Rabu, 15 Juni 2011

Jangan takut jika kau tak salah

Saya adalah tipe orang yang mudah terbebani pikirannya. Apalagi jika itu menyangkut ketidaksenangan dan ketidakpuasan orang lain terhadap diri saya. Namun, saya juga adalah tipe orang yang tidak suka berkonflik. Jika suatu ketika ketidaksenangan-ketidaksenangan pihak lain terhadap diri pribadi ini datang menyinggung, maka saya akan lebih memilih jalan memendam perasaan tersinggung yang ditimbulkannya. Dan sedapat mungkin perasaan-perasaan tersinggung yang terpendam itu saya olah agar tak menjadi dendam.

Sebagai tipe orang yang mudah terbebani pikirannya, maka saya juga akan ikut merasakan beban pikiran jika ketidaksenangan atau ketidakpuasan tadi juga mengarah ke komunitas atau organisasi saya. Seperti yang terjadi sore ini.

Sore tadi, oleh atasan, saya diminta untuk menemui seorang klien kami. Klien ini menginginkan penjelasan atas produk jasa yang kami berikan/janjikan. Saya diminta untuk membawa berkas-berkas kontrak kerjasama yang akan mendukung penjelasan saya. Saya segera meluncur. Setibanya saya di kantor klien tadi, saya langsung menemui pegawai di kantor itu dan olehnya saya diantar untuk bertemu langsung klien yang dimaksud.

Di sebuah ruangan, saya telah ditunggu oleh yang bersangkutan. Setelah saya memperkenalkan diri, pembicaraan pun dimulai. Pertanyaan-pertanyaan dari klien yang sering muncul pada situasi-situasi seperti ini rata-rata pertanyaannya diawali dengan kata mengapa dan kenapa. Setiap pertanyaan mengapa yang diajukan, maka saya akan menjawab begini Pak (kalau dia seorang bapak), atau begini Bu (kalau dia seorang ibu).

"Ini Pak, point-point yang dulunya kami tawarkan, dan telah dituangkan dalam kerjasama",
"Tapi, kenapa bisa begini",
"Oh kalo itu, begini Pak..",
.............................
"Oh sudah tidak benar kalo begitu, masa hanya begini !",
"Iya, Pak.. begitulah kesepakatannya",
...............................
"Ah, tidak benar ini, saya akan konfirm ke media-media, saya tidak terima.."
...............................
...............................

Pembicaraan pun selesai, karena pertanyaan yang diajukan sudah tak ada lagi. Jawaban yang kami berikan pun telah cukup memberikan penjelasan. Namun, ketidakpuasan tetap tampak di wajah klien tadi. Inilah yang membebani pikiran saya kemudian. Ditambah lagi oleh ancaman dari klien tersebut yang mengatakan akan mempengaruhi teman-temannya untuk tidak lagi memakai jasa dari kami pada periode kontrak berikutnya.

Sepanjang perjalanan kembali ke kantor, hasil pertemuan dengan klien tersebut terus membebani pikiran ini. Disatu sisi, pelayanan terhadap klien adalah yang kami utamakan. Namun disisi lain, terkadang ada beberapa klien yang tidak memahami dan mencoba menutup mata terhadap butir-butir kerjasama yang telah disepakati.

Setiba di kantor saya melaporkan ke pihak atasan tentang hasil pertemuan saya dengan klien tadi. Dari laporan saya, pihak atasan bisa memahaminya. Dan tanpa sadar ternyata, hari sudah sore dan saya belum shalat Ashar. Saya mengambil air wudhu, menunaikan shalat. Selesai sholat, pikiran ini masih terbebani oleh hasil pertemuan saya dengan klien beberapa saat sebelumnya. Saya tetap duduk di karpet sembahyang, mengheningkan diri dari pikiran yang membebani itu. Lalu, keheningan tadi berubah menjadi bisikan di telinga ini: "Jangan takut jika kau tak salah".

* * *




Selasa, 07 Juni 2011

Di kantor tadi saya marah

Setelah sekian lama, hari ini akhirnya saya bisa marah. Ini bukan marah yang biasa. Walaupun penyebabnya mungkin kecil saja. Bahkan sangat kecil dan tidak pantas untuk menimbulkan marah. Namun, saya ternyata  marah juga. Barangkali karena waktunya yang tidak tepat berhubung hari sudah sangat senja, konsentrasi mulai melebar, stamina telah menyusut, dan pikiran sudah kemana-kemana. 

Hari memang sudah sangat senja. Tapi  ini tidak bisa saya jadikan alasan untuk marah saya itu. Saya marah. Saya merasakan bibir saya tertarik ke bawah. Saking kuatnya tarikan itu menyebabkan kedua otot pipi saya juga ikut tertarik. Tarikan itu begitu terasa, begitu nyata.

Untuk beberapa saat, dalam beberapa kata, saya mengungkapkan kemarahan saya itu. Agar marah saya menemukan jatidirinya, maka suara saya keraskan beberapa desibel dari suara biasanya, tekanan darah saya tinggikan beberapa mmHg, dan sakit hati saya sakitkan beberapa arghhhh...

Setelah marah saya itu terlaksana, perasaan sedikit terasa plong. Namun, dalam hati ini  belum sepenuhnya mereda. Pada tahap ini fungsi logika saya sudah bisa berjalan ke arah normal. Saya mulai menyelidiki. Saya menelusuri kembali lorong-lorong waktu yang saya pakai untuk marah tadi. Menelusuri kembali saat terjadinya penyebab marah saya itu. Kenapa saya bisa marah, bahkan dengan tingkatan marah yang bukan biasa? Kenapa bisa? Kenapa?

Pada ujung penelusuran itu saya menemukan bahwa pengetahuan lebih yang saya miliki adalah penyebab utamanya. Saya merasa lebih tahu prosedur kerjanya, saya merasa lebih tahu aturannya, dan saya merasa lebih tahu etikanya. Dan disebabkan oleh rasa lebih tahu itulah, maka marahlah saya. 

Barangkali pengetahuan memang penting, namun di atasnya masih diperlukan kebijaksanaan. Dengan kebijaksanaan ini saya mungkin akan tahu diri. Bahwa ada pohon  lain yang tumbuhnya tak setinggi pohon sendiri. Bahwa semakin tinggi pohon semakin kencang angin yang meniup.

* * *




Kamis, 02 Juni 2011

A short note to start a long weekend

Baru saja terbangun oleh dering panggilan dari Ibu. "Assalamu Alaikum", kataku menjawab panggilan itu. Kepada Beliau saya memanggilnya Mama. Sesekali juga saya memanggilnya Ibu Haji. Seperti biasa obrolan kami melalui telepon adalah seputar bagaimana kabar, lagi bikin apa, dan pembicaraan-pembicaraan lain menyangkut orangtua kepada anaknya dan anak kepada orangtuanya. 

Have a nice day... :D

* * *