Selasa, 28 April 2015

Orang bodoh sekaligus orang paling bodoh

Mari duduk yang manis. Saya ingin berbagi sedikit cerita tentang buku. Tentang sesuatu yang disebut sebagai jendela dunia. Sesuatu yang bisa menjadi sebaik-baik teman. Sesuatu yang dunia memperingatinya setiap tanggal 23 April. Dan memang buku itu adalah sesuatu.

Bercerita tentang buku, kami punya satu ungkapan ketika masih mahasiswa dulu yang bisa menggambarkan tentang begitu berharganya sebuah buku. Ungkapan itu bunyinya seperti ini: Orang bodoh adalah orang yang memiliki buku dan meminjamkannya kepada orang lain, tetapi yang paling bodoh lagi adalah orang yang dipinjamkan buku lalu ia mengembalikan buku itu.

Ketika mahasiswa saya termasuk golongan orang yang paling bodoh yang disebutkan dalam ungkapan di atas tadi. Waktu itu boleh dibilang kemampuan saya untuk membeli atau memiliki buku adalah hampir sama dengan nol. Buku yang saya beli, hanyalah buku-buku wajib matakuliah yang di dalamnya berisi modul-modul kuliah umum yang kalau kita membeli buku-buku itu kita bisa memperoleh garansi untuk mendapat nilai B. Selebihnya saya harus meminjam ke Senior-Senior atau ke perpustakaan kampus. Konsekuensi dari meminjam ini adalah harus mengembalikannya. Dan jika meyakini ungkapan di atas tadi, maka konsekuensi berikutnya adalah mengikhlaskan diri untuk disebut sebagai orang yang paling bodoh.

Tapi sudahlah, masa bodoh dengan ungkapan itu, wkwkwk. Mari kita lanjut.

Ketika mahasiswa saya sering meminjam buku di perpustakaan kampus. Tapi anehnya buku-buku yang saya pinjam lebih banyak berisi judul-judul yang tidak berhubungan langsung dengan konsentrasi jurusan kuliah saya. (waktu kuliah dulu saya mengambil jurusan matematika). Menurut ingatan saya, daftar buku yang pernah saya pinjam diantaranya adalah buku-buku karya Pramoedya Ananta Toer: Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, dan Panggil Aku Kartini Saja. Ada juga novel karya Putu Wijaya: Putri. Lalu, novel karya NH. Dini: Namaku Hiroko. Saya juga senang meminjam buku berisi renungan-renungan kehidupan yang ditulis oleh Gede Prama. Buku-buku filsafat juga tak ketinggalan, serta buku-buku tentang hidup sehat, tentang keorganisasian, dan juga kepemimpinan.

Dari Senior-Senior ataupun Teman-Teman, selain novel atau buku cerita, saya juga suka meminjam buku-buku tentang bagaimana mengenal kepribadian orang lain, bagaimana bergaul dan mendapatkan teman, juga buku-buku agama Islam yang berisi tuntunan praktek hidup sehari-hari.

Sedikit sekali memang saya meminjam buku-buku yang berhubungan dengan disiplin ilmu saya. Melihat kembali daftar buku bacaan saya ketika kuliah dulu mungkin saya telah keliru memilih jurusan. Saya barangkali akan lebih pas jika kuliah di jurusan sastra ataupun sejenisnya.

Tapi sepertinya ini bukan soal keliru ataupun tidak keliru memilih jurusan. Ini lebih kepada persoalan minat baca. Dan saya rasa tidak ada mahasiswa sastra yang memilih buku matematika untuk dibaca saat santai sambil ngopi atau ngeteh. Karenanya saya bersyukur pernah berkuliah di jurusan matematika. Sehingga kalau pikiran sedang badmood, atau kalau lagi mau bersantai saya bisa membaca sebuah buku dengan tema-tema kehidupan.

Hal ini pun terbawa-bawa sampai sekarang. Saat volume pekerjaan yang datang kadangkala menguras pikiran, saya biasanya akan melarikan diri ke dalam halaman-halaman buku bacaan. Dan biasanya ada saja pencerahan-pencerahan baru yang saya dapatkan setelah berdiam diri beberapa saat dalam halaman-halaman buku. Besoknya pikiran fresh kembali.

* * *

Saya pernah punya buku catatan kecil. Semacam diary begitulah. Disitu saya pernah menuliskan daftar 100 cita-cita sederhana yang ingin saya raih. Itu sembilan tahun yang lalu. Sekarang beberapa dari daftar itu sudah tercapai. Seperti misalnya saya ingin bertemu dan bersalaman dengan Presiden Indonesia, atau saya ingin bisa menyetir mobil. Dan cita-cita ingin mempunyai perpustakaan kecil di rumah sepertinya juga perlahan mulai mewujud. Memang saat ini koleksi judul buku yang saya punya belum bisa dibilang banyak, tapi untuk dibilang sedikit juga tidak layak. Program sebulan sebuah buku sepertinya tidak sukar untuk saya jalankan dimasa-masa sekarang. Sehingga untuk tahun ini insya Allah buku-buku tadi akan bertambah 12 judul, tahun depan 12 judul, dan akan bertambah lagi 12 judul, begitu setiap tahunnya.

Berteman dengan buku saya jadi tahu bahwa ada buku-buku yang kita cukup hanya membacanya sekali, ada yang beberapa kali, ada yang berulang-ulang, dan ada yang setiap hari. Saya juga bisa mengerti kenapa orang yang mau meminjamkan bukunya disebut sebagai orang bodoh. Dan, orang paling bodoh lagi adalah yang mau mengembalikan buku pinjamannya.

Makanya, biar tidak terjebak dalam lingkaran kebodohan itu saya akan memilih memberikannya ketimbang meminjamkannya. Atau, saya akan membeli sebuah buku lagi dengan judul yang sama kemudian saya pinjamkan.

Atau, saya akan meminjamkan sebuah buku dan sebagai gantinya saya meminta dipinjamkan sebuah buku yang lain. Hal ini untuk sekedar berjaga-jaga siapa tahu kita adalah murid dari perguruan silat yang sama, orang bodoh sekaligus orang paling bodoh. Wkwkwk. (*)

(Catatan ini sebagai pengingat Hari Buku tanggal 23 April kemarin. Maaf terlambat, hehe)


Jumat, 17 April 2015

Think out of the box

Dua pekan lalu saya ke Bogor mengunjungi beberapa teman yang sedang menempuh kuliah Magister di IPB. Perjalanan ke Bogor ini adalah pengalaman pertama saya menaiki Busway. Juga pengalaman pertama saya menaiki Kereta Commuter. Busway dan Commuter ini adalah dua jenis moda transportasi darat yang diharapkan dapat menghubungkan dan mengurai kemacetan jalan-jalan di Jakarta dan kota-kota penyangga di sekitarnya.

Dua pekan lalu itu libur Paskah. Tapi Jakarta tetap ramai, kendaraan tetap padat. Dalam perjalanan menuju Bogor saya coba untuk ikut larut dalam salah satu irama kehidupan warga Jakarta. Berdesak-desakan di atas Busway, antri tiket Commuter, berbagi tempat duduk dengan penumpang lain hingga harus melanjutkan perjalanan sambil berdiri dan bergelantungan di dalam gerbong kereta. Seorang teman menyampaikan kepada saya bahwa separuh hidup warga disana ialah di jalan.

Dari pengalaman pertama menaiki Busway dan Commuter itu saya jadi merenung bahwa untuk menjalani separuh hidup di jalan-jalan Jakarta kita barangkali membutuhkan kaki yang tabah untuk berpijak dan tangan yang kuat untuk menggenggam. Dan ini memang saya rasakan sendiri, malamnya pegal-pegal terasa di lengan dan betis saya. Wkwkwk…

Keesokan harinya kami menuju Bandung.  Perjalanan ke Bandung ini adalah pertama kalinya pula saya membuktikan langsung betapa sangat bergunanya teknologi GPS itu. Saat meninggalkan Bogor GPS sudah mulai diaktifkan. Kami berangkat selepas Dzuhur. GPS menunjukkan bahwa jarak tempuh Bogor-Bandung adalah kurang lebih 180 kilometer.

Rute pertama yang kami cari tahu adalah arah menuju pintu tol. Inilah jalan bebas hambatan yang bisa menghubungkan kita ke mana saja. Jarak tempuh 180 km memang bukan jarak yang pendek, apalagi di tengah perjalanan beberapa kali kami bertemu sekawanan hujan lebat. Tapi kegembiraan kami tidak berkurang sedikit pun. Semua tetap  ceria mengamati GPS di tangan masing-masing. Untuk memastikan benar tidaknya jalur tol yang kami pilih, kami seringkali bertanya kepada petugas penjaga pintu tol.

Tepat waktu Ashar kami menepi di sebuah rest area, mengambil sejenak jeda menikmati beberapa teguk kopi hangat. Jika mengikuti petunjuk GPS kami akan sampai di Bandung menjelang Maghrib. Sepertinya Bandung memang masih jauh. Setelah melanjutkan perjalanan setelah ber-rest area kami tak hendak dulu buru-buru menemukan Kota Bandung. Cukuplah saja papan penunjuk arah yang bertuliskan “Bandung”. Karena dari tadi memang belum tampak kelihatan.

Hingga ketika tulisan “Bandung” benar-benar kami temukan terpampang di plang penunjuk jalan, menjadi bertambah-tambahlah kegembiraan perjalanan kami. Spontan saya berteriak Banduungg… Banduungg.. Itu berarti arah kami sudah benar. Gedung Sate, Alun-alun Kota sudah terbayang. Mungkin juga jalan Braga, atau yang lainnya.

Menjelang Maghrib kami benar-benar sampai di Bandung. Sore itu langit Bandung sedang mendung. Matahari baru saja terbenam. Tapi kegembiraan di wajah kami selalu terbit. Lalu lintas mulai padat kembali. Mobil kami berjalan rintik-rintik berbaur dengan kendaraan-kendaraan berplat  D.

Tujuan kami sebenarnya bukan Bandung. Bandung hanyalah persinggahan. Sekedar melihat-lihat, sekedar foto-foto, biar besok-besok saya bisa juga bercerita kalau saya pernah ke Bandung. “Ini foto gue waktu di Bandung, Bung! Hehe..” 

Tujuan kami sebenarnya adalah tempat wisata Kawah Putih di daerah Ciwidey. Setelah puas foto-foto dan menongkrongi Alun-Alun Kota Bandung, jam tiga dini hari kami menuju Ciwidey. Menurut perkiraan kami akan menempuh jarak sekitar dua jam perjalanan. Itu berarti kami akan menemukan Subuh disana.

Memasuki daerah Ciwidey suhu udara semakin dingin. Setelah sarapan bubur ayam di depan Mesjid Besar Ciwidey kami melanjutkan perjalanan menuju Kawah Putih. Pemandangan di kiri dan kanan jalur yang kami tempuh dipenuhi oleh kehijauan tanaman strawberry. Sepertinya selain Kawah Putihnya, Ciwidey juga terkenal dengan strawberrynya. Karena ketika saya mengganti display picture bbm dengan latar belakang Kawah Putih, seorang teman di kontak bb saya tiba-tiba berkomentar: “Lagi main di Ciwidey kayaknya nih, salam sama strawberry  ya..”

Atau, jangan-jangan ciwidey itu adalah strawberry dalam bahasa Sunda. Lihatlah di belakangnya, sama-sama berakhiran huruf  y . Wkwkwk, ah, ngaco. Ah, tak tahulah saya.

Di Ciwidey saya juga foto-foto. Biar besok-besok ada cerita yang bisa dibagi bahwa saya pernah menjejakkan kaki di Kawah Putih Ciwidey.

Jam sembilan pagi kami meninggalkan Kawah Putih karena teman-teman harus mengantarkan saya kembali ke Jakarta untuk mengejar penerbangan pulang ke Manado pada jam enam sore. Saya berharap masih bisa singgah sebentar di Bandung bertemu dengan seorang teman SMU yang sudah menetap disana. Malam sebelumnya ketika saya mengabarkan bahwa saya ada di Bandung, teman ini meminta untuk bertemu besok hari sepulangnya kami dari Kawah Putih. “Kita sarapan di tempat saya saja”, begitu pesannya. Tapi hari sudah tidak pagi lagi. Jam sarapan juga sudah lewat. Dan kami masih berusaha menemukan jalan kembali menuju Bandung. GPS tetap menjadi andalan.

Di tengah perjalanan, teman saya yang tadi ingin bertemu tiba-tiba menelepon. “Bung Luqman sudah dimana?” Oh iya, saya di daerah…. ( saya tidak tahu dimana, saya sebut saja sembarang nama tempat yang tertulis di papan nama kios ataupun toko yang tertangkap mata ini, hehe..). “Kamu ga usah singgah di tempat saya. Langsung aja ke Jakarta. Takutnya kamu tidak bisa sampai tepat waktu di Bandara. Insya Allah panjang umur kita bertemu lagi”.

Maka lanjutlah perjalanan kami ke Jakarta. Di sebuah rest area kami berhenti lagi. Saya numpang mandi disana, mumpung gratis. Wkwkwk.. Lagipula sejak perjalanan siang kemarinnya badan ini belum sekali pun diguyur air.  

Akhirnya jam empat sore kami sampai di Bandara. Saya pamit ke teman-teman. Saya salami teman-teman satu per satu. Penerbangan pulang ke Manado masih dua jam lagi. Besoknya akan bertemu lagi dengan Senin. Bertemu lagi dengan rutinitas.

* * *

Dari tulisan saya yang panjang itu, sebenarnya pendek saja yang mau saya bilang. Sabtu-Minggu besok marilah keluar dari rutinitas kita. Ke toko buku lah, ke pantai lah, ke gunung lah, atau kemana saja atau melakukan apa saja yang penting menjauh dari zona rutinitas. Dengan begitu kita bisa melihat hidup ini, bisa memandang diri kita ini dari perspektif yang berbeda.

Itu saja.

Selamat berakhir pekan. (*)

Senin, 06 April 2015

Sleepless in Bandung (1)

L  untuk Luqman

B untuk Bahri

BA untuk Bina Akrab

BANDUNG