. Ini malah mau digoda lagi untuk S2. Padahal dulu pas waktu tahun-tahun terakhir kuliah S1, ketika skripsi belum juga kelar-kelar, ada guyonan yang kerapkali kami ucapkan. "Kalau belum bisa nyusun skripsi, nyusun tesis dululah, wkwkwk.." 

Terlepas dari apakah kita pernah kuliah S1, S2, atau S3, bahkan sekalipun kita hanya lulusan SD, sejatinya kita adalah Mahasiswa pada Universitas Kehidupan.

Oh, iya, kalau dipikir-pikir, tujuan kita berkuliah (baca: hidup) sebenarnya untuk apa?

Ayo, mari dipikirkan. Jika sudah selesai dipikir-pikir dan sudah ketemu jawabannya, silahkan dikumpulkan lembar jawabannya. (*)

Kamis, 20 Agustus 2015

Berolahragalah, tapi jangan berlebihan


Kapan terakhir kali kamu berolahraga? Sudah lupa karena saking terlalu lamanya?

* * *

Terakhir kali saya berolahraga adalah sebulan sebelum bulan puasa. Olahraga yang saya maksud disini adalah olahraga yang betul-betul diniatkan untuk berolahraga dan mencari keringat. Bukan berjalan kaki naik tangga dari lantai satu ke lantai dua kantor. Bukan berjalan kaki di mall. Bukan berjalan kaki menuju kendaraan di parkiran, ataupun kegiatan sehari-hari lainnya yang mengharuskan tubuh bergerak.

Untuk mencari keringat, saya punya tiga jenis olahraga. Joging, bersepeda, dan futsal. Sebenarnya masih ada satu lagi, yaitu senam pagi di kantor setiap hari Jum'at. Namun hampir satu tahun terakhir kegiatan senam pagi ini vakum. 

Kapan terakhir kali kamu berolahraga?

Saran saya, kalau sudah terlalu lama berhenti berolahraga jangan langsung memporsir tenaga ketika mulai berolahraga kembali. Ini saya alami di dua pekan terakhir ini.

Hari Minggu dua pekan lalu, saya memulai kembali berolahraga. Saya memilih berjalan kaki. Saya pikir, jalan kaki di pagi hari mungkin jadi pilihan yang tepat untuk memulai kembali kebiasaan berolahraga yang sempat terhenti. Apalagi menikmati Kota Manado memang paling pas di pagi hari di hari Minggu. Jalan-jalan masih sepi, udara masih sejuk, sinar matahari masih teduh. Lebih-lebih kalau kita berjalan di sepanjang kawasan pantai Boulevard Manado, semua yang kita pandang seolah tersenyum kepada kita. Dan sinar matahari yang teduh membuat pagi lambat beranjak. Ohh, nikmatnya.

Lalu apa yang terjadi? Barangkali saya terlampau jauh berjalan. Saya berjalan selama dua jam. Awalnya mungkin tidak ada yang salah dengan berjalan kaki selama itu. Tapi setiba rumah, efek berjalan kaki tadi mulai terasa terutama di daerah otot betis dan paha. Dan benar saja esok paginya di hari Senin, efek berjalan kaki itu mulai direspon oleh seluruh tubuh. Meriang datang menghinggapi badan, tapi untunglah tidak sampai mengganggu rutinitas pekerjaan saya. Hari Selasa besoknya, alhamdulillah gejala meriang akhirnya menghilang.

Kemudian, pada Sabtu lima hari yang lalu, saya mencoba lagi untuk berolahraga. Kali ini dengan bersepeda. Rencananya hari itu kami akan menghidupkan kembali kegiatan bersepeda bersama teman-teman kantor. Kami janjian kumpul di halaman kantor jam setengah enam pagi. Orang yang pertama hadir adalah saya. Akhirnya tanpa harus menunggu lama saya mendapatkan kepastian bahwa sayalah satu-satunya orang yang hadir di pagi itu. Baiklah kalau begitu. Saya bersepeda sendiri saja. Di perjalanan pasti banyak rombongan bersepeda yang akan saya ketemukan.

* * *

Rupanya saya mengulang kembali kesalahan terlalu memporsir tenaga saat jalan pagi pekan sebelumnya. Kali ini saya terlalu jauh mengayuh sepeda. Saya lupa bahwa sama seperti orang berpuasa, ketika tiba waktunya berbuka maka sebaiknya tidak langsung mengkonsumsi menu dengan porsi yang berat. Cukup dengan beberapa biji kurma atau beberapa teguk air putih. Harusnya pelajaran berpuasa tersebut saya terapkan juga saat kembali aktif berolahraga.

Gara-gara bersepeda itu saya jadi melewatkan kemeriahan hari kemerdekaan. Sejak hari Minggu perasaan saya sudah tidak bergairah untuk kemana-mana. Harusnya olahraga membuat tubuh jadi fit, tapi ini malah membuat loyo. Dua hari saya hanya di rumah saja, menghabiskan long weekend dengan menonton beberapa judul film di hardisk komputer saya. Nonton, tidur, bangun tidur nonton lagi.

Olahraga berlebihan memang tidak baik juga untuk tubuh. Berharap sehat, malah sebaliknya.
Barangkali bukan hanya olahraga saja, apapun itu kalau sudah berlebihan jadinya tidak baik. (*)
 


Minggu, 17 Mei 2015

Libur Kecil Keluarga Besar Kos-kosan

Rencananya olah raga saya pagi tadi adalah bersepeda. Tetapi baru saja sepeda saya keluarkan dari ruang belakang, saya disapa dan diberitahu oleh tetangga kamar bahwa hari ini kami akan jalan-jalan dan bermain ke pemandian kolam renang. Beramai-ramai.

Sejak empat tahun lalu menghuni kos-kosan, inilah liburan keluarga besar kos-kosan kami untuk pertama kalinya secara beramai-ramai.

Kos-kosan saya ini bukan sekedar tempat tinggal, atau tempat pulang setelah seharian bekerja. Kos-kosan saya ini tidak sekedar bangunan fisiknya saja yang saya tempati, tetapi lebih dari itu adalah suasananya. Saya bisa menyebutnya sebagai home, bukan sekedar house, sebab disini saya menemukan keluarga baru.

Disini ada empat kamar yang disewakan. Berderet-deret membentuk kamar petak. Pada bagian rumah yang terpisah tinggal suami-isteri pemilik kos bersama anak dan menantunya serta dua orang cucu mereka.

Dari deretan kamar petak itu saya menyewa kamar yang paling ujung. Saya penghuni paling lama dibandingkan penghuni di kamar lainnya. Penyewa disini datang silih berganti. Ada yang cuma beberapa bulan saja menyewa kemudian pindah. Kemudian datang lagi penyewa yang baru. Namun untuk komposisi penghuni kos-kosan yang sekarang boleh saya bilang sebagai yang terlama. Rata-rata semuanya sudah hitungan tahun.

Di sebelah kamar saya dihuni sebuah keluarga dengan dua orang anak. Ibunya bekerja di sebuah pusat perbelanjaan, bapaknya bekerja di sebuah perusahaan multivitamin.

Di deretan kamar berikutnya ditempati sebuah keluarga dengan seorang anak. Ibunya penjual jamu gendong, bapaknya penjual es tong-tong.

Lalu, kamar yang terakhir ditempati oleh sebuah keluarga dengan seorang anak. Ibunya bekerja di sebuah department store, bapaknya sebagai teknisi kelistrikan di sebuah pusat perbelanjaan.

Kos-kosan yang saya tempati bukan kos-kosan seperti pada umumnya. Kos-kosan ini memang sangat tepat kalau disebut rumah. Pagi hari ada banyak alarm yang akan membangunkan saya. Jika saya tidak dibangunkan oleh adzan subuh dari mesjid sekitar kos-kosan, maka saya akan terbangun oleh dentingan lonceng gereja. Atau saya akan terbangun oleh bunyi tumbukan dan aroma rempah-rempah bahan jamu-jamuan dari kamar sebelah. Tidak cukup itu saja, suara es batu yang dihancurkan untuk membuat es tong-tong juga sudah akan memecah keheningan pagi jauh sebelum matahari terbit. Lalu sering pula telinga saya akan menemukan suara rengekan adik-adik kecil di kamar sebelah yang terbangun lebih cepat daripada ibu atau bapaknya.

Disini, di kos-kosan kami, roda kehidupan sudah mulai diputar kembali sejak sebelum adzan subuh dikumandangkan. Begitu setiap hari.

Setelah matahari terbit, keriuhan pagi lebih didominasi oleh dialog antara anak-anak dan ibu-ibu mereka. Anak-anak yang semuanya masih duduk di bangku sekolah dasar. Ayo cepat mandi. Habiskan sarapanmu. Ayo cepat pakai baju sekolahmu. Mana kaos kakiku. Dimana pensilku. Minta uang jajan. Dan lain sebagainya.

Hampir setiap pagi saya mendengarkan dialog-dialog seperti itu. Kadangkala saat saya sedang ngopi atau ngeteh di kamar. Kadangkala saat saya sedang membaca update berita bola semalam dari layar hape. Kadangkala saat saya sedang menunggu antrian kamar mandi.

Pagi tadi beramai-ramai kami menuju ke pemandian kolam renang yang berada sedikit di pinggir kota. Saya menyebut ini sebagai libur kecil. Dan, libur kecil seperti ini anak-anaklah yang paling antusias menyambutnya. Begitu melihat kolam yang airnya sangat jernih, anak-anak tadi langsung tidak sabaran untuk segera menceburkan diri ke dalam kolam.

Bermain ke kolam renang tadi pagi adalah liburan bersama kami untuk pertama kalinya. Agak susah memang menemukan jadwal karena hanya saya sendiri yang libur pada Sabtu dan Minggu. Sementara yang lainnya bekerja dengan sistem shift dimana hari Minggu masih tetap bekerja. Malah, tetangga kamar saya yang menjual es tong-tong justru mengakui bahwa hari Minggu adalah hari dimana omzet penjualan es meningkat karena anak sekolah libur sehingga kompleks perumahan yang dilewatinya akan sering dijumpainya anak-anak membeli es tong-tong.

Semua kami yang menghuni kos-kosan adalah perantau. Mulai dari Bapak kos beserta isterinya, hingga kami yang menyewa petak-petak kamar. Sebagai sesama perantau kami sadar betul bahwa kerja keras adalah salah satu kunci untuk bisa survive dan sukses di kampung orang.

Selain itu, sebagai sesama perantau yang jauh dari keluarga, kami juga berusaha untuk selalu mengamalkan nasehat dari Guru-Guru Kehidupan bahwa keluarga yang paling dekat adalah tetangga. (*)

Selasa, 28 April 2015

Orang bodoh sekaligus orang paling bodoh

Mari duduk yang manis. Saya ingin berbagi sedikit cerita tentang buku. Tentang sesuatu yang disebut sebagai jendela dunia. Sesuatu yang bisa menjadi sebaik-baik teman. Sesuatu yang dunia memperingatinya setiap tanggal 23 April. Dan memang buku itu adalah sesuatu.

Bercerita tentang buku, kami punya satu ungkapan ketika masih mahasiswa dulu yang bisa menggambarkan tentang begitu berharganya sebuah buku. Ungkapan itu bunyinya seperti ini: Orang bodoh adalah orang yang memiliki buku dan meminjamkannya kepada orang lain, tetapi yang paling bodoh lagi adalah orang yang dipinjamkan buku lalu ia mengembalikan buku itu.

Ketika mahasiswa saya termasuk golongan orang yang paling bodoh yang disebutkan dalam ungkapan di atas tadi. Waktu itu boleh dibilang kemampuan saya untuk membeli atau memiliki buku adalah hampir sama dengan nol. Buku yang saya beli, hanyalah buku-buku wajib matakuliah yang di dalamnya berisi modul-modul kuliah umum yang kalau kita membeli buku-buku itu kita bisa memperoleh garansi untuk mendapat nilai B. Selebihnya saya harus meminjam ke Senior-Senior atau ke perpustakaan kampus. Konsekuensi dari meminjam ini adalah harus mengembalikannya. Dan jika meyakini ungkapan di atas tadi, maka konsekuensi berikutnya adalah mengikhlaskan diri untuk disebut sebagai orang yang paling bodoh.

Tapi sudahlah, masa bodoh dengan ungkapan itu, wkwkwk. Mari kita lanjut.

Ketika mahasiswa saya sering meminjam buku di perpustakaan kampus. Tapi anehnya buku-buku yang saya pinjam lebih banyak berisi judul-judul yang tidak berhubungan langsung dengan konsentrasi jurusan kuliah saya. (waktu kuliah dulu saya mengambil jurusan matematika). Menurut ingatan saya, daftar buku yang pernah saya pinjam diantaranya adalah buku-buku karya Pramoedya Ananta Toer: Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, dan Panggil Aku Kartini Saja. Ada juga novel karya Putu Wijaya: Putri. Lalu, novel karya NH. Dini: Namaku Hiroko. Saya juga senang meminjam buku berisi renungan-renungan kehidupan yang ditulis oleh Gede Prama. Buku-buku filsafat juga tak ketinggalan, serta buku-buku tentang hidup sehat, tentang keorganisasian, dan juga kepemimpinan.

Dari Senior-Senior ataupun Teman-Teman, selain novel atau buku cerita, saya juga suka meminjam buku-buku tentang bagaimana mengenal kepribadian orang lain, bagaimana bergaul dan mendapatkan teman, juga buku-buku agama Islam yang berisi tuntunan praktek hidup sehari-hari.

Sedikit sekali memang saya meminjam buku-buku yang berhubungan dengan disiplin ilmu saya. Melihat kembali daftar buku bacaan saya ketika kuliah dulu mungkin saya telah keliru memilih jurusan. Saya barangkali akan lebih pas jika kuliah di jurusan sastra ataupun sejenisnya.

Tapi sepertinya ini bukan soal keliru ataupun tidak keliru memilih jurusan. Ini lebih kepada persoalan minat baca. Dan saya rasa tidak ada mahasiswa sastra yang memilih buku matematika untuk dibaca saat santai sambil ngopi atau ngeteh. Karenanya saya bersyukur pernah berkuliah di jurusan matematika. Sehingga kalau pikiran sedang badmood, atau kalau lagi mau bersantai saya bisa membaca sebuah buku dengan tema-tema kehidupan.

Hal ini pun terbawa-bawa sampai sekarang. Saat volume pekerjaan yang datang kadangkala menguras pikiran, saya biasanya akan melarikan diri ke dalam halaman-halaman buku bacaan. Dan biasanya ada saja pencerahan-pencerahan baru yang saya dapatkan setelah berdiam diri beberapa saat dalam halaman-halaman buku. Besoknya pikiran fresh kembali.

* * *

Saya pernah punya buku catatan kecil. Semacam diary begitulah. Disitu saya pernah menuliskan daftar 100 cita-cita sederhana yang ingin saya raih. Itu sembilan tahun yang lalu. Sekarang beberapa dari daftar itu sudah tercapai. Seperti misalnya saya ingin bertemu dan bersalaman dengan Presiden Indonesia, atau saya ingin bisa menyetir mobil. Dan cita-cita ingin mempunyai perpustakaan kecil di rumah sepertinya juga perlahan mulai mewujud. Memang saat ini koleksi judul buku yang saya punya belum bisa dibilang banyak, tapi untuk dibilang sedikit juga tidak layak. Program sebulan sebuah buku sepertinya tidak sukar untuk saya jalankan dimasa-masa sekarang. Sehingga untuk tahun ini insya Allah buku-buku tadi akan bertambah 12 judul, tahun depan 12 judul, dan akan bertambah lagi 12 judul, begitu setiap tahunnya.

Berteman dengan buku saya jadi tahu bahwa ada buku-buku yang kita cukup hanya membacanya sekali, ada yang beberapa kali, ada yang berulang-ulang, dan ada yang setiap hari. Saya juga bisa mengerti kenapa orang yang mau meminjamkan bukunya disebut sebagai orang bodoh. Dan, orang paling bodoh lagi adalah yang mau mengembalikan buku pinjamannya.

Makanya, biar tidak terjebak dalam lingkaran kebodohan itu saya akan memilih memberikannya ketimbang meminjamkannya. Atau, saya akan membeli sebuah buku lagi dengan judul yang sama kemudian saya pinjamkan.

Atau, saya akan meminjamkan sebuah buku dan sebagai gantinya saya meminta dipinjamkan sebuah buku yang lain. Hal ini untuk sekedar berjaga-jaga siapa tahu kita adalah murid dari perguruan silat yang sama, orang bodoh sekaligus orang paling bodoh. Wkwkwk. (*)

(Catatan ini sebagai pengingat Hari Buku tanggal 23 April kemarin. Maaf terlambat, hehe)


Jumat, 17 April 2015

Think out of the box

Dua pekan lalu saya ke Bogor mengunjungi beberapa teman yang sedang menempuh kuliah Magister di IPB. Perjalanan ke Bogor ini adalah pengalaman pertama saya menaiki Busway. Juga pengalaman pertama saya menaiki Kereta Commuter. Busway dan Commuter ini adalah dua jenis moda transportasi darat yang diharapkan dapat menghubungkan dan mengurai kemacetan jalan-jalan di Jakarta dan kota-kota penyangga di sekitarnya.

Dua pekan lalu itu libur Paskah. Tapi Jakarta tetap ramai, kendaraan tetap padat. Dalam perjalanan menuju Bogor saya coba untuk ikut larut dalam salah satu irama kehidupan warga Jakarta. Berdesak-desakan di atas Busway, antri tiket Commuter, berbagi tempat duduk dengan penumpang lain hingga harus melanjutkan perjalanan sambil berdiri dan bergelantungan di dalam gerbong kereta. Seorang teman menyampaikan kepada saya bahwa separuh hidup warga disana ialah di jalan.

Dari pengalaman pertama menaiki Busway dan Commuter itu saya jadi merenung bahwa untuk menjalani separuh hidup di jalan-jalan Jakarta kita barangkali membutuhkan kaki yang tabah untuk berpijak dan tangan yang kuat untuk menggenggam. Dan ini memang saya rasakan sendiri, malamnya pegal-pegal terasa di lengan dan betis saya. Wkwkwk…

Keesokan harinya kami menuju Bandung.  Perjalanan ke Bandung ini adalah pertama kalinya pula saya membuktikan langsung betapa sangat bergunanya teknologi GPS itu. Saat meninggalkan Bogor GPS sudah mulai diaktifkan. Kami berangkat selepas Dzuhur. GPS menunjukkan bahwa jarak tempuh Bogor-Bandung adalah kurang lebih 180 kilometer.

Rute pertama yang kami cari tahu adalah arah menuju pintu tol. Inilah jalan bebas hambatan yang bisa menghubungkan kita ke mana saja. Jarak tempuh 180 km memang bukan jarak yang pendek, apalagi di tengah perjalanan beberapa kali kami bertemu sekawanan hujan lebat. Tapi kegembiraan kami tidak berkurang sedikit pun. Semua tetap  ceria mengamati GPS di tangan masing-masing. Untuk memastikan benar tidaknya jalur tol yang kami pilih, kami seringkali bertanya kepada petugas penjaga pintu tol.

Tepat waktu Ashar kami menepi di sebuah rest area, mengambil sejenak jeda menikmati beberapa teguk kopi hangat. Jika mengikuti petunjuk GPS kami akan sampai di Bandung menjelang Maghrib. Sepertinya Bandung memang masih jauh. Setelah melanjutkan perjalanan setelah ber-rest area kami tak hendak dulu buru-buru menemukan Kota Bandung. Cukuplah saja papan penunjuk arah yang bertuliskan “Bandung”. Karena dari tadi memang belum tampak kelihatan.

Hingga ketika tulisan “Bandung” benar-benar kami temukan terpampang di plang penunjuk jalan, menjadi bertambah-tambahlah kegembiraan perjalanan kami. Spontan saya berteriak Banduungg… Banduungg.. Itu berarti arah kami sudah benar. Gedung Sate, Alun-alun Kota sudah terbayang. Mungkin juga jalan Braga, atau yang lainnya.

Menjelang Maghrib kami benar-benar sampai di Bandung. Sore itu langit Bandung sedang mendung. Matahari baru saja terbenam. Tapi kegembiraan di wajah kami selalu terbit. Lalu lintas mulai padat kembali. Mobil kami berjalan rintik-rintik berbaur dengan kendaraan-kendaraan berplat  D.

Tujuan kami sebenarnya bukan Bandung. Bandung hanyalah persinggahan. Sekedar melihat-lihat, sekedar foto-foto, biar besok-besok saya bisa juga bercerita kalau saya pernah ke Bandung. “Ini foto gue waktu di Bandung, Bung! Hehe..” 

Tujuan kami sebenarnya adalah tempat wisata Kawah Putih di daerah Ciwidey. Setelah puas foto-foto dan menongkrongi Alun-Alun Kota Bandung, jam tiga dini hari kami menuju Ciwidey. Menurut perkiraan kami akan menempuh jarak sekitar dua jam perjalanan. Itu berarti kami akan menemukan Subuh disana.

Memasuki daerah Ciwidey suhu udara semakin dingin. Setelah sarapan bubur ayam di depan Mesjid Besar Ciwidey kami melanjutkan perjalanan menuju Kawah Putih. Pemandangan di kiri dan kanan jalur yang kami tempuh dipenuhi oleh kehijauan tanaman strawberry. Sepertinya selain Kawah Putihnya, Ciwidey juga terkenal dengan strawberrynya. Karena ketika saya mengganti display picture bbm dengan latar belakang Kawah Putih, seorang teman di kontak bb saya tiba-tiba berkomentar: “Lagi main di Ciwidey kayaknya nih, salam sama strawberry  ya..”

Atau, jangan-jangan ciwidey itu adalah strawberry dalam bahasa Sunda. Lihatlah di belakangnya, sama-sama berakhiran huruf  y . Wkwkwk, ah, ngaco. Ah, tak tahulah saya.

Di Ciwidey saya juga foto-foto. Biar besok-besok ada cerita yang bisa dibagi bahwa saya pernah menjejakkan kaki di Kawah Putih Ciwidey.

Jam sembilan pagi kami meninggalkan Kawah Putih karena teman-teman harus mengantarkan saya kembali ke Jakarta untuk mengejar penerbangan pulang ke Manado pada jam enam sore. Saya berharap masih bisa singgah sebentar di Bandung bertemu dengan seorang teman SMU yang sudah menetap disana. Malam sebelumnya ketika saya mengabarkan bahwa saya ada di Bandung, teman ini meminta untuk bertemu besok hari sepulangnya kami dari Kawah Putih. “Kita sarapan di tempat saya saja”, begitu pesannya. Tapi hari sudah tidak pagi lagi. Jam sarapan juga sudah lewat. Dan kami masih berusaha menemukan jalan kembali menuju Bandung. GPS tetap menjadi andalan.

Di tengah perjalanan, teman saya yang tadi ingin bertemu tiba-tiba menelepon. “Bung Luqman sudah dimana?” Oh iya, saya di daerah…. ( saya tidak tahu dimana, saya sebut saja sembarang nama tempat yang tertulis di papan nama kios ataupun toko yang tertangkap mata ini, hehe..). “Kamu ga usah singgah di tempat saya. Langsung aja ke Jakarta. Takutnya kamu tidak bisa sampai tepat waktu di Bandara. Insya Allah panjang umur kita bertemu lagi”.

Maka lanjutlah perjalanan kami ke Jakarta. Di sebuah rest area kami berhenti lagi. Saya numpang mandi disana, mumpung gratis. Wkwkwk.. Lagipula sejak perjalanan siang kemarinnya badan ini belum sekali pun diguyur air.  

Akhirnya jam empat sore kami sampai di Bandara. Saya pamit ke teman-teman. Saya salami teman-teman satu per satu. Penerbangan pulang ke Manado masih dua jam lagi. Besoknya akan bertemu lagi dengan Senin. Bertemu lagi dengan rutinitas.

* * *

Dari tulisan saya yang panjang itu, sebenarnya pendek saja yang mau saya bilang. Sabtu-Minggu besok marilah keluar dari rutinitas kita. Ke toko buku lah, ke pantai lah, ke gunung lah, atau kemana saja atau melakukan apa saja yang penting menjauh dari zona rutinitas. Dengan begitu kita bisa melihat hidup ini, bisa memandang diri kita ini dari perspektif yang berbeda.

Itu saja.

Selamat berakhir pekan. (*)