Dua
pekan lalu saya ke Bogor mengunjungi beberapa teman yang sedang menempuh kuliah
Magister di IPB. Perjalanan ke Bogor ini adalah pengalaman pertama saya menaiki
Busway. Juga pengalaman pertama saya menaiki Kereta Commuter. Busway dan Commuter
ini adalah dua jenis moda transportasi darat yang diharapkan dapat menghubungkan dan mengurai
kemacetan jalan-jalan di Jakarta dan kota-kota penyangga di sekitarnya.
Dua
pekan lalu itu libur Paskah. Tapi Jakarta tetap ramai, kendaraan tetap padat.
Dalam perjalanan menuju Bogor saya coba untuk ikut larut dalam salah satu irama
kehidupan warga Jakarta. Berdesak-desakan di atas Busway, antri tiket Commuter,
berbagi tempat duduk dengan penumpang lain hingga harus melanjutkan perjalanan
sambil berdiri dan bergelantungan di dalam gerbong kereta. Seorang teman
menyampaikan kepada saya bahwa separuh hidup warga disana ialah di jalan.
Dari pengalaman pertama menaiki Busway dan Commuter itu saya jadi merenung bahwa untuk menjalani separuh hidup di jalan-jalan Jakarta kita barangkali membutuhkan kaki yang tabah untuk berpijak dan tangan yang kuat untuk menggenggam. Dan ini memang saya rasakan sendiri, malamnya pegal-pegal terasa di lengan dan betis saya. Wkwkwk…
Dari pengalaman pertama menaiki Busway dan Commuter itu saya jadi merenung bahwa untuk menjalani separuh hidup di jalan-jalan Jakarta kita barangkali membutuhkan kaki yang tabah untuk berpijak dan tangan yang kuat untuk menggenggam. Dan ini memang saya rasakan sendiri, malamnya pegal-pegal terasa di lengan dan betis saya. Wkwkwk…
Keesokan
harinya kami menuju Bandung. Perjalanan
ke Bandung ini adalah pertama kalinya pula saya membuktikan langsung betapa
sangat bergunanya teknologi GPS itu. Saat meninggalkan Bogor GPS sudah mulai
diaktifkan. Kami berangkat selepas Dzuhur. GPS menunjukkan bahwa jarak tempuh
Bogor-Bandung adalah kurang lebih 180 kilometer.
Rute
pertama yang kami cari tahu adalah arah menuju pintu tol. Inilah jalan bebas
hambatan yang bisa menghubungkan kita ke mana saja. Jarak tempuh 180 km memang
bukan jarak yang pendek, apalagi di tengah perjalanan beberapa kali kami bertemu sekawanan hujan lebat. Tapi kegembiraan kami tidak berkurang sedikit pun. Semua
tetap ceria mengamati GPS di tangan
masing-masing. Untuk memastikan benar tidaknya jalur tol yang kami pilih, kami
seringkali bertanya kepada petugas penjaga pintu tol.
Tepat
waktu Ashar kami menepi di sebuah rest area, mengambil sejenak jeda menikmati
beberapa teguk kopi hangat. Jika mengikuti petunjuk GPS kami akan sampai di
Bandung menjelang Maghrib. Sepertinya Bandung memang masih jauh. Setelah
melanjutkan perjalanan setelah ber-rest area kami tak hendak dulu buru-buru
menemukan Kota Bandung. Cukuplah saja papan penunjuk arah yang bertuliskan “Bandung”. Karena dari tadi memang belum tampak kelihatan.
Hingga
ketika tulisan “Bandung” benar-benar kami temukan terpampang di plang penunjuk jalan,
menjadi bertambah-tambahlah kegembiraan perjalanan kami. Spontan saya berteriak
Banduungg… Banduungg.. Itu berarti arah kami sudah benar. Gedung Sate,
Alun-alun Kota sudah terbayang. Mungkin juga jalan Braga, atau yang lainnya.
Menjelang
Maghrib kami benar-benar sampai di Bandung. Sore itu langit Bandung sedang
mendung. Matahari baru saja terbenam. Tapi kegembiraan di wajah kami selalu terbit. Lalu lintas mulai padat
kembali. Mobil kami berjalan rintik-rintik berbaur dengan kendaraan-kendaraan
berplat D.
Tujuan
kami sebenarnya bukan Bandung. Bandung hanyalah persinggahan. Sekedar
melihat-lihat, sekedar foto-foto, biar besok-besok saya bisa juga bercerita kalau saya pernah ke Bandung. “Ini foto gue waktu di Bandung, Bung! Hehe..”
Tujuan
kami sebenarnya adalah tempat wisata Kawah Putih di daerah Ciwidey. Setelah
puas foto-foto dan menongkrongi Alun-Alun Kota Bandung, jam tiga dini hari kami
menuju Ciwidey. Menurut perkiraan kami akan menempuh jarak sekitar dua jam
perjalanan. Itu berarti kami akan menemukan Subuh disana.
Memasuki
daerah Ciwidey suhu udara semakin dingin. Setelah sarapan bubur ayam di depan
Mesjid Besar Ciwidey kami melanjutkan perjalanan menuju Kawah Putih.
Pemandangan di kiri dan kanan jalur yang kami tempuh dipenuhi oleh kehijauan
tanaman strawberry. Sepertinya selain Kawah Putihnya, Ciwidey juga terkenal
dengan strawberrynya. Karena ketika saya mengganti display picture bbm dengan
latar belakang Kawah Putih, seorang teman di kontak bb saya tiba-tiba
berkomentar: “Lagi main di Ciwidey kayaknya nih, salam sama strawberry ya..”
Atau,
jangan-jangan ciwidey itu adalah strawberry dalam bahasa Sunda. Lihatlah di belakangnya, sama-sama berakhiran huruf y . Wkwkwk, ah, ngaco. Ah, tak tahulah
saya.
Di
Ciwidey saya juga foto-foto. Biar besok-besok ada cerita yang bisa dibagi bahwa saya pernah menjejakkan kaki di Kawah Putih Ciwidey.
Jam
sembilan pagi kami meninggalkan Kawah Putih karena teman-teman harus
mengantarkan saya kembali ke Jakarta untuk mengejar penerbangan pulang ke
Manado pada jam enam sore. Saya berharap masih bisa singgah sebentar di Bandung
bertemu dengan seorang teman SMU yang sudah menetap disana. Malam sebelumnya
ketika saya mengabarkan bahwa saya ada di Bandung, teman ini meminta untuk
bertemu besok hari sepulangnya kami dari Kawah Putih. “Kita sarapan di tempat
saya saja”, begitu pesannya. Tapi hari sudah tidak pagi lagi. Jam sarapan juga sudah
lewat. Dan kami masih berusaha menemukan jalan kembali menuju Bandung. GPS
tetap menjadi andalan.
Di
tengah perjalanan, teman saya yang tadi ingin bertemu tiba-tiba menelepon.
“Bung Luqman sudah dimana?” Oh iya, saya di daerah…. ( saya tidak tahu dimana,
saya sebut saja sembarang nama tempat yang tertulis di papan nama kios ataupun toko
yang tertangkap mata ini, hehe..). “Kamu ga usah singgah di tempat saya.
Langsung aja ke Jakarta. Takutnya kamu tidak bisa sampai tepat waktu di
Bandara. Insya Allah panjang umur kita bertemu lagi”.
Maka
lanjutlah perjalanan kami ke Jakarta. Di sebuah rest area kami berhenti lagi.
Saya numpang mandi disana, mumpung gratis. Wkwkwk.. Lagipula sejak perjalanan
siang kemarinnya badan ini belum sekali pun diguyur air.
Akhirnya
jam empat sore kami sampai di Bandara. Saya pamit ke teman-teman. Saya salami
teman-teman satu per satu. Penerbangan pulang ke Manado masih dua jam lagi. Besoknya akan bertemu lagi dengan Senin. Bertemu lagi dengan rutinitas.
* * *
Dari
tulisan saya yang panjang itu, sebenarnya pendek saja yang mau saya bilang. Sabtu-Minggu besok marilah keluar dari rutinitas kita. Ke toko buku lah, ke pantai lah,
ke gunung lah, atau kemana saja atau melakukan apa saja yang penting menjauh
dari zona rutinitas. Dengan begitu kita bisa melihat hidup ini, bisa memandang diri
kita ini dari perspektif yang berbeda.
Itu
saja.
Selamat berakhir pekan. (*)
Salam sama stawberryyyyyy. Hahahaaa
BalasHapusMakin mantab nih blog, postnya rutin. Irikaaa..
Tp 1 kurangnya, si empunya blog keknya malas skli pasang fto ato gambar di postingan. Nyampahnya jd kurang afdol. :pp
Eh, ada Mba Aci.... :))
HapusTerima kasih, sarannya bisa dipertimbangkan, dan bisa juga tidak dilakukan.. wkwkwk..