Minggu, 25 November 2012

Salam Buat Keluarga Di Rumah

Minggu lalu saya ke Makassar. Saya terbang dengan pesawat Lion Air. Untuk rute Manado-Makassar, maskapai ini punya dua jadwal penerbangan. Pagi jam 06.45 dan siang jam 02.45. Saya mengambil jadwal yang siang hari itu.

Sebelum berangkat saya sudah menghubungi adik saya yang di Makassar untuk menjemput. Penerbangan Manado-Makassar menempuh waktu kurang lebih 90 menit. Maka saya bilang ke adik saya agar setengah lima sore dia sudah harus berada di bandara.

Sebenarnya akan lebih nyaman jika menyewa taksi. Tapi saya pikir biarlah saya dijemput dengan sepeda motor. Jalanan pasti macet. Dengan sepeda motor akan lebih cepat sampainya. Kemacetan biasanya terjadi di sekitaran pasar Mandai pas baru keluar dari jalan bandara. Namun, minggu lalu itu sepertinya arus lalu lintas lancar-lancar saja. Saya tanya ke adik saya, apakah ini karena hari ini hari libur? Kebetulan memang minggu lalu itu adalah libur 1 Muharram. Tidak berapa lama kami pun sampai ke tempat adik saya.

Bulan Januari nanti Sulawesi Selatan akan melaksanakan Pemilukada, Pemilihan Gubernur. Di beberapa ruas jalan yang sempat saya lewati telah banyak spanduk-spanduk pasangan Calon Gubernur yang mencoba menarik simpati masyarakat Makassar. Di beberapa tempat saya juga sempat melihat tulisan yang menunjukkan posko-posko pemenangan para pasangan.

Selain hiruk-pikuk pemilukada, saya juga meyaksikan Makassar yang sedang bergeliat. Pembangunan dimana-mana. Ekonomi kota itu nampaknya terus bertumbuh. Saya sempat melewati jalan Hertasning Baru, sepertinya di kawasan itu akan dikembangkan menjadi kawasan perumahan. Sawah-sawah yang ada di sekitarnya tidak lama lagi mungkin juga akan beralih fungsi. Di jalan yang lainnya, pembangunan ruko-ruko baru juga tidak kalah banyaknya saya temui.

Lapangan futsal juga bertambah. Lapangan-lapangan baru banyak bermunculan di sekitaran jalan Perintis Kemerdekaan. Beberapa tahun lalu hanya ada lapangan futsal Tango di eks gedung Goro di jalan Pettarani sana. Sekarang kalau ke Makassar ada banyak pilihan tempat untuk mengundang teman-teman bermain futsal.

Beberapa hari berada di Makassar, saya lalu membandingkannya dengan Manado. Di Manado kita masih bisa merasakan kenyamanan jika berjalan kaki. Jalan-jalannya memang tidak selebar di Makassar tetapi di kiri kanannya selalu terdapat trotoar yang berfungsi sesuai peruntukannya. Di Manado banyak sekali jalur jalan yang hanya bisa dilewati oleh dua mobil yang berjalan bersisian. Perbandingannya barangkali seperti ini. Satu jalur jalan di Makassar sama dengan dua setengah kali jalur jalan di Manado.

Matahari di Manado juga tak semenyengat di Makassar. Panasnya mungkin sama, tapi sengatannya berbeda. Bisa jadi ini pengaruh tambahan panas mesin-mesin kendaraan yang lalu-lalang di jalan. Banyak teman yang kini juga sering mengeluhkan macetnya jalan-jalan di Makassar, ditambah lagi jika terjadi demonstrasi Mahasiswa.

Membanding-bandingkan Makassar dengan Manado, saya merasa masih lebih nyaman memang tinggal di Manado. Namun, Manado juga terus bertumbuh. Iklim investasi disini juga sedang bagus. Pembangunan juga sedang bergeliat. Di jalan-jalan di Manado yang sempit ini, lebih banyak saya jumpai mobil daripada motor. Perhatikanlah jika berhenti di lampu merah. Hitunglah jumlah mobil dan motor. Mana yang lebih banyak.

Polisi lalu-lintas disini juga telah beberapa kali mengubah jalur jalan untuk mengurai kemacetan. Sampai-sampai Bapak Kapolda Sulut yang baru memberi warning kepada Kapolantas Manado bahwa kalau kemacetan di Manado tidak dapat teratasi maka tidak segan-segan ia akan mengganti Kapolantas tadi. Titik.

Kemacetan sepertinya telah menjadi problem di kota-kota besar saat ini. Beberapa tahun kedepan jika lalu lintas tidak tertangani dengan baik, maka saya memprediksi jualan kampanye Pasangan Calon Gubernur ataupun Calon Walikota pastilah soal bagaimana mengatasi kemacetan di daerah yang akan mereka pimpin. Seperti tuntutan warga Jakarta di Pemilukada yang baru lalu.

Dalam ekonomi yang terus bertumbuh, dengan pendapatan masyarakat yang juga membaik, dengan kemudahan memiliki kendaraan bermotor yang ditawarkan dealer, memang tak ada yang melarang seseorang untuk memiliki mobil ataupun motor. Di jalan yang lebarnya begitu-begitu saja, yang kita lewati setiap pergi dan pulang kerja, kita mesti berbagi ataupun berebut dengan kendaraan lain yang jumlahnya terus bertambah setiap hari. Barangkali di jalan yang macet itu tak jarang kita saling mengumpat, saling menyepelekan satu sama lain.

Akhirnya, kalaupun besok-besok kemacetan di kota-kota tempat kita bekerja terus saja terjadi, kalaupun pekerjaan yang kita lakukan di tempat kerja selalu saja melahirkan lelah, mari berharap kita semua tetap masih punya keluarga yang sakinah menunggu di rumah. Dengan begitu kita selalu punya tempat untuk pulang. Agar kepenatan di jalan mendapatkan oasenya di rumah.

Selamat berakhir pekan. Salam buat keluarga di rumah.

* * *

Begadang Jangan Begadang

Menengok diri sendiri di dalam cermin
saya lihat ia baru bangun
ia ingin mengucapkan selamat pagi
tapi matahari sudah terlalu tinggi

* * *

Kamis, 22 November 2012

17 menit yang lalu

Ini hanya intermezo saja. Mudah-mudahan catatan ini tidak akan panjang. Kalaupun nanti menjadi panjang saya akan tetap melabeli tulisan ini sebagai catatan pendek. Saya menulis catatan ini karena teringat kawan saya. Namanya Fadillah. Namun orang-orang lebih sering memanggilnya dengan Bung Fadil.

O iya, dulu saya hanya tahu kalau di Indonesia ini hanya ada tiga orang yang dipanggil dengan sebutan Bung di depan namanya. Bung Karno, Bung Hatta, Bung Tomo. Tapi belakangan ketika saya bertanya kepada seorang teman tentang sebaiknya saya memanggil ia dengan sebutan apa. Apakah Pak, Bang, Bro, atau Mas. Teman saya itu bilang panggil saja Bung, biar kedengarannya selalu muda. Bukan saja kepada teman ini saya memanggil mereka dengan sebutan Bung, kepada beberapa teman yang lain pun saya sering memanggil demikian. Termasuk kawan saya Bung Fadil tadi.

Saya pernah membaca kalau kata bung itu diambil dari kata rebung yang berarti anak-anak bambu. Panggilan Bung ini diberikan kepada pejuang-pejuang kemerdekaan yang waktu itu bersenjatakan bambu runcing.

Kita kembali ke kawan saya yang bernama Bung Fadil itu. Sejak meninggalkan kampus, saya jadi jarang bertemu dengan kawan yang satu ini. Biasanya komunikasi kami lakukan melalui chat box di fb. Melalui chating-chating ini saya bisa tahu sedikit banyaknya kabar-kabar tentang kampus almamater saya dulu.

Melalui media sosial saya selalu bisa mendapatkan kabar terkini dari teman-teman yang terpisah jauh. Saya rutin mengikuti kabar teman-teman dari update status di akun media sosial mereka. Memang sih, ada juga status-status yang tidak jelas yang hanya untuk seru-seruan saja.

Kawan saya yang Bung Fadil itu sering menulis status: 17 menit yang lalu. Saya tak tahu apa maksudnya. Setahu saya tentang angka 17 itu seringkali muncul diawal film yang waktu kecil dulu saya dilarang untuk menontonnya. 17 tahun keatas.

Belakangan saya tersadar bahwa tulisan 17 menit yang lalu, yang sering ditulis oleh kawan saya itu, akan tetap terbaca sebagai 17 menit yang lalu. Kapan pun kita membacanya. Apakah besok, lusa, bulan depan, ataupun tahun depan. Begitulah barangkali sifat tulisan itu. Ia akan abadi. Seperti kata orang-orang bahwa menulis adalah bekerja untuk keabadian. Hanya penulis yang tak akan mati.
* * *

Minggu lalu ketika ke Makassar saya bertemu dengan kawan saya Bung Fadil tadi. Kami saling menjabat tangan. Dalam jabat tangan itu saya bilang 17 menit yang lalu. Kawan saya itu tersenyum. Mungkin juga malu-malu. Saya tidak sempat menanyakan apa makna 17 menit yang lalu yang sering ia tulis. Jika nanti bertemu lagi saya mungkin akan bilang ini. "Hei Bung Fadil...! Bung Karno dan Bung Hatta memproklamirkan Kemerdekaan Indonesia bukan pada 17 menit yang lalu, tapi pada 17 Agustus 1945".

Seperti janji saya, tulisan ini hanya intermezo saja. Merdeka !

* * *

Kamis, 01 November 2012

Melihat Hijaunya Rumput Sendiri

Saya punya seorang kawan. Sejak SD, SMP, SMA kami selalu satu sekolah. Ia sekarang bekerja di Trans7 TV. Saya tak tahu persis ia bekerja di bagian mana atau untuk acara apa. Saya seringkali membaca status pada akun facebooknya. Hari ini dia di daerah ini, pekan depan sudah di daerah yang lain lagi. Di statusnya di facebook itu kadang saya membaca komentar dari teman-teman kawan saya ini : Asyik ya, jalan-jalan terus.

Ketika mudik pada Lebaran Idul Fitri yang baru lalu, saya bertemu dengan kawan ini. Kami bercerita banyak tentang pekerjaan masing-masing.

Ia, katanya, pernah syuting di sebuah daerah terpencil. Saya sudah lupa apa nama daerahnya. Apakah di Kalimantan, atau di Sumatera. Saking terpencilnya daerah itu, ketika mereka kehabisan uang untuk perjalanan pulang kembali ke Jakarta, mereka terpaksa harus mencari Kantor Pos terdekat. Kantor Pos-lah satu-satunya cara untuk menerima kiriman uang dari Jakarta. Tetapi tidak cukup sampai disitu saja. Mereka harus mengecek terlebih dahulu jumlah uang tunai yang ada di Kantor Pos tersebut. Jika jumlahnya mencukupi untuk kiriman yang mereka minta, barulah wesel pos akan dikirimkan melalui Kantor Pos tadi.

"Saya kadang iri dengan orang-orang kantoran. Saya kadang ingin kerja seperti mereka. Pergi pagi pulang petang dan diakhir pekan menikmati liburan. Saat diakhir pekan pergi syuting pagi-pagi, saat memandang keluar melalui kaca mobil, memandang orang-orang yang bersepeda, saya juga ingin seperti mereka", begitu pengakuan kawan saya tadi.

Tak jarang pula kawan saya ini bekerja hingga subuh hari. Jam-jam selepas tengah malam sangat cocok untuk menulis script acara yang baru saja selesai syutingnya. Kalau sudah begini, pagi-pagi adalah waktu untuk tidur.

Tapi, asyik kan jalan-jalan terus? Bisa mengunjungi berbagai tempat? Banyak yang bertanya seperti itu. Saya pun bertanya demikian kepada kawan ini. 

"Iya, barangkali seperti itu", jawab kawan saya. "Atau, rumput tetangga barangkali memang selalu lebih hijau dari rumput sendiri?" sambungnya lagi.

* * *

Sampai disitu dulu, sudah dulu, ya, hhooamm... Besok pagi saya harus ngantor. :)

Kamis, 18 Oktober 2012

Selamat Pagi Indonesia


Setiap pagi sepertinya orang-orang selalu merasa punya alasan dan hak untuk terburu-buru. Ada yang karena tak ingin kehabisan sayuran dan ikan segar di pasar pagi.  Ada yang karena alasan tak ingin anaknya terlambat ke sekolah. Ada yang karena tak ingin telat memindai sidik jarinya di absen elektronik kantor. Ada yang karena tak ingin kehilangan penumpang kantoran dan sekolahan. Dan, ada yang karena tak ingin kehabisan sarapan nasi kuning dan bubur di pojok jalan sana yang memang selalu ramai. Dan, berbagai alasan lainnya. 

Maka kita paculah mobil dan motor kita.

* * *

Senin, 08 Oktober 2012

Let's Rock'n'Roll, Kawan!

Salah satu atasan saya di kantor adalah orang Batak. Suaranya keras. Siapa yang baru pertama kali berbicara pada atasan saya ini pastilah mengira si Bos lagi marah-marah. Padahal tidak. Memang begitulah adanya. Bukan saja di kantor, di rumah pun si Bos begitu. Pernah di rumahnya, atasan saya ini berbicara dengan lemah lembut yang tidak seperti biasanya. Sang isteri lantas bertanya khawatir: apakah Bapak sakit? Padahal tidak. Di kantor pun demikian. Jika suatu kali kami mendapati si Bos adem ayem saja dan berbicara lemah lembut, teman-teman langsung mengira pastilah si Bos lagi sakit atau lagi tidak enak badan. Padahal tidak.

Sudahlah. Mari kita sudahi pembicaraan tentang atasan saya yang orang Batak itu.

Di kantor, saya punya kebiasaan pulang paling belakangan, bahkan dibandingkan dengan office boy kami sekalipun. Ada dua alasannya. Pertama, saya belum punya anak-isteri yang menunggu di rumah sehingga tidak akan ada panggilan telepon dari rumah jika saya terlambat pulang. Kedua, saya selalu tidak punya alasan kepada Pak Bos jika harus pamit pulang duluan. Lebih baik jika saya menunggu Pak Bos pulang lebih dulu baru kemudian saya pulang. Dengan begitu tidak ada orang yang perlu saya mintai pamit buat pulang karena sayalah orang yang belakangan pulang. Apalagi saya dititipi juga duplikat kunci ruangan.

Tentang pulang paling belakangan ini saya selalu menantikan suasana yang dihadirkannya. Suasana ruangan yang diisi percakapan, hilir-mudik, tanya-jawab, dan senda-gurau selama seharian, tiba-tiba seketika hening. Biasanya hanya akan ada bunyi nyala lampu neon, atau bunyi alat penyimpan arus yang belum dimatikan, atau hentakan musik slow rock melalui speaker di laptop yang saya setel pelan. Dari tempat dudukku, saya akan memandang keluar menembus kaca jendela. Saya akan memandangi warna langit yang mulai senja dan perlahan menuju gelap. Saya selalu menantikan menikmati kesendirian yang seperti itu. Sangat menenangkan. Setelah itu pulanglah saya. Sampai di kos-kosan hari sudah gelap.

Sore tadi sepertinya teman-teman kompak untuk pulang tepat waktu. Setengah lima teng semua sudah berkemas untuk pulang. Tak terkecuali Bos saya yang orang Batak itu. Pak Luqman belum mau pulang? Saya bilang: belum, sedikit lagi Pak, saya juga nda tau mau bikin apa kalo sudah di kosan, orang-orang di kosan juga pasti akan heran, kok saya pulang cepat, ada apa.

Ya, begitulah kebiasaan itu. Sekali waktu kita berada di luar kebiasaan, orang-orang akan bertanya-tanya, ada apa. Padahal tidak ada apa-apa. Seperti kebiasaan berbicara Bos saya yang orang Batak itu. Seperti kebiasaan saya pulang paling belakangan. Padahal tidak ada salahnya jika kita bersuara lemah lembut. Padahal tidak ada salahnya kalau kita pulang ke rumah sebelum gelap. Dan, tidak ada salahnya juga, apabila orang-orang menjadi bertanya-tanya kenapa, saat kita memilih berubah. Tak ada salahnya memang.

Kalau begitu, okelah, let's Rock'n'Roll untuk kebiasaan-kebiasaan baik yang baru.

* * *

Rabu, 03 Oktober 2012

Ada Apa Di Oktober

Seandainya setiap kali diberi nikmat kita diharuskan untuk koprol sambil bilang "wouw" gitu, maka pastilah setiap saat yang kita kerjakan di dunia ini hanyalah koprol sambil bilang "wouw". Belum selesai koprol yang satu, ada lagi koprol berikutnya. Maka nikmat Tuhan yang mana yang kita dustakan?

* * *

Minggu, 30 September 2012

30.09.2012. Sehari Tiga Titik

Puncak Gunung Mahawu 1300 mdpl, Tomohon. Hampir tengah hari.

Puncak Minahasa, Kabupaten Minahasa Utara. Menjelang Ashar.

Pantai Firdaus, Kema - Kabupaten Minahasa Utara. Sebentar lagi sore.

Kamis, 27 September 2012

Hari Ini Anak Muda Ini Gajian Lagi

Tanggal dua puluh tujuh datang lagi. Hari ini anak muda ini gajian lagi. Untuk ukuran anak muda gajiku di perusahaan ini cukup besar. Apalagi jika ditambah dengan komisi-komisi bulanan yang juga selalu ada.

Sebelum bekerja di perusahaan ini, saya pernah bekerja mengelola warnet seorang teman. Bekerja di warnet ini waktu itu hanyalah sebagai kesenangan agar tidak menganggur diawal-awal kelulusan kuliah saya. Tidak ada negosiasi gaji. Mendapat jaminan makan setiap hari plus bersenang-senang di depan komputer rasanya sudah cukup. Setelah tanggal dua puluh setiap bulannya barulah kami akan melihat saldo pendapatan warnet. Berapa biaya tagihan rekening listrik dan provider internet, berapa biaya maintenance komputer selama bulan itu, berapa biaya makan dan minum, serta berapa yang harus disisihkan buat membayar cicilan pinjaman. Sisa dari semua pengeluaran-pengeluaran itulah yang akan kami bagi. Di warnet teman ini saya bekerja kurang lebih tujuh bulan lamanya.

Sebelum bekerja di warnet teman tadi, saya pernah bekerja mengelola usaha pangkas rambut. Kami menamainya Pangkas Rambut Mahasiswa Militan. Lokasinya di kompleks kos-kosan mahasiswa. Pelanggan kami sebagian besar adalah mahasiswa. Waktu itu saya juga masih mahasiswa. Prinsip pengelolaan usaha pangkas rambut ini adalah prinsip bagi hasil, fifty-fifty. Ada pihak yang menyiapkan tempat dan peralatan pangkas rambut. Ada pihak yang mengelola sebagai tenaga pangkas rambut. Saya bersama seorang teman yang juga adik tingkat saya di kampus diberikan kepercayaan untuk menjalankan pangkas rambut ini. Karena kami masih berkuliah pangkas rambut ini buka mulai jam empat sore hingga jam sembilan malam.

Bakat menggunting rambut memang sudah mulai saya latih sejak SMA. Ketika itu yang menjadi kelinci percobaan saya adalah adik dan anak-anak tetangga di sekitar rumah. Setelah mulai terampil banyak teman-teman SMA yang mulai mempercayakan rambutnya digunting oleh saya. Pada saat kuliah jam terbang saya pun semakin bertambah. Mulai dari teman-teman mahasiswa di kos-kosan, hingga senior-senior bahkan beberapa junior saya di kampus sering kali merasakan dentingan gunting yang saya mainkan di kepala mereka. Ketika kuliah dulu selain buku-buku, di dalam tas yang saya ranselkan di punggung juga selalu ada gunting dan sisir.

Saya masih ingat, ada seorang teman saya. Namanya Adi Kurniawan. Teman ini sejak kepalanya digunduli pada saat ospek, sejak itu dia tidak pernah lagi menggunting rambutnya. Rambutnya dibiarkan terus tumbuh hingga beberapa tahun setelahnya. Ketika teman ini dipercaya menjadi Ketua BEM di Fakultas rambut panjangnya tetap setia ia pelihara. Saya juga ingat kelakar kami ketika menyinggung-nyinggung tentang rambut panjangnya. Ia selalu bilang selama rambutnya masih gondrong itu berarti suasana hatinya masih merah. Masih ada perlawanan yang harus dilakukan. Ketika suasana hati berubah menjadi merah jambu, pada saat itulah ia baru akan memotong rambutnya. Jika rambut gondrong itu harus dipendekkan, saya minta kepadanya agar urusannya diserahkan ke saya. Dan benar saja, dikemudian hari urusan itu tuntas saya jalankan.

Saya harus berterima kasih kepada teman-teman di kampus. Karena dari mereka-lah kemampuan menggunting rambut yang saya miliki menjadi semakin terasah. Dalam hal menggunting rambut saya selalu mempunyai prinsip bahwa yang digunting rambutnya tidak akan pernah lebih tampan dari yang menggunting. Jangan pernah berharap, hehe. Tentu saja ini hanya candaan saya untuk membangkitkan imajinasi pada gaya potongan rambut yang diminta teman-teman.

Harus saya akui, bekal keterampilan mencukur inilah yang sangat menolong kondisi keuangan saya menjelang akhir-akhir kemahasiswaan saya. Waktu itu perasaan segan dan malu sudah begitu besarnya jika harus selalu meminta kepada Mamak dan Bapak, apalagi dengan kuliah yang belum juga kelar. Pendapatan bagi hasil yang saya peroleh melalui usaha pangkas rambut tadi sudah lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan harian. Sesekali saya pun bisa mentraktir teman-teman. Sejak mengelola pangkas rambut tak pernah lagi ada istilah tanggal tua. Tak pernah lagi ada mahasiswa rantau galau pada tanggal tua.  Kami akan menerima bagi hasil keuntungan pada setiap tanggal satu.

Dua setengah tahun saya mengelola usaha pangkas rambut ini. Enam bulan setelah di wisuda dari kampus, saya minta izin kepada pemilik usaha. Saya ingin mencoba kesenangan baru, mungkin juga tantangan baru. Maka bergabunglah saya dengan beberapa teman mengelola sebuah usaha warnet yang ceritanya sudah saya singgung di atas tadi.

Tanggal dua puluh tujuh datang lagi. Hari ini anak muda ini gajian lagi. Untuk ukuran anak muda gajiku di perusahaan ini cukup besar. Apalagi jika dibandingkan dengan dua pekerjaan yang pernah saya jalani sebelumnya.

Pengalaman bergaul dengan sesuatu yang kita sebut uang telah memberikan pemahaman pada diri ini bahwa uang selalu tak pernah cukup untuk memenuhi keinginan kita. Seberapa pun banyak uang yang kita miliki. Jika hidup ini hanya diukur dengan uang maka kita akan bingung dibuatnya. Karena uang tidak selalu berhubungan linear dengan kepuasan batin.

Uang yang kita miliki tak akan pernah cukup. Sudah seperti itulah tabiatnya uang. Sehingga jangan pernah menunggu cukup untuk membantu sesama. Lihat sekelilingmu, siapa yang butuh dibantu dengan uangmu. Jangan menunggu. Begitu nasehat Bapak saya sebelum melepas saya kembali ke kota ini pada lebaran yang baru lalu.

Untuk ukuran anak muda pendapatanku di perusahaan ini memang cukup besar. Apalagi jika dibandingkan dengan dua pekerjaan yang pernah saya jalani sebelumnya. Jika harus saya sandingkan dengan keinginan-keinginan yang menghuni pikiran ini rasanya uang saya memang tak pernah cukup. Tidak dulu, tidak sekarang.  Di sisi lain, saya pun selalu merasakan perasaan yang sama, perasaan hidup yang lebih hidup setiap kali ada teman yang bisa saya bantu dengan uang yang saya miliki. Apakah ketika masih dulu. Apakah ketika kini.

Barangkali memang ada benarnya nasehat orang-orang suci, memberi itu terangkan hati.


* * *

Rabu, 19 September 2012

Perihal Perempuan Di Kotaku

Siapa bilang malam Minggu adalah malam yang panjang. Saya bilang malam Sabtu atau Jum'at malamlah yang paling panjang. Saya tak perlu memberi tahu alasannya. Anda yang bekerja dari Senin hingga Jum'at dan libur pada Sabtu-Minggu pasti tahu.

Pernah hampir disetiap akhir pekan kami rutin mengunjungi sebuah mall dan nongkrong di salah satu tempat makan yang ada disana. Kami biasanya memilih meja dengan view yang memberikan pemandangan pada jalan masuk pengunjung mall. Pada posisi ini, jika Anda pandai membaca peluang pasar maka Anda akan langsung tahu produk apa yang akan laku keras disini. Ya, kota ini adalah surganya pakaian mini.

Di tempat makan tadi, kalau sedang tak ingin makan saya biasanya memesan secangkir teh. Cangkir teh disitu cukup besar. Dua kali besarnya jika dibandingkan dengan cangkir teh di kantorku yang biasa dihidangkan di atas meja kerjaku. Suatu kali saya mencoba memesan secangkir coklat hangat. Setelah menghabiskannya, saya berbisik kepada teman-teman yang bersama saya waktu itu: "Lain kali saya sudah tahu apa yang akan saya pesan kalau kesini lagi", sambil saya menunjuk cangkir yang telah kosong.

Pernah disuatu kunjungan nongkrong kami berikutnya, kami memilih meja yang agak di pojok. Walaupun agak di pojok namun masih tetap strategis untuk dapat mengamati lalu-lalang perempuan-perempuan berbalut pakaian mini.

Dan, lihat.. beberapa meja di depan sana. Kau lihat? Perempuan itu, yang memakai jilbab itu. Yang duduk sendiri itu. Mungkin saja dia memesan secangkir teh hangat juga, atau mungkin secangkir cokelat hangat.

Di kota ini saya seringkali dibuat takjub ketika melihat perempuan yang mengenakan jilbab. Mereka punya aura tersendiri tatkala berada di antara mereka-mereka yang menganggap pakaian mini adalah hal yang biasa. 

Namun ada ketakjuban jenis lain ketika dihari itu saya memperhatikan perempuan berjilbab yang duduk sendiri pada meja di depan sana. Jilbabnya membingkai pas pada wajah cantiknya, dipadu dengan pakaian yang menutupi tinggi tubuhnya yang semampai. Perempuan ini sepertinya tidak suka memakai busana yang hanya sekedar pembungkus tubuh yang menampakkan lekukan-lekukan anggota tubuhnya. Perempuan ini memakai pakaian yang selayaknya perempuan yang disebut berhijab. Di meja itu ia duduk sendiri, kepalanya menunduk acuh. Tampaknya ia sedang asyik memainkan blackberry yang ada di genggamannya. Dan pada tangan yang satu, jari-jarinya mengapit sebatang rokok. Sesekali rokok itu dihisapnya. Asap rokok mengepul di sekitar mejanya. Saya tak menyangka. Seketika itu saya takjub. Sebuah ketakjuban yang benar-benar lain. Pikiran saya tiba-tiba dihinggapi banyak pertanyaan, banyak penilaian. Di kota ini saya memang tidak sulit untuk menemukan perempuan-perempuan yang menghisap rokok di tempat-tempat umum. Tidak ada perasaan risih sedikit pun yang mereka tampakkan.

Jangan salah. Merokok itu bukan persoalan gender. Ia adalah persoalan kesehatan. Sudah lama saya berhenti merokok.

Pernah pula suatu sore saya mendapati diri ini harus terburu-buru mengejar jamaah maghrib yang sudah dimulai. Saya mengambil wudhu lalu menuju tangga mesjid. Di tangga itulah saya berpapasan dengan perempuan yang beberapa saat sebelumnya turun dari mobil. Perempuan itu nampaknya juga bergegas mengejar jamaah maghrib yang hampir usai. Ia menuju lemari berisi mukena pada barisan shaf perempuan yang berada di belakang. Kulitnya putih mulus, rambutnya hitam terawat dan panjang hingga melewati bahu. Ia mengenakan pakaian terusan yang tak berlengan. Pakaian itu memperlihatkan sebagian punggung hingga keseluruhan lengannya yang putih mulus itu. Terusan yang ia pakai nampaknya tidak cukup panjang untuk menutupi keseluruhan betisnya. Salah kostumkah perempuan itu? Saya tidak tahu. Yang saya tahu pakaiaannya sangat menggoda dan menantang imajinasi. Jika nanti saya sudah beristri, saya akan meminta isteriku untuk berdandan dan memakai busana seperti perempuan di tangga mesjid itu. Saya akan meminta isteriku berdandan seperti itu di rumah. Hanya di rumah saja, dan pasti saya betah.

Malam ini saya menulis lagi. Saya teringat pada salah seorang perempuan yang menjadi kawan saya. Dia pernah menulis: "Seandainya keimanan seseorang hanya didasarkan pada penampilan luar saja, maka betapa mudahnya masuk surga".

* * *

Minggu, 09 September 2012

Rumus Kebaikan

sehari selembar benang
sedikit demi sedikit 
lama-lama menjadi kain
lama-lama menjadi bukit

* * *

Jumat, 07 September 2012

masa depan, oh masa depan

Akhir-akhir ini saya menjadi jarang membaca buku. Saya lebih sering menghayal. Terhadap kalkulasi-kalkulasi di-masa-depan-lah khayalan saya itu berlabuh. Di dalamnya ada kekhawatiran. Di dalamnya ada optimisme.

* * *

Rabu, 29 Agustus 2012

Suatu pagi seperti ada yang menggoyangkan kepalamu

Saya sudah di kantor lagi. Semua sudah siap. Laptop sudah dinyalakan. Kabel printer sudah dihubungkan. Internet sudah diaktifkan. Air putih, teh panas juga sudah. Saya sekarang sedang duduk di kursi di belakang meja kerjaku ini. Selembar hitung-hitungan sederhana pesanan teman juga baru saja selesai saya rampungkan.

Tadi pagi, pas bangun dari tidur, kepala ini serasa bergoyang-goyang. Seperti ada yang menggoyangkannya, atau seperti ada yang menari-nari di dalamnya. Kalaupun memang ada yang menari-nari di dalamnya, pastilah ia sedang mengikuti irama musik yang lambat. Tarian-tarian lambat itu masih terasa hingga ke kamar mandi, hingga siraman air yang pertama ke kepalaku ini, bahkan hingga akan berangkat ke kantor.

Pernahkah suatu pagi kamu mengalami yang seperti itu? Seperti ada yang menggoyangkan kepalamu, seperti ada yang menari-nari di dalamnya? Tahukah kamu apakah yang menggoyangkan kepalamu itu? Atau, siapakah yang menari-nari di dalamnya?

Padahal semalam saya tidak begadang. Padahal tidak ada pikiran yang sedang membebani kepala ini. Mungkinkah nasi goreng yang saya santap semalam penyebabnya? Kalau memang nasi goreng itu penyebabnya, pastilah mereka telah menaburkan vetsin sewaktu menggorengnya. Orang bilang vetsin tidak baik untuk syaraf-syaraf di kepala.

* * *

Jumat, 24 Agustus 2012

Saya akan bermain bola lagi sore nanti

Di tempatku saat ini masih pagi. Di tempatmu juga pastinya. Saya tahu itu dari pramugari setiap kali pesawatku akan mendarat menyinggahi kotamu. Tidak ada perbedaan waktu antara kotaku dan kotamu, kata pramugari itu.

Setelah sekian lama, hari ini saya akan bermain bola lagi. Ini agenda terakhirku pada pulang kampungku kali ini. Saya akan bermain bersama teman-teman seangkatan waktu SMA dulu. Kami akan melawan SMA tetangga yang juga seangkatan dengan kami. Ini hanya pertandingan reuni setelah sepuluh tahun kelulusan kami. Tak ada piala yang akan kami dapatkan jika akhirnya menang. Tapi saya selalu bersungguh-sungguh setiap kali bermain bola. Kalau mau, kau boleh menitip sebiji gol.

Saya selalu bersemangat memang setiap kali diajak bermain bola. Sama bersemangatnya ketika diajak duduk menikmati secangkir teh.

Dan oh, rupa-rupanya air di despenser Mamak sudah panas. Sudah saatnya saya menyeduh teh. Ini barangkali pagi terakhirku bisa duduk berlama-lama disini menikmati hangatnya teh seteguk demi seteguk.

* * *

Kamis, 23 Agustus 2012

Saya selalu ingin pulang dengan tersenyum

Di peta Indonesia kotaku ini berada di kaki k pulau Sulawesi. Ia disebut dengan nama Raha. Lima hari sudah saya berada disini. Besok atau lusa saya sudah akan balik ke Manado untuk memulai kembali aktifitas kerja pada Senin nanti.

Sejak meninggalkan tanah kelahiranku ini sepuluh tahun yang lalu, sejak saat itu pula saya mulai belajar berpisah. Belajar bagaimana menabahkan rindu. Dari pelajaran berpisah dan merindu itu, saya menyimpan satu cita-cita untuk selalu pulang kesini paling tidak setahun sekali setiap Lebaran.

Pulang kampungku selalu sebentar saja. Namunpun demikian perjalanan pulang kampung telah menjadi semacam perjalanan spiritual setahun sekali, perjalanan pulang ke asal, perjalanan menziarahi tanah kelahiran sendiri. Perjalanan menziarahi ini untuk mengingatkan bahwa nantinya akan ada pulang yang sesungguhnya. Di bagian bumi yang mana nantinya saya tidak tahu. Saya tak akan pernah tahu. Ini hanya perihal menunggu giliran. Jika waktunya tiba kita pasti akan pulang. Pulang sendiri-sendiri.

Dengan menyadari kenyataan ini saya selalu berharap semoga ketabahan selalu menyertai dimana pun saya berada.

* * *

Kamis, 09 Agustus 2012

Sungguh susahkah mengingat Kau penuh seluruh?

Mungkinkah dua hal ini berbeda? Keyakinan terhadap Allah SWT dan Kekonsistenan menjalankan perintah-Nya.

Saya selalu yakin kalau segala yang terjadi dan yang bisa terjadi pada diri ini adalah atas ke-Mahakuasa-an Allah. Saya meyakini itu.

Namun disisi lain, tidak jarang saya lalai untuk melakukan ketaatan-ketaatan yang diperintahkan-Nya. Begitu susahkah istiqamah itu?

Ya Allah, jangan tutup hati kami untuk menerima cahaya-Mu.

* * *

Selasa, 24 Juli 2012

Puasa ini untuk-Ku, Aku yang akan membalasnya

Tuhan kita ternyata dekat.
Lihatlah buktinya dalam perintahNya itu. Perintah puasa itu.
Dia menggunakan kata hai.
Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa.
Dengarlah. Dia begitu dekat, bukan.
Seandainya Dia berada jauh, Dia pasti akan berseru hallo.
Hallo orang-orang yang beriman. Hallo.. hallo.
Tuhan kita ternyata dekat.


* * *

Selasa, 17 Juli 2012

Adakah payung yang kau sediakan sebelum ia datang?

Di kota kami ini, beberapa hari ini, hujan masih sering turun. Setiap hari.
Tetapi jangan resah. Kepada kau yang ingin menyambut pagi. Kepada kau yang ingin melepas sore. Jangan resah.
Hujan disini, di kota kami ini, telah punya waktu untuk janji kedatangannya.
Ia tetap memberi ruang kepada pagi agar matahari bisa terbit. Ia tetap menyediakan waktu kepada matahari biar terbenam dengan tenang.
Diantara kedua waktu itulah ia memilih menepati janjinya. Selalu, setiap hari di beberapa hari ini. Seperti siang ini. Seperti mendung di luar sana.
Sebentar lagi ia akan datang. Di kota kami ini.
Beberapa hari ini, disini, mendung selalu berarti hujan.
Adakah payung yang sudah kau sediakan.

* * *



Minggu, 15 Juli 2012

Belajar mencintai Manado


Musim hujan sedang puncak-puncaknya. Penerbangan saya didelay beberapa jam. Tidak banyak barang yang saya bawa. Hanya ada beberapa lembar pakaian, dua pasang sepatu, empat buah sampiran baju, dan tak ketinggalan beberapa buah buku. Semuanya saya masukkan kedalam dua buah tas jinjing kecil. Hingga akhirnya sembilan puluh menit setelah pesawat diberangkatkan saya tiba di kota ini. Saya ingat hari itu tanggal 11 Desember tahun 2010. Hari itu sudah sore dan hujan masih turun saja.

Hampir dua tahun sudah saya belajar mengenal Manado. Mencoba menemukan hal-hal yang bisa membuat saya mencintai kota ini.

Jalan 14 Februari adalah alamat saya yang pertama. Tidak akan sulit menemukan alamat itu. Disitu saya menyewa sebuah kamar empat kali tiga pada sebuah Keluarga Advent. Advent adalah salah satu aliran dalam Kristen yang melarang penganutnya untuk memakan babi. Di rumah itu ada empat kamar yang disewakan. Selain di kamar sendiri, tak ada privasi yang mutlak kita punyai. Tidak ada ruang tamu khusus, tidak ada ruang nonton khusus, tidak ada kamar mandi khusus, tidak ada dapur khusus.  Untuk ruang-ruang itu kami mesti berbaur, sepintar-pintarnya kami menyesuaikan diri.

Keluarga Advent ini punya lima orang anak. Yang tertua ketika itu baru kelas dua SMP. Tiga orang masih duduk di bangku SD kelas 1, kelas 3, dan kelas 5. Yang bungsu baru masuk TK. Sepulang dari kantor mereka biasanya menyambut saya di ruang depan, lalu dengan hangat membalas ucapan selamat malam yang saya sampaikan. Kadang-kadang saya menemani mereka mengerjakan PR sekolah. Kadangkala mereka juga menguji saya dengan pelajaran bahasa Inggris yang hari itu mereka dapatkan di kelas. Tak mau kalah, saya menguji balik dengan meminta mereka menyanyikan lagu 17 Agustus, dari awal sampai akhir tidak boleh ada lirik yang keliru.

Saya menyukai bocah-bocah tadi. Mereka memanggil saya Om Luqman.

Di rumah itu tak ada suasana kos-kosan. Di dalamnya saya menemukan suasana rumah yang alami. Di dalamnya ada keributan anak-anak, entah itu karena memperebutkan mainan, rengekan minta dibelikan jajanan, tangisan memperebutkan remote tivi, hingga kemalasan pagi hari ketika hendak mandi untuk berangkat sekolah. Sekali waktu saya juga akan menyaksikan petugas koperasi yang datang menagih cicilan pinjaman. Hampir tak ada kejadian di dalam rumah itu yang seolah tidak ingin diperlihatkan.

Sekali waktu saya pernah ditanya oleh Ibu Kost, apakah saya tidak merasa terganggu oleh keributan anak-anak itu. Saya terus terang saja menjawab tidak terganggu. Di keluarga saya, kami juga lima orang bersaudara dan juga hanya seorang perempuan, dan kami hampir tumbuh bersamaan. Barangkali serupa itu pula keributan kami ketika kecil dulu.

Di keluarga Advent itu saya tinggal sebelas bulan lamanya. Saya terpaksa harus pindah. Rumah itu ada yang menawar dan harganya cocok dengan yang diinginkan keluarga itu. Mereka pindah, membeli  sebuah rumah kecil yang agak jauh dari pusat kota. Saya mencari tempat kost yang baru.

Sekarang saya tinggal dengan keluarga Jawa. Di rumah ini juga ada 4 petak kamar yang disewakan yang terpisah dengan rumah induk.  Seandainya ruangan di dalamnya lebih banyak dan lebih luas, maka mungkin akan lebih cocok disebut dengan rumah petak.

Kepada pemilik kontrakan, tetangga-tetangga disini memanggilnya Pakde. Beliau punya dua orang cucu dari anaknya yang juga tinggal di rumah ini. Cucunya baru berumur beberapa bulan dan cucu yang tertua berumur lima tahun.

Oleh cucu tertua inilah kamar saya biasa diacak-acak. Ada saja yang mau dipegang dan diambil jika ke kamar. Pertanyaannya seribu satu macam. Apa ini. Ini apa. Apa ini. Dan, oh.. rupanya dia paling tertarik dengan colokan listrik dan benda yang bernama laptop itu. Akhirnya, setiap kali ke kamar bocah tadi selalu mencari benda itu. Main gem.. om, main gem.

Kini, hampir dua tahun sudah saya belajar mengenal Manado. Mencoba menemukan hal-hal yang bisa membuat saya mencintai kota ini. Kota yang hari ini berusia 389.[]



Ditulis 14 Juli 2012, dihari Ulang Tahun Manado
dari sebuah kamar petak, Kelurahan Banjer, Manado
(agak sulit menemukan alamatku ini, kamu harus menelepon dulu kalau mau kesini)

Jumat, 06 Juli 2012

Why are you doing all this?

Saya membaca Partikel, episode ke-4 dari seri Supernova yang ditulis Dee/Dewi Lestari. Ini malam ke-3 saya membacanya, melanjutkan membaca halaman-halaman yang belum saya lewati dua malam sebelumnya. Ketika sampai di halaman 253 saya menemukan pertanyaan ini: Why are you doing all this?

Di halaman itu saya berhenti. Sekian banyak kata-kata dan kalimat-kalimat yang saya jumpai sepanjang 252 halaman sebelumnya, namun belum satu pun yang membuat saya menghentikan membaca. Di halaman 253 itulah saya berhenti. Seolah-olah kalimat why are you doing all this itu ditujukan ke saya.

Hingga hari ini, betapa sering dan banyaknya ini-itu yang saya anggap begitu penting. Saya ragu jika ini-itu tadi dipertemukan dengan pertanyaan why are you doing all this apakah masih menjadi sesuatu yang begitu penting?

Why are you doing all this? Kenapa ini bisa jadi sebegitu penting buatmu? (Dee. Partikel, hal. 253)

Bacalah.(*)

* * *


Minggu, 01 Juli 2012

sunset ini milik kita berdua

Lokasi: Kawasan Megamas, Boulevard Manado

Sabtu, 30 Juni 2012

Masyarakat yang mengidolakan kecepatan dan kemudahan


“Kalau kita kehilangan uang kita kehilangan sedikit, kalau kita kehilangan kesehatan kita kehilangan banyak, kalau kita kehilangan kepercayaan kita kehilangan segalanya”.

* * *


Saya selalu mengingat kalimat itu. Setiap kali kegiatan-kegiatan kemahasiswaan diadakan, kalimat itu selalu diulang-ulang oleh Ketua Jurusan saya ketika mahasiswa dulu. Hingga akhirnya saya pun di wisuda, kalimat tadi tetap tersimpan. Inilah mantra sakti yang saya peroleh dari kampus, selain teori-teori  ilmiah lainnya.

Ya, dengan diwisuda ada banyak kepercayaan yang kita jaga. Kepercayaan orang tua kepada kita. Kepercayaan guru-guru kita. Kepercayaan teman-teman kita. Dan terutama kepercayaan kita kepada diri sendiri. Ternyata anak saya mampu membuktikan bahwa ia mampu sarjana. Ternyata siswa saya mampu. Ternyata teman saya mampu. Ternyata saya mampu.

Diantara kepercayaan-kepercayaan itu sebenarnya, kepercayaan dari orang tualah yang paling berat saya jaga. Betapa tidak, orang tua telah rela memberikan kepercayaannya sehingga dengan yakin keduanya berani melepas saya merantau ke daerah orang untuk melanjutkan kuliah, menjadi mahasiswa. Keduanya juga menyiapkan segala sarana penunjang untuk mendukung proses kemahasiswaan saya. Oh, betapa beruntungnya diri ini.

Saya masih mengingat sebelum merantau kuliah terlebih dahulu saya dibukakan sebuah nomor rekening bank. Rekening inilah yang merekam dan mencatat berapa banyak subsidi yang telah disalurkan kedua orang tua saya selama menjalani masa-masa kuliah. Dukungan doa mungkin lebih banyak lagi, hanya saja saya tak bisa melihat rekaman-rekaman doa yang dikirimkan ke saya, biarlah Allah yang mencatatnya dan membalasnya.

Sampai sekarang saya masih menggunakan nomor rekening bank tersebut. Dengan tetap menggunakan rekening itu saya bisa bernostalgia ke masa-masa kuliah dulu. Mengingat masa-masa perjuangan meraih gelar sarjana. Mengingat masa-masa perjuangan orang tua membiayai kuliah saya. Mengingat pengorbanan yang telah mereka berikan hingga hari ini.

Sekarang saya memiliki beberapa rekening bank. Salah satu diantaranya adalah rekening BCA. Tujuan awal saya ketika membuka rekening BCA adalah untuk mendapatkan kemudahan transaksi saat melakukan pembelian secara online. Berhubung diawal-awal ketika telah diwisuda, saya dan beberapa orang teman menjalankan usaha warnet. Setiap hari kami selalu berhadapan dengan komputer dan berselancar di internet mencari tahu bisnis apa yang bisa dijalankan secara online. Dan setiap transaksi online di internet selalu saja ada rekening BCA yang dicantumkan oleh pemilik produk.

Sebagai anak muda, memiliki rekening bank sudah merupakan salah satu kebutuhan bagi saya. Melalui rekening ini saya menyisihkan sebagian penghasilan untuk ditabung guna menunjang rencana masa depan yang saya cita-citakan. Punya rumah sederhana dengan keluarga bahagia di dalamnya. Punya perusahaan sendiri dengan karyawan yang bekerja dengan hati tersenyum. Dan terlebih lagi, masa depan dengan kebebasan finansial diusia muda. Hidup yang sejahtera dan bermanfaat bagi orang lain.

Saat ini sebuah bank tidak bisa hanya sekedar mengajak masyarakat agar beramai-ramai menyimpan uangnya di bank. Fungsi bank untuk menabung adalah fungsi bank zaman dulu. Fungsi ini tetap perlu tetapi tidak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap layanan perbankan. Di era teknologi saat ini yang berkembang pesat dan serba memberikan kemudahan-kemudahan bagi kita, telah ikut pula mendorong masyarakat mengidolakan kecepatan dan kemudahan. Apa-apa maunya cepat. Apa-apa maunya mudah. Kecepatan dan kemudahan seperti ini yang mesti diakomodir oleh bank dalam menciptakan produk-produk perbankan yang dibutuhkan oleh masyarakat.

Informasi layanan dan produk perbankan tadi juga harus mudah diakses oleh masyarakat. Kemudahan ini bisa berarti bahwa kita sebagai masyarakat tidak lagi harus ke bank bertatapan muka face to face dengan costumer service untuk bisa mendapatkan informasi layanan dan produk suatu bank. Untunglah, saat ini masyarakat telah mengenal istilah-istilah seperti internet dan website. Pihak bank dapat memanfaatkan sarana website ini untuk menjangkau masyarakat secara lebih luas dan real time. Melalui website ini pihak bank bisa menyajikan penjelasan-penjelasan produk layanan dan tips-tips perbankan kepada masyarakat luas. Saya kira layanan dengan website ini telah dilakukan oleh BCA dengan peluncuran websitenya www.bca.co.id.

Ngomong-ngomong tentang rekening BCA yang saya miliki, salah satu kelebihan dari layanan perbankan yang diberikan adalah adanya ATM Setoran Tunai. Layanan ini sangat memudahkan saya, terutama karena saya yang bekerja disektor swasta yang kadang-kadang pemasukannya datang tak mengenal waktu dan hari kerja. Sehingga bila transaksi terjadi pada hari libur saya bisa langsung menyetorkannya melalui atm setoran tunai tadi. Tentu saja, atm setoran tunai ini hanyalah salah satu kemudahan yang diberikan oleh layanan BCA. Anda bisa mencari tahu kemudahan-kemudahan lainnya dengan mengunjungi www.bca.co.id.

Akhirnya, pihak bank memang harus mampu menjadikan dirinya sebagai pemberi solusi perbankan yang dibutuhkan oleh masyarakat yang menginginkan kecepatan dan kemudahan. “Berikan kami kecepatan, berikan kami kemudahan, maka kami akan memberikan kepercayaan kepada Anda”, begitu keinginan kami. "Anda mampu, kan?"

* * *

Jumat, 29 Juni 2012

Di tikungan jalan itu saya diberitahu harga gula naik

Selain berita kekalahan Jerman dari Italy di semifinal Euro subuh tadi, kabar lain apa lagi pagi ini? Saya tahu Anda yang mendukung Jerman pasti masih merasakan sesak atas kekalahan itu. Cuman saya tidak tahu apakah kabar berikut ini akan membagaimanakan Anda. Kabarnya harga bubur kacang ijo yang ada di tikungan jalan itu telah naik. Harga gula naik, begitu kata Mas Abang yang menjual.

Akhirnya kita tahu. Walaupun Jerman kalah, walaupun harga gula naik, kita tetap butuh sarapan. Kita masih bisa sarapan. Alhamdulillah yah, kata Syahrini.

* * *

Senin, 25 Juni 2012

google319b73381ee388d6

Saya harap anda tidak berlama-lama di posting ini. Atau, anggap saja posting dengan judul google319b73381ee388d6 ini tidak ada. Sekarang saya lagi memaintenance blog ini. Salah satu tahapan yang harus saya lakukan adalah memposting satu tulisan. Saya tak tahu harus menulis apa. Sehingga inilah yang saya tulis. Hehe..

Saya lanjut dulu ya dengan maintenancenya.




Sabtu, 23 Juni 2012

Hidup yang sementara

Pernahkah kamu mengalami. Tiba-tiba saja kita mendengar kabar dari orang-orang yang kita kenal tentang kelahiran anak mereka. Hari ini anak si A, besok anak si B, besoknya lagi anak si C. Kabar itu datang berdekat-dekatan. Kemudian hari-hari berjalan seperti biasa lagi.

Pernahkah kamu mengalami. Tiba-tiba saja kita mendengar kabar dari orang-orang yang kita kenal tentang kematian keluarga mereka. Hari ini nenek si A, besok kakak si B, besoknya lagi bapak si C. Kabar itu datang berdekat-dekatan. Kemudian hari-hari berjalan seperti biasa lagi.

Saya beberapa kali mengalami seperti itu. Setiap kali berita-berita tadi datang, saya ikut bertanya-tanya dalam hati. Kenapa tiba-tiba datang silih berganti kabar-kabar kematian itu dari lingkaran-lingkaran yang dekat sekali dengan saya. Kemudian hari-hari berjalan seperti biasa lagi. Sampai tiba waktunya datang lagi, silih berganti pula, kabar-kabar kelahiran dari lingkaran-lingkaran yang dekat sekali dengan saya.

Seperti ada sebuah pola yang sudah diatur. Untuk rentang waktu sepanjang X kita akan mendengar kabar-kabar kelahiran saja. Kemudian waktu berjalan beberapa rentang. Lalu pada rentang waktu sepanjang Y kita akan mendengar kabar-kabar kematian saja. Dan, kabar-kabar itu datang tidak jauh-jauh, ia datang dari kenalan-kenalan dekat kita bahkan mungkin keluarga kita sendiri.

Lalu, kau mau apa kalau memang kenyataannya seperti itu? Kau mau apa?

* * *

Kamis, 21 Juni 2012

Kita akan bertemu di Roma

Kita mencipta jalan-jalan menuju Roma. Melalui banyak jalan itu - yang menuju Roma itu - kita akan sampai pada kesadaran bahwa Rome was not built in a day.

* * *

Selasa, 19 Juni 2012

Kau boleh memilih kopi

Orang-orang bilang small is beautiful. Tetapi siang ini saya memilih big are great. Begitu jawaban saya ketika OB di kantor bertanya, "Pak Luqman mau di gelas besar ya?"

Siang-siang begini memang pas buat minum teh. Menjaga mata tetap melek.. :D

* * *

Minggu, 17 Juni 2012

Kenangan apakah yang sedang kita siapkan untuk masa depan?

Bagaimanakah sebaiknya kita mengenang masa lalu?

Kita yang membaca buku kedua dari novel biografi Muhammad yang ditulis oleh Tasaro GK mungkin akan menemukan jawabannya. Bahwa hal-hal yang paling sederhana sekalipun menjadi menakjubkan ketika dikenang dengan hati yang tenang.

Tetapi, bagaimana pula perkara hati yang tenang itu?
Atau, apakah dengan mengenang hal-hal yang sederhana kita akan menemukan ketenangan hati yang menakjubkan?

Sebenarnya tak ada lagi yang sederhana jika ia tetap terkenang.

* * *

Kamis, 14 Juni 2012

Ini bukan tentang Nasionalisme

Keyakinan saya masih kuat. Masih sama seperti kemarin-kemarin. Bahkan jika ditambah dengan kekalahan ketika melawan Jerman subuh tadi. Keyakinan saya bahwa Belanda akan lolos ke babak perempat final tetap kuat. Peluang masih ada. Maka sebelum Belanda benar-benar tersingkir, saya tetap menjagokan Belanda.

Hitung-hitungannya seperti ini. Belanda akan lolos ke babak perempat final jika mampu mengalahkan Portugal dengan skor minimal 2 - 0. Ini yang harus diperjuangkan. Mati-matian. Mau tidak mau. Setelah perjuangan ini berhasil, Belanda masih harus berharap agar Jerman mampu mengalahkan Denmark. Oh, sempurnanya kebahagiaan para pendukung Belanda jika hitung-hitungannya berjalan demikian.

Sepak bola memang menarik. Saya menyukainya. Barangkali karena sepakbola merupakan replika dari kehidupan ini. Di dalamnya ada perjuangan. Di dalamnya ada harapan. Dan, selalu saja ada keajaiban-keajaiban yang terjadi.

Makanya, hingga catatan ini saya tulis dan hingga Belanda belum benar-benar tidak bermain lagi saya masih menjagokan Belanda. Harapan itu masih ada, Bung. Selalu ada. :)


Jumat, 08 Juni 2012

Sudahkah Anda mengurus e-KTP?


Sudah. Saya sudah mengurusnya. Baru saja. Tadi. Sejam sebelum shalat Jum'at dimulai.

Saya membayang-bayangkan bagaimanakah canggihnya e-KTP yang akan saya miliki itu. Semua jari saya diambil sidiknya. Mata saya difoto retinanya. Tanda tangan tidak ketinggalan saya torehkan. Wajah saya juga ikut diabadikan dalam e-KTP itu. "Menatap ke kamera Pak! Badan diluruskan. Satu, dua, tiga! Oke!", begitu kata petugasnya sesaat sebelum mengambil gambar wajahku ini.

Konon kabarnya dengan memiliki data e-KTP maka identitas diri dan keberadaan kita akan mudah dilacak. Ini akan menjadi penanda bagi kita sebagai penduduk. Penduduk Indonesia. Namanya juga e-KTP, dengan embel-embel e itu, yang berarti elektronik, maka data-data kependudukan tentang seseorang akan kita ketahui dengan gampang. Setahun yang lalu saya berada dimana. Sudah berapa kali saya berpindah-pendah daerah. Sekarang dimana. Semuanya itu akan terekam dalam riwayat e-KTP itu. Itu baru satu contoh kegunaannya. Pastinya masih banyak lagi.

Pagi tadi di Bandara Samratulangi Manado saya sempat bergurau dengan teman yang sama-sama akan ke Makassar. Saya bilang, bolehlah sekali-sekali saya membayar airport tax seratus ribu rupiah. Selama ini saya selalu hanya dimintai membayar empat puluh ribu. Teman saya itu lalu menanggapi dengan terbahak. Haha, berarti harus keluar negeri dong.

Ah, ke luar negeri. Kapan ya? Tunggu saja saya disana five winter later. Begitu saya menjawab pertanyaan, kapan nyusul kesini, dari seorang teman yang melanjutkan kuliah ke Jepang.

Ah, ke luar negeri. Five winter later? Kita lihat saja, apakah gurauan saya itu terkabul atau tidak. Anda bisa membuktikannya melalui kecanggihan e-KTP itu nantinya. 5 tahun lagi. Atau, Anda mungkin yang akan lebih dulu ke sana? Kalau begitu, jangan lupa oleh-olenya.

Makassar, 9 Juni 2012 - Jepang, 9 Juni 2017

* * *

Saya izin dua hari ya, Bos

Besok saya mendapat izin tidak masuk kerja, juga hari Senin nanti. Karenanya, minggu ini akhir pekanku datang lebih awal dan lebih panjang. Heheh.

Saya akan ke Makassar. Bersilaturrahim dengan keluarga. Mengunjungi teman-teman lama. Mungkin juga akan bertemu dengan teman-teman baru. Dan banyak lagi yang bisa saya lakukan disana.

Di Makassar nanti saya juga berencana mengunjungi Unhas. Kampus yang telah mengajarkan banyak hal terhadap saya. Mengajarkan bagaimana bertanggung jawab terhadap pilihan-pilihan yang telah saya buat sendiri.

* * *

Oiya, besok itu pembukaan Euro Cup 2012. Saya hampir lupa. Sepertinya akan banyak pertandingan bola tengah malam selama bulan Juni ini. Saya belum tahu bagaimana suasana di Manado sini ketika musim bola seperti sekarang. Besok saya mau ke Makassar dulu. Nanti lagi kita bahas soal Euro.

Namun, sekali lagi saya mau bilang kalau saya menjagokan Belanda di Euro Cup kali ini... :D

* * *


Minggu, 03 Juni 2012

Di toko buku itu saya teringat seseorang, yang jika nanti saya menulis buku, barangkali namanya akan ada di lembaran pertama bukuku itu

Saya ke toko buku itu lagi. Siang tadi. Setelah menaiki tangga masuk, melewati pintu depannya, beberapa langkah, terdapat sebuah ruangan. Disitu dipajang DVD musik dan film. Disitulah untuk beberapa lama saya berada. Melihat-lihat. Menumbuhkan cita-cita pada hati. Semoga besok-besok kalau cita-cita itu sudah cukup matang, saya boleh memiliki DVD-DVD itu. Beberapa saja dululah.

Setelah itu saya naik ke lantai dua. Di lantai dua itu saya akan bertemu dengan ribuan buku. Disitulah biasanya saya berlama-lama. Sesekali saya menyempatkan mencuri-curi pandang pada karyawan toko buku itu. Yang rambutnya sebahu itu. Yang bedak tipis di pipinya itu, pas sekali ia usapkan. Apalagi dengan tambahan sedikit perona merah pipi. Tetapi siang tadi ia tak ada. Saya sudah mencarinya di tempat ia biasa merapikan buku-buku. Ia memang tak ada. Barangkali ia dapat shift malam.

Kalau ke toko buku itu saya biasanya melakukan kebiasaan ini. Mendatangi sekelompok tumpukan buku dan menyisir sampul serta judulnya. Ketika mata ini menemukan judul buku tertentu yang kira-kira menarik, saya  meraih buku itu. Membaca testimoni ataupun ringkasan singkat di cover belakangnya dan kalau ada yang segelnya sudah terbuka saya menyempatkan diri membaca acak beberapa halaman di dalamnya. Kebiasaan ini hanyalah sebagai cara saya untuk don't judge a book by it cover.

Dari satu tumpukan buku saya akan beralih ke tumpukan buku berikutnya. Sambil berpindah-pindah ini saya merekam buku-buku apa yang menarik dan lagi sesuai dengan mood membaca saya saat itu. Setelah beberapa lama saya akan kembali ke tumpukan buku yang sebelumnya saya datangi. Saya akan meraih satu buku di tumpukan yang ini. Satu buku di tumpukan yang itu. Satu buku di tumpukan yang sana. Kemudian saya menggendong mereka, membawanya menuju kasir.

Siang tadi saya ke toko buku itu lagi. Saya membawa pulang dua buah judul buku. Sebelum menemukan kedua buku itu, saya sempat juga bertemu dengan sebuah judul buku yang lain. Di sampul belakangnya saya menemukan tulisan ini.

"... sesuatu yang dilakukan dengan hati akan selalu menghasilkan energi yang tak pernah mati."

Saya menuliskan kalimat itu di hape saya. Sempat terpikir untuk mengirimkannya ke teman-teman, atau, ke seseorang. Beberapa saat menimbang-nimbang saya akhirnya tidak mengirimnya ke siapa-siapa. Saya hanya mengetikkan nomor hape saya sendiri, menekan tombol send, dan kalimat itu masuk lagi ke hape saya.

Saya sebenarnya ingin mengirimkan kalimat itu kepada seseorang. Seseorang yang saya ingat di toko buku itu. Seseorang yang tak menyukai buku, katanya.

Hei, sudah waktunya pulang, bukan?

* * *





Minggu, 27 Mei 2012

Men Sana In Core Pore Sano


Foto diambil dengan kamera saku Nikon Coolpix L25 (mainan baru saya)


Minggu, 20 Mei 2012

Habiskan !

Akhirnya saya ke dokter juga. Itu tiga hari yang lalu. Sebenarnya sudah sejak dua minggu sebelumnya saya merasakan adanya ketidakberesan dengan tenggorokan saya. Gatal rasanya. Karena gatal itulah kemudian batuk menyusulnya. Uhuk..uhuk..uhuk. 

Awalnya saya kira ini hanya alarm tubuh menyambut pergantian musim. Kemarau sudah dekat, pikirku. Dua hari pertama saya tidak begitu peduli dengan batuk-batuk itu. Hari berikutnya sudah mulai mengganggu. Saya sudah perlu minum obat kalau begini. Paracetamol, amoxillin, ctm. Tiga kali sehari. Hampir dua minggu saya minum obat-obat tadi. Batuk-batuk tak juga kunjung reda. Malah ketika hari menjelang maghrib dan suhu udara mulai mendingin, rasa gatal di tenggorokan ini semakin menjadi-jadi. Batuk-batuk yang terjadi bukan lagi sekedar uhuk..uhuk..uhuk, tapi sudah menjadi uhukk.. uhukk.. uhukk..uhukk..uhukk.. uhukk.. uhukk... 

Boleh dikata hampir setiap tahun saya selalu mengalami batuk-batuk, tapi untuk jenis batuk yang sekarang sepertinya baru kali ini saya rasakan. Setiap kali suhu udara menjadi dingin maka level kegatalan di tenggorokan saya meningkat. Rasa gatal yang begitu sangat ini direspon oleh batuk-batuk yang begitu keras dan intens. Saking kerasnya, setiap kali batuk lambung di perut saya ikut terangkat. Oh.. batuk ini, begitu mengganggu, begitu menyiksa.

Bukan.. bukan, ini bukan lagi batuk-batuk yang biasa menyerang. Saya perlu konsultasi ke dokter. Teman-teman sudah banyak yang menganjurkan demikian. Ibu saya apalagi. 

Dokter memberikan saya empat jenis obat. Sepuluh butir setiap jenisnya. Dari empat jenis itu ada yang sebagai penekan batuk, pereda rasa gatal, penghilang dahak, dan satunya lagi entah untuk apa. Saya diminta untuk meminumnya tiga kali sehari, rutin, hingga habis.

Akhirnya saya ke dokter juga. Itu tiga hari yang lalu. Sekarang batukku sudah mereda. Sekarang obatku itu masing-masing tinggal sebutir. Siang ini saya akan meminumnya lagi. Menghabiskannya. Seperti pesan di lembaran kertas yang dimasukkan di kantong obat itu. Habiskan !

* * *

Minggu, 22 April 2012

merasakan sensasi menjadi Bos

Waktu sekolah dulu saya biasanya sangat senang kalau tugas yang seharusnya diselesaikan di kelas kemudian oleh guru diminta untuk dilanjutkan penyelesaiaannya di rumah. Saya sangat senang. Karena di rumah saya akan punya cukup waktu untuk menekuni tugas itu, atau, kerena saya bisa menyelesaikannya dengan diskusi berkelompok dengan teman-teman. Itu dulu.

Saat bekerja kini, saya berusaha untuk menyelesaikan pekerjaan seluruhnya di kantor pada hari itu juga. Saya berusaha untuk tidak membawanya ke rumah. Karena di rumah adalah saat untuk diri sendiri dan orang-orang di sekeliling saya.

Kini saya sedang belajar menjalankan bisnis kecil-kecilan. Saya sedang belajar menjadi Bos atas uang yang saya miliki. Seperti air, uang pun butuh mengalir. Dengan demikian uang tadi akan lebih bermanfaat. Salah satu cara untuk mengalirkan uang adalah lewat jual-beli, lewat berdagang.

Berdagang. Ya. Saya sedang belajar berdagang. Jam tangan. Ada yang menawari saya. Tawaran itu saya terima. Maka, tiga pekan sudah, setiap Sabtu-Minggu saya merasakan sensasi menjadi Bos. Saya terus berpikir agar aliran uang yang saya susun selalu menemui muaranya. Bagaimana kalau begini. Coba. Bagaimana kalau begitu. Coba lagi. Akhirnya saya mengerti. Semua strategi yang dipikirkan harus mewujud dalam perbuatan.

Saya sudah mencobanya. Saya sudah menjual 14 buah jam tangan itu. Empat belas buah hanya dalam beberapa hari. Menarik bukan? Saya akan terus melakukannya.


Atau, mungkin kau juga ingin merasakan bagaimana sensasi menjadi Bos?   COBALAH.  

* * *


Jumat, 20 April 2012

di sebuah warung kopi, lima hari setelah kantor kami pindah lokasi

Hei, kamu sedang menonton Indonesian Idol ya? Siapa jagoan kamu? Saya menjagokan Regina. Suatu kali saya menontonnya disebuah pemberitaan infotainment. Ia membuat Ahmad Dani meneteskan airmata ketika membawakan lagu someone like you yang dipopulerkan oleh Adelle. Penghayatannya terhadap lagu itu, pas. Suaranya? Jangan tanya. Saya yang orang awam pun tahu. Makanya saya menjagokan dia. Kamu, siapa jagoan kamu?

Dua minggu terakhir ini aktifitas begitu padat rasanya. Ada beberapa prosedur yang masih harus kami selesaikan terkait beberapa proyek pelelangan yang kami menangkan. Ditambah lagi rencana kepindahan kami ke lokasi gedung kantor yang baru. Tapi untunglah segala kerepotan itu telah selesai kami lalui.

 * * *

Rabu, 14 Maret 2012

pagi lagi, bangun pagi lagi

Ada banyak yang bisa dilakukan jika kau bangun pagi lebih pagi dari biasanya. Kau bisa merasakan dinginnya air yang kau basuhkan ke mukamu. Kau bisa duduk berlama-lama menghayati kehambaanmu kepada Tuhanmu. Kau bisa membaca puluhan halaman salah satu buku yang berbaris rapi di rak bukumu. Soal tim sepakbola favoritmu itu, kau akan bisa meng-update perkembangan terbarunya, soal hasil pertandingan, soal transfer pemain, dan soal rumor pergantian pelatih. Sebelum dirimu sendiri engkau mandikan, kau masih akan punya waktu untuk memandikan motor tungganganmu itu. Dan sebelum matahari menampakkan dirinya, lelucon sederhana bisa engkau lontarkan untuk menyapa mengajak berbicara tetangga yang menghuni kamar kontrakan di sebelahmu.

Dan, oh iya, setelah semuanya siap, mampirkan sedikit wajahmu kepada kaca jendela, lihatlah senyum manismu itu. Jangan biarkan manisnya terkikis oleh tantangan hidup yang kau temui hari ini.

#

Kamis, 01 Maret 2012

Suatu Sore di Tanggal Muda

Tadi sore saya membeli roti kukus. Si Abang yang menjual bilang kalau besok ia libur. Soalnya besok itu Jum'at kliwon. Kemudian saya tanya, "Memangnya ada apa dengan Jum'at kliwon, Bang?" "Besok itu saya gajian, Mas", katanya. "Begitulah Mas, setiap Jum'at kliwon kami menerima gaji, sekaligus si Bos memberikan libur", katanya lagi. Lalu, sepulang di rumah saya memeriksa kalender, menghitung penanggalan. Ternyata Jum'at kliwon itu jatuh setiap 35 hari sekali. Hehe, baru tahu saya kalau ada metode penggajian seperti itu. 

Selamat merayakan tanggal muda bagi yang merayakannya.

#

Senin, 27 Februari 2012

Soal Bripda itu, saya ingin mengklarifikasi

Ya, saya ingin mengklarifikasi. Soalnya hampir seminggu ini berita tentang Bripda itu selalu muncul di tivi. Tidak pagi, tidak siang, tidak sore, selalu saja ada. Bukan saja di tivi, di Twitter pun ia jadi trending topik. Banyak yang membicarakannya, apa lagi kalau bukan soal kegantengannya. Karenanya ia dijuluki si Polteng alias polisi ganteng. Namanya Saeful Bahri. Soal namanya inilah saya ingin mengklarifikasi. Saya ingin bilang kalau saya tidak punya hubungan kekerabatan dengan Bripda itu, sekalipun nama belakang kami sama-sama Bahri. Kami memang tak punya hubungan keluarga sama sekali. Namun, dari segi wajah tak perlu diragukan kalau ketampanan kami hanya beda-beda jauh. Hah!

Ngomong-ngomong soal polisi, saya pernah kena tilang pagi-pagi oleh seorang polisi muda. Gara-garanya sepele saja. Saya lupa menyalakan lampu utama motor saya. Cara menilangnya pun pake basa-basi segala. "Boleh lihat STNK-nya, SIM-nya?" Saya tahu ini hanyalah pengantar. Setelah itu, "Pak, tahu apa pelanggaran Bapak? Bapak tidak menyalakan lampu utama motor. Mari ikut saya ke pos sebelah sana!"

Saya jengkel sekali pagi itu. Jengkel kepada ekspresi muka polisi muda itu dan jengkel kepada diri ini yang lupa menggeser ke kiri saklar lampu motorku itu. Akh, apa boleh buat pelanggaran telah terjadi. Singkat cerita, nama saya dicatat pada selembar kertas tilang dan STNK motor saya ditahan. Saya diberi dua pilihan. Menunggu proses pengadilan seminggu kemudian, atau siangnya ke kantor polisi. Dalam kejengkelan, saya memilih pilihan yang kedua. Hei, kenapa harus jengkel saat pelanggaran kita disanksi?

Ngomong-ngomong soal penilangan, akhir-akhir ini juga banyak keluhan dari masyarakat, terutama dari mereka yang mengendarai mobil. Polisi rupanya punya cara baru untuk menilang para pengendara mobil. Di setiap persimpangan dan lampu merah polisi-polisi ini berjaga-jaga. Ketika mobil yang diincar melintas, dengan motor gedenya polisi tadi akan mengikuti dari belakang. Polisi ini akan terus menguntit dan memastikan kalau mobil yang diincar tidak akan melarikan diri. Hingga pada jarak dan lokasi yang dirasa tepat, polisi yang menguntit tadi akan memacu motornya menyalip mobil di depannya dan seketika menghentikan motornya menghadang mobil yang diikuti. Setelah itu si Polisi akan mendekat ke mobil yang baru saja dihadang, lalu dengan ramah mengetuk jendela di sisi pengemudi. Ketika jendela terbuka, polisi tadi akan memberi hormat dan berkata, "Mawar, maafin Marwan ya!

Eh, ngomong-ngomong, jangan terlalu serius membacanya. Seriusnya disimpan saja buat aktifitas diminggu ini, sekarang kan sudah hari Senin lagi, hehe.#

Minggu, 19 Februari 2012

Betapa relatifnya waktu

Sekarang cuaca sedang cerah. Langitnya berwarna biru kemeja. Seperti sebuah kemeja yang biasa saya pakai ke kantor. Sekarang kemejaku itu lagi saya jemur. Saya baru mencucinya karena hari ini hari Minggu. Saya beruntung karena hari ini langit menjadi sebiru kemejaku itu. Sekarang Februari dua ribu dua belas. Sudah tanggal sembilan belas atau masih tanggal sembilan belas ya. Sudah atau masih, betapa relatifnya waktu. #

Foto: detiksport.com

Jumat, 17 Februari 2012

Perubahan tidak dimulai oleh banyak orang

Pada setiap Jum’at pagi perusahaan kami mengadakan senam pagi. Sehari sebelumnya undangan mengikuti senam itu diedarkan. Melalui telepon, melalui surat, dan dari mulut ke mulut. Kantor cabang mana yang menjadi tuan rumah, maka dialah yang mengedarkan undangan tadi. Dia pula yang menyiapkan segala kebutuhan untuk senam itu. Dari mulai instruktur senam, sound sistem, hingga snack dan minumannya.

Sekian lama mengikuti senam pagi hingga kini saya belum menemukan tantangan yang menjadikan saya menggemari olah raga dalam bentuk senam ini. Saya lebih menggemari olah raga yang bisa memeras keringat sebanyak-banyaknya, dan menguras energi selelah-lelahnya. Seperti berlari beberapa putaran mengelilingi lapangan bola, mengayuh sepeda menyusuri jalan raya, dan sudah pasti  bermain bola adalah favorit saya.

Tidak menggemari senam bukan berarti saya tidak bisa menemukan sesuatu darinya yang bisa saya nikmati. Walaupun saya tidak mendapatkan keringat dari senam tadi, namun ada sisi lain yang bisa tetap saya nikmati. Sisi lain itu adalah kebersamaan dan sosialisasi diri dengan teman-teman dari cabang-cabang lain. Sepanjang hari bekerja di depan komputer selama minggu-minggu kerja, menjadikan senam pagi merupakan saat yang pas untuk mengakrabkan diri dengan teman-teman yang jarang ditemui pada jam-jam kerja.

Setelah sesi pendinginan, biasanya kami akan mendengarkan penyampaian, pesan-pesan, dan arahan tentang target-target perusahaan yang hendak dicapai. Kami juga akan diminta untuk menghitung jumlah anggota yang mengikuti senam dari tiap kantor cabang. Ada kebanggaan tersendiri bagi kantor cabang yang persentase kehadiran anggotanya lebih banyak. Memang tidak ada sanksi jika tidak mengikuti senam pagi ini. Namun, sentilan-sentilan kecil bisa juga membuat malu jika selalu tak hadir dalam senam pagi. Apalagi jika kantor cabang kita sendiri yang paling sedikit anggotanya yang hadir. Seperti hari ini, ketika hanya saya sendiri yang hadir dari kantor cabang kami.

Dalam lingkungan organisasi atau perusahaan, kadangkala hal-hal yang bukan merupakan kewajiban ataupun tugas pokok karyawan yang karenanya apabila tidak dilaksanakan tidak berujung pada sanksi, maka hanya kesadaran dirilah yang bisa menggerakkan kita. Seperti menghadirkan diri ketika senam pagi.

Tapi biarlah, tak perlu menunggu teman-teman yang lain hadir dulu pada Jum’at pagi, agar saya mau hadir pula. Seperti pesan-pesan para bijak: “Perubahan tidak dimulai oleh banyak orang”.
Gambar: Koleksi Teman

Selamat berakhir pekan#

Senin, 13 Februari 2012

Kadar Hujan

Satu minggu terakhir ini cuaca di Manado begitu cerah, kecuali kemarin sore hujan kembali turun. Pagi ini juga masih mendung. 

Suatu ketika selepas shalat magrib berjamaah di masjid dekat tempat tinggal saya, pak imam shalat bertauziah kepada kami yang menjadi makmum saat itu. Beliau berkata bahwa kadar hujan yang diturunkan oleh Allah ke bumi ini setiap tahunnya adalah sama. Hanya saja hujan itu mau ditumpahkan kemana kita tidak tahu. Ke kota-ku-kah, ke kota-mu-kah, kita tidak tahu.

* * *

Jumat, 10 Februari 2012

3 laki-laki 3 perempuan

Hari ini

Dua hari lagi tepatnya tanggal 12 Februari 2012, perusahaan tempat saya bekerja akan berusia 100 tahun. Untuk memperingatinya tadi pagi diadakan berbagai kegiatan. Kegiatannya dimulai dengan jalan sehat. Setelah itu dilanjutkan dengan pertandingan dan lomba antar divisi. Ada pertandingan futsal, pertandingan catur, gaple, lomba lari kelereng, dan lomba makan kerupuk.

Saya mengikuti dua pertandingan. Futsal dan catur. Setiap tim futsal terdiri dari 3 perempuan dan 3 laki-laki. Di pertandingan futsal itu, tim saya dikalahkan dengan skor 2-0. Setelah itu saya melanjutkan ke pertandingan catur. Pada pertandingan catur ini saya juga mengalami kekalahan. Tapi tak apalah, kalah menang tidak mengapa yang penting  keringat keluar dan pikiran bisa di refresh.

2 hari yang lalu

Sekarang baru jam 10.15 pagi. Tidak seperti biasanya saya memposting tulisan pada jam-jam seperti ini. Saya baru saja kehilangan helem. Helem itu saya gantung di bagian belakang dudukan motor. Memang seperti itulah biasanya perlakuan saya kepada helemku itu. Pagi ini ia hilang, atau mungkin diambil orang.

Rencananya pukul 10.30 pagi ini saya akan memberikan presentase produk dan segmen pasar kepada para calon agen marketing di perusahaan kami. Sambil menunggu saya menuliskan catatan ini.

* * *


Selasa, 24 Januari 2012

Dikejauhan sana kami memandang masa depan

Teman-teman menyebutnya Bukit Teletubis, (daerah Bengo-Bengo, Camba, Maros-Sulawesi Selatan)

Selasa, 17 Januari 2012

Buku kehidupan

Saya baru saja kembali dari acara ulang tahun seorang teman kantor. Acaranya di rumah. Diadakan dengan sederhana. Yang datang pun tidak begitu banyak. Hanya teman-teman dekat, hanya tetangga-tetangga dekat, dan tentu saja tak terkecuali keluarga sang teman ini. Barangkali karena yang hadir disana adalah orang-orang dekat maka suasana kekeluargaannya begitu terasa.

Tidak ada acara tiup lilin dan lagu happy birthday atau mungkin kami melewatkan sesi itu. Kami tiba jam tujuh malam, saat selera makan sedang bagus-bagusnya. Dan sudah pasti dalam kondisi selera yang sedang bagus-bagusnya itu lalu diperhadapkan dengan hidangan ikan bakar dengan sambal pedas lalu ditambah lagi dengan pesan-pesan "anggap saja rumah sendiri", maka yang terjadi kemudian adalah mari segera makan.

Ini ulang tahun ke-40 sang teman tadi. Banyak yang bilang bahwa hidup laki-laki dimulai ketika umur empat puluh tahun. Namun rasanya dengan empat puluh tahun menghabiskan umur hanya untuk memulai sebuah hidup merupakan waktu yang sangat panjang. Jika memang demikian, maka begitu sia-sianya hidup ini ketika yang empat puluh tahun diawal tadi kita pakai untuk hal-hal yang tidak bermanfaat. 

Barangkali umur 40 tahun yang dimaksud disini adalah usia disaat seseorang telah mencapai kematangan secara emosional, intelektual, maupun kematangan secara spiritual. Kematangan-kematangan tadi tentu saja didapat dari perjalanan mengakrabi manis-getirnya kehidupan. Dengan kematangan yang dicapai pada usia ini, harapannya generasi-generasi yang lebih muda bisa mengambil teladan dari orang ini. Setidaknya begitulah menurut saya. Mungkin karena itulah kenapa Nabi Muhammad diangkat menjadi Rasul pada umur empat puluh tahun.

Saya juga membayangkan jika kehidupan kita seperti sebuah buku yang terdiri dari tiga bab, dan tebal setiap babnya adalah dua puluh tahun, maka memasuki usia empat puluh tahun kita akan memulai menjalani bab terakhir dari buku kehidupan kita. Setiap bab punya rangkuman yang menjadi intisari dari hidup yang kita jalani. Kita akan melewati selembar demi selembar halaman buku hidup kita untuk menemukan intisari tadi. 

Dari pengalaman saya ketika telah menyelesaikan membaca halaman terakhir dari sebuah buku, pada sampul belakangnya saya selalu menemukan testimoni orang-orang yang pernah membaca buku itu. Dan barangkali nanti begitu juga di sampul belakang buku kehidupan kita masing-masing.

"Saya selalu rindu untuk kembali membacanya", begitu bunyi sebuah testimoni entah di buku mana.

* * *

Minggu, 15 Januari 2012

Puisi yang tiba-tiba

(1)
Saya menyukai keteraturan yang tiba-tiba
Seperti meja kerja yang dijemput senja

Saya menyukai kesendirian yang tiba-tiba
Seperti seorang masbuk ditinggal jamaah satu per satu

Saya menyukai kesunyian yang tiba-tiba
Seperti ruang tamu menjelang tujuh Syawal

Saya menyukai rindu yang tiba-tiba
Seperti kita ketika berjauh-jauhan

(2)
Saya menyukai kesemerautan yang tiba-tiba
Seperti kertas cakaran yang ditulisi angka-angka

Saya menyukai keramaian yang tiba-tiba
Seperti ruang tunggu didatangi penumpang satu per satu

Saya menyukai keriuhan yang tiba-tiba
Seperti penonton bola yang meneriakkan yel-yel gol

Saya menyukai diam yang tiba-tiba
Seperti kita ketika berhadap-hadapan


***

Sabtu, 14 Januari 2012

Bagaimanakah senyummu

Ada orang yang memilih tersenyum memakai bibirnya
Ada orang yang memilih tersenyum memakai matanya
Ada orang yang memilih tersenyum memakai hatinya
Ada orang yang memilih tersenyum dengan ketiganya

Senin, 09 Januari 2012

Oleh-oleh Manado


Gunung Lokon, Tomohon - Sulawesi Utara

Minggu, 08 Januari 2012

Resolusi 2012

Hari masih pagi dan matahari sedang bersinar dengan riangnya ketika saya menuliskan catatan ini. Saya teringat lagi dengan pesan guru saya Kang Prie GS, bahwa  "Sukses menghayati pagi, membuat besar sekali kemungkinan kita untuk sukses menjalani seluruh hari.” Namun, barangkali tidak semua orang setuju dengan pendapat guru saya itu. Sebab, mungkin saja ada yang lebih memilih meresapi malam ketimbang menghayati pagi. 
Apapun pilihannya, saya berusaha untuk mendapatkan keduanya. Karena malam dan pagi sama-sama menyediakan keheningan. Meresapi malam kita akan bertemu dengan kekhilafan-kekhilafan sepanjang hari tadi. Menghayati pagi kita akan menyapa harapan-harapan disepanjang hari ini. Begitulah hidup menurut saya. Ada waktu buat merenung ke belakang dan ada saatnya menerawang ke depan.
Memang tidak setiap hari saya bisa menemui keheningan pagi lalu menghayatinya dengan penghayatan yang bening. Terkecuali pagi ini. Barangkali karena hari ini hari Minggu. Barangkali karena semalam orang-orang lebih memilih menghabiskan seluruh malam mereka. Maka, hening dipagi ini menjadi lebih panjang dari biasanya.
Untuk mengisi penghayatan terhadap pagi dihari ini saya mencoba menyalakan laptop, mengakses internet, dan mampir beberapa saat di beranda facebook. Di situs jejaring sosial ini, saya menge-like beberapa status teman, memposting artikel dan memberikan beberapa komentar di dalamnya.
Salah satu status teman yang saya berikan like menuliskan seperti ini, “Alhamdulillah... dan pagi pun tak pernah ingkar untuk tetap setia datang setelah malam, hmmmm, pagi dimanapun selalu indah”
Dan entah kenapa, status teman saya itu begitu melekat di ingatan saya disepanjang pagi ini. Begitu menginspirasikah? Dan sepertinya, ya. Di dalamnya saya melihat harapan, saya merasakan optimisme, dan kita diajak untuk menemukan alasan untuk bersyukur kepada Allah. 
Menghayati status teman di atas, saya lalu tergerak untuk menuliskan resolusi pribadi di tahun 2012 ini yang belum sempat saya tuliskan. Dengan menuliskannya saya berharap resolusi ini akan lebih melekat di ingatan dan agar daya dorongnya lebih kuat untuk melaksanakannya. 
Tahun 2012 ini saya menetapkan 3 resolusi. Pertama, saya ingin meningkatkan kualitas hubungan saya dengan Sang Pencipta. Jika selama ini ibadah-ibadah wajib terkadang masih lalai saya kerjakan maka kedepannya perlu lebih khusyu lagi. Jika selama ini ibadah-ibadah sunnah masih jarang saya lakukan maka kedepannya perlu lebih ditingkatkan dari segi kualitas dan kuantitasnya. 
Kemudian yang kedua, saya ingin meningkatkan kualitas hubungan saya dengan diri sendiri. Untuk memenuhi janji ini saya ingin lebih banyak lagi membaca dan menulis. Membaca tulisan dan buku-buku yang bergizi, serta menuliskan gagasan-gagasan penting serta tetek bengek kehidupan yang perlu untuk dibuang. Saya juga akan memberikan porsi waktu yang cukup bagi diri ini untuk berolah raga, karenanya bangun pagi juga perlu saya sukseskan setiap hari. Berusaha untuk selalu sarapan setiap pagi dan tidak telat makan siang. Dan, saya akan mengikuti nasehat Bang Rhoma, “begadang jangan begadang kalau tiada artinya”. 
Resolusi yang ketiga, saya ingin meningkatkan kualitas dan kuantitas silaturrahim saya kepada sesama. Kepada orang tua saya akan lebih sering menelepon keduanya di kampung halaman sana, begitupun kepada kakak dan adik-adik saya. Kepada atasan dan rekan-rekan kerja, saya akan bekerja dengan lebih semangat lagi dan selalu berusaha menunjukkan wajah yang penuh empati ketika bertemu dengan mereka. Kepada kawan-kawan lama yang terpisah jauh dimana-mana saya akan memanfaatkan situs jejaring sosial untuk lebih sering menyapa, bertukar kabar dan saling menularkan semangat-semangat positif dengan mereka. Saya juga akan terus membagun pertemanan dan hubungan baik dengan orang-orang baru disekitar tempat saya berada. 
Begitulah janji saya ditahun ini kepada diri ini.
Akhirnya, saya ingin mengutip kata-kata WS. Rendra, “Manusia adalah gabungan dari kemungkinan dan keterbatasan. Ada batas untuk cita-cita dan perencanaan manusia. Ada batas untuk realitas alam. Manusia yang menyadari batas-batas tadi akan bisa menciptakan kemungkinan-kemungkinan baru”. 
Mari bersiap. Mari menghadapi kemungkinan-kemungkinan baru di tahun 2012 ini.
(Ditulis di Manado, 8 Januari 2012)