Tadi malam seorang Sahabat
mengirimkan pesan whatsapp kepada saya. Sahabat ini mengabarkan bahwa per hari kemarin ia resmi diterima bekerja. Ia menyampaikan terima kasihnya kepada saya.
Beberapa hari sebelumnya saya dan
Sahabat ini memang sempat berbicara melalui telepon. Hari itu saya yang
menelepon. Baru satu kali deringan telepon terdengar, panggilan saya langsung
dijawabnya. Saya sempat bergurau: call centre saja yang pekerjaannya menjawab
panggilan telepon, kita masih harus menunggu paling cepat dua atau tiga
deringan, kalah cepat dari Sahabat saya ini. Tawa kami pun meledak.
Sahabat ini memang mengakui kalau
timing saya menelepon saat itu pas sekali. Ada banyak cerita yang mau ia bagi. Makanya
panggilan saya langsung dijawab pada deringan yang pertama. Hari itu ia baru
saja selesai mengikuti sesi wawancara kerja. Ini tes ketiga. Ia sudah melewati
dua sesi tes sebelumnya. Untuk sesi wawancara ini ia tidak yakin akan hasilnya. Disitu ia mungkin merasa galau.
Dari situ pembicaraan dimulai. Ia
bercerita kalau sebenarnya ia telah mengirimkan lamaran kerja ke beberapa
perusahaan. Sebuah perusahaan yang bergerak di bidang saham sudah menerima
salah satu lamarannya. Hanya saja karena proses tes, wawancara dan keputusan
diterima-tidaknya yang terbilang cepat, Sahabat saya ini jadi ragu, kok secepat
dan semudah itu ia bisa diterima bekerja. Akhirnya ia justru menolak kesempatan
bekerja disana.
Ia juga sempat diundang wawancara
oleh sebuah perusahaan properti yang pasarnya berada di Australia. Perusahaan
ini membidik orang Indonesia sebagai
pembeli. Katanya, banyak orang Indonesia yang suka memiliki aset properti di
Australia. Makanya dibutuhkan tenaga marketing untuk memasarkannya di
Indonesia. Di perusahaan ini Sahabat saya itu hanya sampai pada wawancara awal
saja. Karena sebelum dia sudah ada beberapa orang yang diwawancarai juga. Sudah
ada kandidat yang akan diterima. Dari wawancara ini Sahabat saya justru senang.
Sebab, walaupun ia tidak jadi kandidat yang akan diterima, tetapi si Pewawancara
suka dengan cara berkomunikasi Sahabat saya. Makanya si Pewawancara dengan
berat hati dan meminta maaf lalu berjanji akan merekomendasikan Sahabat ini ke
perusahaan yang menjadi kenalannya.
Pembicaraan berlanjut lagi. Sahabat
ini meminta pendapat saya tentang bagaimana bersetia terhadap pekerjaan yang
sedang kita jalani sekarang, dan bagaimana menghadapi tawaran-tawaran kerja
dari tempat lain.
Sejujurnya saya merasa belum
punya kapasitas untuk memberikan pendapat untuk pertanyaan-pertanyaan itu. Pengalaman
serta lamanya bekerja di perusahaan saya sekarang belum bisa dipakai sebagai
dasar untuk menjawab pertanyaan tadi. Walaupun sejak lima tahun lalu sampai
sekarang hanya perusahaan inilah satu-satunya tempat saya mengabdikan diri.
Memang ada banyak teman seangkatan kerja dengan saya yang memutuskan untuk
resign dan memilih bekerja di perusahaan lain karena tawaran gaji yang lebih
tinggi. Kesetiaan saya masih perlu diuji. Soal godaan
pekerjaan dengan gaji yang lebih tinggi di luar sana saya anggap sebagai rumput
tetangga yang selalu lebih hijau. Godaan-godaan itu akan semakin hijau jika
kita tidak pernah khusyuk menghayati rumput di halaman sendiri. Lagipula di pekerjaan sekarang saya merasa menemukan rumah.
* * *
Kepada Sahabat tadi, saya lalu
menyinggung kisah tentang Plato dan Gurunya. Cerita tentang pohon bambu. Saya menyampaikan ringkasan
cerita ini kepada Sahabat tadi dalam konteks untuk menemukan dan bersetia
pada pekerjaan.
Cerita dalam versi yang umum beredar barangkali seperti ini.
Suatu hari, Plato bertanya kepada Gurunya: "Apa itu Cinta? Bagaimana saya bisa menemukannya?"
Cerita dalam versi yang umum beredar barangkali seperti ini.
Suatu hari, Plato bertanya kepada Gurunya: "Apa itu Cinta? Bagaimana saya bisa menemukannya?"
Gurunya menjawab: "Kau lihat, disana ada ladang
gandum yang luas didepan sana. Berjalanlah kamu tanpa boleh mundur kembali,
kemudian ambillah satu ranting saja. Jika kamu menemukan ranting yang kau
anggap paling menakjubkan, artinya kamu telah menemukan cinta."
Plato pun berjalan ke ladang gandum tersebut, dan
tidak lama kemudian ia kembali ke Gurunya dengan tangan hampa. Gurunya pun
bertanya: "Mengapa kamu tidak membawa satu ranting pun?"
Plato menjawab: "Karena saya hanya boleh membawa
satu saja, dan saat berjalan saya tidak diperbolehkan mundur kembali, tetapi
sebenarnya tadi saya telah menemukan satu yang paling menakjubkan, tapi saya berpikir,
mungkin ada ranting yang lebih menakjubkan lagi di depan sana, jadi ranting
tadi tidak jadi saya ambil. Dan ternyata, ketika saya melanjutkan perjalanan,
barulah saya sadari bahwa ranting-ranting yang saya temukan kemudian, tidak
sebagus ranting yang tadi. Jadi, akhirnya tidak sebatang pun yang saya ambil."
Lalu Gurunya menjawab: "Ya, seperti itulah cinta."
Pada kesempatan lain, Plato bertanya sekali lagi pada Gurunya:
"Apa itu perkawinan? Bagaimana saya bisa menemukannya?"
Gurunya menjawab: "Kau lihat, ada hutan bambu yang
lebat di depan sana. Berjalanlah kamu tanpa boleh mundur kembali, kemudian
tebanglah satu pohon saja yang kamu anggap paling bagus.”
Kemudian Plato
langsung kembali memasuki hutan. Tidak lama kemudian Plato sudah kembali ke
hadapan Gurunya dengan membawa sebatang pohon bambu. Lalu Sang Guru bertanya: “Kenapa
kau sudah kembali? Apa kau sudah menemukan pohon
yang kau anggap paling bagus? Dan pohon yang kau bawa ini menurutku
tidak bagus-bagus amat. Tolong jelaskan ke saya kenapa kau pulang dan
memutuskan mengambil pohon ini?”
Plato menjawab: "Sebab berdasarkan pengalaman
saya sebelumnya setelah menjelajah hampir setengah ladang, dan ternyata saya
kembali dengan tangan hampa. Makanya pada kesempatan ini, saya lihat pohon ini,
dan saya rasa tidaklah buruk-buruk amat, jadi saya putuskan utuk menebangnya
dan membawanya kesini. Saya tak mau menghilangkan kesempatan untuk
mendapatkannya."
Gurunya pun kemudian menjawab: "Dan… Yah! itulah
Perkawinan."
* * *
Pesan whatsapp yang saya sebut di awal, bunyi lengkapnya seperti ini: "Gara-gara saran Pak Luq..
Tentang teori pohon bambu, hari ini saya resmi bekerja Pak Luq.. Terima kasih
sarannya Pak.. hehe."
Senang rasanya hati ini membaca pesan Sahabat tadi. Saya tidak menanyakan lagi perusahaan mana yang menerimanya bekerja. Saya hanya membalas pesannya: "Alhamdulillah, Aamiin. Insya Allah berkah, Pak.."
Besok-besok Sahabat ini barangkali akan sering menasihatkan kembali cerita pohon bambu ini. Kepada saya.
Hidup ini memang perihal nasihat-menasihati dalam kebaikan dan kesabaran. (*)
Hidup ini memang perihal nasihat-menasihati dalam kebaikan dan kesabaran. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar