Kamis, 29 Desember 2011

sendal jepit

#kepada AAL

adalah sendal jepit
sesuatu yang paling berharga dimusim hujan
makanya, ada yang begitu marah ketika
sendalnya kau curi

kau tahu kan
seberapa panjang lima tahun itu
kau akan melewati lima musim hujan
kau akan menghabiskan seribu sendal jepit

(lq)

Senin, 26 Desember 2011

sementara ini hanya namanya yang ia izinkan menghuni pikiranku

Ada hal-hal di dunia ini yang perlu kita percayai tanpa harus mengalaminya terlebih dahulu. Adapula yang sebaliknya, kita mempercayainya setelah membuktikannya.

Kepercayaan tadi bisa menghuni pikiran kita melalui panca indra yang kita miliki. Kita percaya bahwa gula itu manis melalui lidah kita. Kita percaya bahwa api itu panas melalui kulit kita. Kita percaya bahwa lagu-lagu Ebiet G. Ade menyentuh melalui telinga kita, kita percaya bahwa sayur segar itu berwarna hijau melalui mata kita. Kita percaya bahwa bangkai itu busuk melalui hidung kita.

Kepercayaan-kepercayaan yang kita dapat melalui panca indra tadi tidak serta merta bisa menjadi kepercayaan bagi orang lain, apalagi jika orang lain tersebut belum pernah sama sekali mengalami pengalaman yang kita alami. Misalnya saja, kita tidak bisa memaksakan kepercayaan bahwa api itu panas kepada seorang anak kecil sampai anak tadi membuktikannya sendiri.

Namun, ada kepercayaan-kepercayaan yang bersifat umum. Kepercayaan ini kita peroleh dari pengalaman orang lain. Karena sifatnya yang ekstrim, sehingga kepercayaan tadi bisa menjadi kepercayaan kita tanpa ada dorongan untuk membuktikannya. Contohnya, kita percaya bahwa bisa cobra itu mematikan karena kita pernah melihat ada orang yang mati setelah digigit ular cobra. Atau, kita percaya bahwa melompat dari lantai 3 sebuah gedung bisa menyebabkan patah tulang tanpa harus mencobanya.

Terlepas dari mana kita mendapat kepercayaan itu, bahasa adalah penghantarnya. Entah itu bahasa berupa bau, bahasa cahaya, bahasa rasa, bahasa bunyi, atau pun bahasa suhu. Tak terkecuali kepercayaan akan adanya Tuhan. Itulah sebabnya untuk mengkomunikasikan diri, Tuhan menurunkan wahyu-Nya kepada Nabi-Nya, dan melalui penciptaan langit dan bumi beserta isinya. Wahyu Tuhan kepada Nabi tadi dituang kedalam Kitab Suci yang biasa kita sebut dengan ayat Qauliyah. Sedangkan Bahasa Tuhan melalui ciptaan-Nya biasa kita sebut dengan ayat Kauniyah.

Aktifitas Berbahasa (mendengarkan, mengamati, merasakan, memahami) inilah kemampuan tertinggi yang dimiliki oleh manusia. Dengan kemampuan ini manusia yang satu bersosialisasi dengan manusia yang lain. Dari sosialisasi tadi terbentuklah kebiasaan. Dari kebiasaan tersebut berkembang menjadi kebudayaan. Dan diujungnya lahir sebuah peradaban.

Salah satu wujud bahasa adalah kata-kata. Dengan penggunaan kata-kata yang tepat, kita bisa membentuk kepercayaan pada orang lain agar mereka bergerak, melakukan kebiasaan-kebiasaan positif. Di ruang inilah para motivator bekerja mempengaruhi. Lewat kata-kata mereka membagikan pengalaman berharga agar kita bertindak, agar kita percaya.

Percaya atau tidak percaya, sekarang ada seorang perempuan yang telah mau mengizinkan namanya masuk ke pikiranku. Baru hanya namanya memang. Namun, boleh jadi kelak ia bersedia membuat saya percaya dengan kata-kata ini: “Dibalik kesuksesan seorang laki-laki terdapat seorang isteri yang hebat.”

Bolehlah mendoakan saya, mendoakan kami.

* * *

Jumat, 23 Desember 2011

Mengukur nilai dari kerja keras

Dengan apakah kita mengukur nilai sebuah kerja keras? Dengan seberapa banyak keringatkah? Dengan seberapa banyak income-kah? Dengan seberapa banyak investasikah? Atau, dengan seberapa banyak senyum diakhir tahun?

Soal kerja keras ini, didalam keyakinan saya, Islam, dipesankan bahwa: "Apabila engkau memiliki sebiji kurma di tanganmu maka tanamlah, meskipun besok akan kiamat, semoga engkau mendapat pahala". (Al Hadits)

Kerja keras, dengan apakah kita mengukurnya?

Minggu, 20 November 2011

Begitu juga kan keinginanmu, Kawan?

Apa jadinya tadi jika Indonesia kalah dari Vietnam? Apa jadinya spanduk yang bertuliskan "Good Bye Vietnam" itu jika tadi Indonesia kalah? Apakah spanduk itu akan tetap diperlihatkan, atau  si penonton akan tetap diam-diam menyembunyikannya? Tentu saja saya tidak tahu apa jadinya. Karena kenyataannya Indonesia menang.

Nampaknya memang penonton kita telah siap menerima kemenangan Indonesia atas Vietnam. Contohnya saja spanduk yang bertuliskan Good Bye tadi. Spanduk itu mendapat bidikan kamera sesaat setelah Indonesia mencetak gol kedua lewat tendangan kaki kiri Tibo. Saya tidak yakin tulisan itu dibuat si penonton sesaat setelah gol kedua itu. Saya membayangkan dan melihat dari layar televisi suasana Stadion GBK pada saat Indonesia telah leading 2-0. Begitu bergemuruh, begitu merah, kegembiraan meluap dimana-mana. Dalam suasana seperti itu saya tidak yakin kalau si penonton akan sempat menulis pesan pendek selamat tinggal kepada pemain Vietnam. Sehingga jika keyakinan saya ini benar, maka pastilah tulisan itu dibuat sejak jauh-jauh waktu sebelum pertandingan tadi digelar.

Begitu rindunya kita akan prestasi sepakbola Indonesia. Di piala AFF yang lalu kita tidak bisa juara. Lalu, dalam kualifikasi pra Piala Dunia kita juga tersingkir. Peluang untuk menjadi juara didapat pada Sea Games ke-26 kali ini. Kita baru saja menyingkirkan Vietnam dan dibabak puncak nanti kita akan menghadapi Malaysia yang mengalahkan kita 1-0 dibabak penyisihan grup. Dipertandingan nanti tentu saja kita berharap Indonesia bisa mengalahkan Malaysia. Kita sebagai penonton pastinya sudah tidak sabar menyaksikan moment tersebut. Persiapan-persiapan untuk menyemangati pemain kita di babak final nanti pastinya sudah kita lakukan sejak wasit meniup peluit panjang diakhir pertandingan tadi melawan Vietnam.

Apapun hasil pertandingan nanti, kalah atau menang, setelahnya tak ada lagi pertandingan dievent ini. Yang kalah mungkin akan kecewa, dan yang menang sudah pasti akan bergembira. Kalah atau menang, semua akan saling berucap see you good bye

Saya membayangkan diakhir laga Babak Final nanti di bangku penonton akan ada lagi spanduk besar yang bertuliskan "Good Bye Malaysia" dengan latar belakang kegembiraan penonton kita yang merah bergemuruh. Begitu juga kan keinginanmu, Kawan?

Sabtu, 01 Oktober 2011

syukur dan keberlimpahan

Kebahagiaan barangkali tidak diukur dengan banyak atau sedikitnya nikmat. Banyak dan sedikit adalah ukuran-ukuran yang dibuat oleh manusia. Tidak jarang nikmat yang menurut ukuran manusia tadi dibilang banyak, justru menimbulkan ketidaktenangan dalam diri ini. Dan sebaliknya ketika nikmat tadi datang dalam bentuk yang sedikit, justru kedamaianlah yang dibawanya.

Kita manusia memang suka membuat ukuran-ukuran. Ukuran-ukuran yang kita buat itu menjadikan kita menyukai yang banyak, dan menangisi yang sedikit. Namun, jika ukuran-ukuran tadi dibungkus oleh pakaian kesyukuran, maka keberlimpahanlah yang akan menyusulnya. Bukankah demikian janji Tuhan kita?

Senin, 26 September 2011

bagaimana dan untuk apa

Untuk apa-apa yang saya raih hari ini, bersyukur adalah padanannya. Betapa kaburnya gambaran hari ini ketika saya memandangnya dari ruang bernama dulu. Untuk hari ini, banyak bekal yang dahulu diminta kepada saya untuk dipersiapkan. Mempersiapkan bekal ini kadangkala bukanlah sebuah kesenangan. Mempersiapkan bekal ini kadangkala harus berhadapan dengan sisi lain dari diri ini yang memberontak. Apalah arti sebuah masa depan kalau harus mengorbankan kesenangan-kesenangan hari ini?

Tapi waktu tak mau pusing. Ia terus bergerak dan kehidupan terus mengalir.

Satu persatu pertanyaan-pertanyaan tentang masa depan yang dahulu saya pertanyakan, dijawab oleh aliran kehidupan tadi. Aliran kehidupan ini kadangkala deras dan berliku dan menimbulkan keruh. Kadangkala pula harus membentur batu-batu keras. Namun dilain waktu alirannya begitu tenang, begitu jernih. Beginikah kehidupan itu?

Waktu mungkin akan menjawab. Tapi waktu tak mau pusing. Ia terus bergerak dan kehidupan terus mengalir. Dan kita tak akan berhenti bertanya perihal kehidupan ini. Bagaimana dan untuk apa?

Kamis, 28 Juli 2011

Sudah lama saya tidak bermain bola

Sudah lama saya tidak bermain bola. Jika memakai ukuran liga profesional, maka lamanya saya tidak bermain kurang lebih setengah musim. Setengah musim bukanlah perkara remeh. Ada banyak yang bisa berubah dalam setengah musim. Boleh jadi lemak perut akan menumpuk. Boleh jadi berat badan akan menaik. Boleh jadi pergerakan akan melambat. Boleh jadi akurasi umpan dan operan akan menurun. Dan, boleh jadi kekuatan tendangan akan melemah.

Itulah sebabnya sebelum musim kompetisi dimulai banyak klub-klub besar mengadakan pertandingan pemanasan. Tujuannya tidak lain untuk mengembalikan performa tim dan para pemainnya setelah menjalani masa liburan. Maka demi tujuan inilah, klub-klub tadi mengadakan tur pra musim ke berbagai negara melawan berbagai klub.

Sudah lama saya tidak bermain bola. Nasehat untuk menggantung sepatu barangkali cocok untuk saya pertimbangkan. Namun, saya belum punya keinginan untuk gantung sepatu. Sehingga hal yang mungkin tepat saya lakukan sekarang adalah menunggu, menunggu hingga bursa transfer pemain musim ini ditutup pada Agustus nanti. Menunggu kalau-kalau ada klub Eropa yang ingin mengontrak saya. Namun menunggu terkadang mengandung ketidakpastian, dan ketidakpastian terkadang melahirkan kekecewaan. Maka, dalam menghadapi ketidakpastian yang bisa mengecewakan ini, yang bisa saya lakukan adalah berandai-andai dan bertindak seolah-olah. Berseolah-olah saya ini pemain professional.

Ah, sudahlah. Mari berhenti berceloteh yang tidak jelas. Begini, saya menyukai sepak bola. Saya menyukai sepak bola sebagai hobby. Sekedar bermain dan sekedar mengeluarkan keringat. Namun, tentang bermain bola ini memang telah lama tidak saya lakukan. Barangkali karena telah lama itu, maka akhir-akhir ini saya banyak memikirkan tentang bola. Pikiran tentang bola ini barangkali dipicu oleh aktifitas bekerja yang hanya memungkinkan saya untuk menonton saja, tanpa bisa bermain. Padahal saya juga ingin mempraktekkan aksi tendangan penalty yang lagi jadi perhatian dunia saat ini. Menendang penalty dengan membelakangi gawang itu.

Namun, keberadaan saya kini yang sedang menjadi penonton seharusnya menjadi sebuah kesyukuran. Bukankah ada anekdot yang mengatakan bahwa penonton selalu lebih pintar daripada pemain? Dengan menjadi penonton saya bisa melihat pertandingan dengan cakrawala yang lebih luas. Saya bisa mengetahui mana pergerakan pemain yang lamban dan salah menempatkan posisi. Saya bisa mengetahui pemain mana yang tidak bisa mengikuti irama permainan tim. Saya bisa mengetahui intrik-intrik permainan, mana yang hanya diving dan mana yang benar-benar pelanggaran. Dan kepada pemain yang bermain tidak sesuai dengan ekspektasi saya yang menonton, maka dengan lantang saya bisa seenaknya berteriak: “bodoh kamu!”

Barangkali, menyadari penonton selalu lebih pintar daripada pemain maka sang pelatih akan selalu memilih untuk menjadi penonton dan berdiri di pinggir lapangan. Memberikan instruksi-instruksi tanpa terpancing untuk ikut bermain ke dalam lapangan. Sepenting dan segenting apapun pertandingan yang sedang dihadapi.

Menyadari penonton selalu lebih pintar daripada pemain, maka biasanya pula para pemain akan menonton rekaman pertandingan yang telah mereka mainkan. Menonton diri mereka sendiri. Melihat pada saat mana mereka melakukan kesalahan, melihat pada saat mana mereka melakukan pelanggaran. Sehingga dengan menonton diri sendiri seperti ini, maka dipertandingan selanjutnya kesalahan-kesalahan tadi sudah tidak diulangi lagi. Mungkin inilah rahasia klub-klub hebat yang memenangkan banyak trophy itu.

Saya memang sudah lama tidak bermain bola. Menjadi penonton dan menonton ke dalam diri sendiri barangkali perlu untuk mengetahui bahwa tidak setiap waktu saya bisa bermain bagus dalam lapangan kehidupan ini.

Selamat Menyambut Ramadhan, dan Mohon Maaf untuk tontonan kurang menarik yang saya mainkan selama ini.. :)

Sabtu, 23 Juli 2011

Kampung Indonesia

Sepulang kantor lalu menidurkan diri lalu terbangun tengah malam, menjadikan waktu begitu panjang dan pagi begitu jauh. Hari-hari seperti ini, di akhir pekan begini, sudah seharusnya memang waktu tak perlu terlalu cepat berdetik. Biarlah ia melambat dari seperti biasanya.

Terbangun tengah malam dengan kondisi perut yang baru terisi sekali di hari ini, menambah semakin panjangnya penantian terbitnya pagi. Tapi itu bukan masalah. Justru ini akan membuat pertemuan dengan pagi menjadi lebih indah nantinya. Apalagi pagi nanti adalah hari Sabtu. Saya bisa kemana saja sesuka yang saya mau, tanpa harus terikat oleh rutinitas.

Yang ingin saya lakukan ketika tiba pagi nanti adalah segera dan sesegera mungkin menyantap nasi kuning hangat. Saya membayangkan pastilah rasanya akan sangat nikmat sekali. Atau, kalau perlu bersama dengan kopi susu hangat. Dan sepertinya saya akan menambahkan dua buah telur ceplok pada nasi kuning itu. Ah, kita lihat saja nanti.

Sebenarnya ketika terbangun tadi dan menengok berita-berita di internet, saya menemukan banyak sekali pemberitaan tentang Indonesia kita. Dan yang sekarang sedang ramai dibicarakan adalah soal Nazaruddin. Setelah sekian lama kabur dan menyembunyikan diri tiba-tiba ia muncul di tivi dan berwawancara. Namun, dimana tepatnya ia berada tak dikatakannya. 

Soal Nazaruddin ini, seorang kawan distatus facebooknya menulis seperti ini: Gajah mati meninggalkan gading, Harimau mati meninggalkan belang, Manusia mati meninggalkan nama, dan Nazaruddin pergi meninggalkan teman-temannya.

Oleh sebab itulah barangkali disebuah pidatonya Presiden SBY sebagai Dewan Pembina Partai Demokrat, yang juga partainya Nazaruddin, mengajak agar si Nazaruddin segera pulang dan kembali ke Indonesia. Pulang ke Indonesia menemui teman-temannya dan mengungkapkan kebenaran kicauannya selama ini.

Oh iya, membicarakan Nazaruddin, saya teringat sebuah lagu Manado, Pulang Jo, pulang jo.. pulang jo.. biar busu-busu... itu kampung sandiri...

Dan memang, ini kampung sendiri, Indonesia. Biar busuk-busuk, saya masih bisa menantikan pagi lalu berharap menemukan nasi kuning hangat dengan dua telur mata sapi di atasnya. Juga dengan segelas kopi susu hangat.

Manado, 23 Juli 2011

Minggu, 10 Juli 2011

Bicara tentang buku

Saya pernah menuliskan seratus buah cita-cita yang ingin saya raih. Cita-cita itu saya tulis dalam sebuah buku kecil. Buku kecil itu masih saya bawa kini dan masih menyimpan cita-cita itu. Saya tidak ingat lagi pastinya keseratus cita-cita itu. Namun untuk mengingatnya saya pun tak ingin membuka buku kecil tadi. "Cukup ditulis apa cita-citanya dan kapan target tercapainya, biarkan masuk ke alam bawah sadar, dan tengoklah kembali daftar cita-cita itu setelah lama nanti", begitu kira-kira saran dari metode penulisan cita-cita tadi.

Maka, tanpa membuka buku kecil itu, saya mengingat salah satu cita-cita yang tertulis di dalamnya. "Saya ingin punya perpustakaan pribadi".

Perpustakaan pribadi yang seperti apa? Ketika dulu menuliskan cita-cita ini yang terpikir hanyalah bahwa saya punya banyak buku dan dibeli dengan uang hasil kerja sendiri. Tidak perlu sekali beli. Cukuplah sebuah dulu, kemudian sebuah lagi, hingga lama-lama buku-buku itu jadi banyak. Begitulah proses untuk mewujudkan cita-cita memiliki perpustakaan pribadi itu.

Awalnya, saya tidak muluk-muluk untuk mewujudkan cita-cita itu. Cukup sebuah buku dalam sebulan, pikirku. Sehingga dalam setahun saya akan punya dua belas buku, dan dalam sepuluh tahun saya sudah akan punya seratus dua puluh buku.

Buku seperti apa yang akan menjadi koleksiku? Ini juga tidak pernah saya pikirkan. Namun saya lebih tertarik membaca buku sastra dan segala turunannya, filsafat, pengembangan diri dan bisnis, perkembangan dunia dan sejarahnya, serta buku biografi. Dengan melihat kecenderungan itu, barangkali kelak perpustakaanku akan penuh dengan buku-buku dengan tema-tema tersebut.

Kemudian, mulailah saya mengumpulkan buku. Membeli sebuah, lalu sebuah lagi. Seperti misi saya diawal tadi: sebulan sebuah buku. Untuk mensukseskan misi itu, maka saya mengincar buku-buku tebal dengan halaman yang beratus-ratus. Dengan halaman yang beratus-ratus itu saya berharap tidak akan kehabisan bahan bacaan dan kesepian hingga tiba bulan berikutnya untuk membeli sebuah buku lagi. Dengan demikian, misi sebulan sebuah buku, bukan saja berarti bahwa sebulan sebuah buku bertambah, tetapi juga berarti sebulan ada sebuah buku yang selesai dibaca.

Namun lihatlah godaan buku-buku itu. Di mata ini mereka ibarat gadis-gadis cantik. Lirik sana, wow. Lirik sini, aduhai. Terhadap gadis-gadis tadi kita diperintahkan untuk menundukkan pandangan, namun terhadap buku-buku menggoda itu perintah mana yang bisa menahan? Maka setiap kali ke toko buku, saya tidak akan sebentar saja disana. Saya akan mendatangi buku yang menggoda, menyapanya, meraba tekstur sampulnya, membolak-balik halamannya, membaca testimoni orang-orang, dan memastikan bahwa bukan cuman judulnya saja yang menarik. Saya selalu teringat pesan: don't just the book by it cover.

Dan ngomong-ngomong, misi saya di atas tadi tentang sebulan sebuah buku hanyalah omong kosong belaka. Misi itu gagal total. Setiap kali ke toko buku saya selalu digoda oleh banyak buku menarik. Beberapa diantaranya tak mau melepaskan genggamannya dari tangan ini. Mereka memohon agar diizinkan ikut dengan saya agar mereka segera terbebas dari toko buku itu. Kalaulah bukan karena dompetku yang meneriaki pastilah sudah saya bawa mereka semua ikut bersamaku. Namun sebelum meninggalkan toko, kepada buku-buku yang masih berkeras untuk ikut saya selalu menitipkan janji disela-sela halaman mereka bahwa saya akan kembali lagi esok, atau esoknya lagi.

Akhirnya, saya harus membuat pengakuan bahwa kini kemampuanku membeli buku lebih cepat dari pada kemampuanku membaca. Apalagi kau tahu kan, saya selalu tertarik membeli buku-buku tebal? Kau juga mungkin tahu, betapa banyak buku-buku tebal yang bagus-bagus di toko sana? Beberapa diantaranya telah memilih saya sebagai tuannya. Dan salah satunya baru saja saya tamatkan membacanya, buku kedua dari novel biografi Muhammad, para pengeja hujan.

Selamat membaca.
 




Rabu, 15 Juni 2011

Jangan takut jika kau tak salah

Saya adalah tipe orang yang mudah terbebani pikirannya. Apalagi jika itu menyangkut ketidaksenangan dan ketidakpuasan orang lain terhadap diri saya. Namun, saya juga adalah tipe orang yang tidak suka berkonflik. Jika suatu ketika ketidaksenangan-ketidaksenangan pihak lain terhadap diri pribadi ini datang menyinggung, maka saya akan lebih memilih jalan memendam perasaan tersinggung yang ditimbulkannya. Dan sedapat mungkin perasaan-perasaan tersinggung yang terpendam itu saya olah agar tak menjadi dendam.

Sebagai tipe orang yang mudah terbebani pikirannya, maka saya juga akan ikut merasakan beban pikiran jika ketidaksenangan atau ketidakpuasan tadi juga mengarah ke komunitas atau organisasi saya. Seperti yang terjadi sore ini.

Sore tadi, oleh atasan, saya diminta untuk menemui seorang klien kami. Klien ini menginginkan penjelasan atas produk jasa yang kami berikan/janjikan. Saya diminta untuk membawa berkas-berkas kontrak kerjasama yang akan mendukung penjelasan saya. Saya segera meluncur. Setibanya saya di kantor klien tadi, saya langsung menemui pegawai di kantor itu dan olehnya saya diantar untuk bertemu langsung klien yang dimaksud.

Di sebuah ruangan, saya telah ditunggu oleh yang bersangkutan. Setelah saya memperkenalkan diri, pembicaraan pun dimulai. Pertanyaan-pertanyaan dari klien yang sering muncul pada situasi-situasi seperti ini rata-rata pertanyaannya diawali dengan kata mengapa dan kenapa. Setiap pertanyaan mengapa yang diajukan, maka saya akan menjawab begini Pak (kalau dia seorang bapak), atau begini Bu (kalau dia seorang ibu).

"Ini Pak, point-point yang dulunya kami tawarkan, dan telah dituangkan dalam kerjasama",
"Tapi, kenapa bisa begini",
"Oh kalo itu, begini Pak..",
.............................
"Oh sudah tidak benar kalo begitu, masa hanya begini !",
"Iya, Pak.. begitulah kesepakatannya",
...............................
"Ah, tidak benar ini, saya akan konfirm ke media-media, saya tidak terima.."
...............................
...............................

Pembicaraan pun selesai, karena pertanyaan yang diajukan sudah tak ada lagi. Jawaban yang kami berikan pun telah cukup memberikan penjelasan. Namun, ketidakpuasan tetap tampak di wajah klien tadi. Inilah yang membebani pikiran saya kemudian. Ditambah lagi oleh ancaman dari klien tersebut yang mengatakan akan mempengaruhi teman-temannya untuk tidak lagi memakai jasa dari kami pada periode kontrak berikutnya.

Sepanjang perjalanan kembali ke kantor, hasil pertemuan dengan klien tersebut terus membebani pikiran ini. Disatu sisi, pelayanan terhadap klien adalah yang kami utamakan. Namun disisi lain, terkadang ada beberapa klien yang tidak memahami dan mencoba menutup mata terhadap butir-butir kerjasama yang telah disepakati.

Setiba di kantor saya melaporkan ke pihak atasan tentang hasil pertemuan saya dengan klien tadi. Dari laporan saya, pihak atasan bisa memahaminya. Dan tanpa sadar ternyata, hari sudah sore dan saya belum shalat Ashar. Saya mengambil air wudhu, menunaikan shalat. Selesai sholat, pikiran ini masih terbebani oleh hasil pertemuan saya dengan klien beberapa saat sebelumnya. Saya tetap duduk di karpet sembahyang, mengheningkan diri dari pikiran yang membebani itu. Lalu, keheningan tadi berubah menjadi bisikan di telinga ini: "Jangan takut jika kau tak salah".

* * *




Selasa, 07 Juni 2011

Di kantor tadi saya marah

Setelah sekian lama, hari ini akhirnya saya bisa marah. Ini bukan marah yang biasa. Walaupun penyebabnya mungkin kecil saja. Bahkan sangat kecil dan tidak pantas untuk menimbulkan marah. Namun, saya ternyata  marah juga. Barangkali karena waktunya yang tidak tepat berhubung hari sudah sangat senja, konsentrasi mulai melebar, stamina telah menyusut, dan pikiran sudah kemana-kemana. 

Hari memang sudah sangat senja. Tapi  ini tidak bisa saya jadikan alasan untuk marah saya itu. Saya marah. Saya merasakan bibir saya tertarik ke bawah. Saking kuatnya tarikan itu menyebabkan kedua otot pipi saya juga ikut tertarik. Tarikan itu begitu terasa, begitu nyata.

Untuk beberapa saat, dalam beberapa kata, saya mengungkapkan kemarahan saya itu. Agar marah saya menemukan jatidirinya, maka suara saya keraskan beberapa desibel dari suara biasanya, tekanan darah saya tinggikan beberapa mmHg, dan sakit hati saya sakitkan beberapa arghhhh...

Setelah marah saya itu terlaksana, perasaan sedikit terasa plong. Namun, dalam hati ini  belum sepenuhnya mereda. Pada tahap ini fungsi logika saya sudah bisa berjalan ke arah normal. Saya mulai menyelidiki. Saya menelusuri kembali lorong-lorong waktu yang saya pakai untuk marah tadi. Menelusuri kembali saat terjadinya penyebab marah saya itu. Kenapa saya bisa marah, bahkan dengan tingkatan marah yang bukan biasa? Kenapa bisa? Kenapa?

Pada ujung penelusuran itu saya menemukan bahwa pengetahuan lebih yang saya miliki adalah penyebab utamanya. Saya merasa lebih tahu prosedur kerjanya, saya merasa lebih tahu aturannya, dan saya merasa lebih tahu etikanya. Dan disebabkan oleh rasa lebih tahu itulah, maka marahlah saya. 

Barangkali pengetahuan memang penting, namun di atasnya masih diperlukan kebijaksanaan. Dengan kebijaksanaan ini saya mungkin akan tahu diri. Bahwa ada pohon  lain yang tumbuhnya tak setinggi pohon sendiri. Bahwa semakin tinggi pohon semakin kencang angin yang meniup.

* * *




Kamis, 02 Juni 2011

A short note to start a long weekend

Baru saja terbangun oleh dering panggilan dari Ibu. "Assalamu Alaikum", kataku menjawab panggilan itu. Kepada Beliau saya memanggilnya Mama. Sesekali juga saya memanggilnya Ibu Haji. Seperti biasa obrolan kami melalui telepon adalah seputar bagaimana kabar, lagi bikin apa, dan pembicaraan-pembicaraan lain menyangkut orangtua kepada anaknya dan anak kepada orangtuanya. 

Have a nice day... :D

* * *

Senin, 30 Mei 2011

Bagaimana kita hidup begitulah kita mati

Namanya Dahlan Iskan. Beliau adalah CEO Surat Kabar Jawa Pos dan Jawa Pos Network. Beliau juga adalah Direktur Utama PLN sejak 23 Desember 2009. Saya sekarang mengidolakannya. Apalagi setelah membaca Catatan-Catatannya. Di catatan-catatan itu saya bisa tahu target-target apa saja yang ia cita-citakan sebagai pemimpin PLN dalam membereskan masalah kelistrikan di Indonesia.

Sore tadi setelah membaca sebuah Catatannya tentang pengalaman pribadinya, saya dibuat termenung, merenungi hidup dan orang-orang yang pernah saya kenal. Lalu bertanya, bagaimanakah matiku nanti?

* * *

Kamis, 26 Mei 2011

Jangan ragu untuk tersenyum

Pagi ini kami didatangi oleh seorang petugas pengantar air mineral. Kami termasuk salah satu yang menjadi pelanggan produk air mineral tersebut. Kepada seorang teman, petugas pengantar tadi menyodorkan selembar daftar pertanyaan. Pada bagian atas daftar pertanyaan tersebut tertera tulisan, Survey Kepuasan Pelanggan. Untuk menjawab daftar pertanyaan itu, kami sebagai pelanggan diberikan dua opsi pilihan jawaban. Pertama, PUAS, dan yang kedua, TIDAK PUAS. Untuk jawaban PUAS kami mesti mencentang tanda gambar emotion berwarna biru yang menggambarkan SENYUM, dan untuk jawaban TIDAK PUAS kami mesti mencentang tanda gambar emotion berwarna merah yang menggambarkan MARAH.

Teman yang disodori daftar pertanyaan tersebut sesekali bertanya kepada saya tentang gambar apa yang harus ia centang untuk point pertanyaan-pertanyaan itu. Salah satu point yang ia tanyakan kepada saya adalah pertanyaan: "Apakah dalam air minum yang Anda terima terdapat benda asing?"
Saya bilang kepada teman tadi untuk menjawab apa adanya, menjawab sesuai fakta, dan kalo PUAS, jangan ragu untuk mencentang tanda gambar TERSENYUM, sebab SENYUM itu menyehatkan.

Salam,

Senin, 23 Mei 2011

Semua punya syarat

Ada dua syarat sehingga sebuah lagu bisa disebut sebagai fenomenal, kata Erwin Gutawa. Pertama, liriknya yang punya makna, dan yang kedua, komposisi musiknya yang bisa mewarnai makna dari lirik lagu tadi. Tidak mudah untuk memenuhi kedua syarat ini, namun jika keduanya terpenuhi, maka akan menjadikan album yang memuat lagu tadi terjual hingga melebihi sejuta copy.

Itulah sepenggal kalimat yang bisa saya rekam ketika malam ini baru saja menonton acara Harmoni di SCTV. Di acara itu ada 13 lagu Fenomenal yang diiringi oleh orchestra yang dikonduktori oleh Erwin Gutawa. 

Di depan televisi dengan lampu yang telah dimatikan saya menonton sendirian. Rasa kantuk yang semula menyelimuti, perlahan sirna. Di acara itu ada Kikan, ada Fadly, ada Slank, ada Sammy, ada Afgan, ada Lea Simanjuntak, dan ada vokalis Blackout, Azizi. Mereka bernyanyi, namun dengan lagu yang dipopulerkan bukan oleh mereka., kecuali Slank yang menyanyikan lagu mereka sendiri. 13 lagu itu dinyanyikan dengan aransemen yang berbeda dengan ketika dinyanyikan oleh penyanyi aslinya. Oleh aransemen berbeda itu, sekali waktu saya dibawa terhanyut oleh gesekan biola, sekali waktu saya dibuat tersentak oleh pukulan drum, sekali waktu saya dibuat tertegun oleh petikan gitar, irama seruling, terompet. Semuanya campur aduk dalam harmoni bunyi-bunyian berbagai alat musik yang mengiringi lagu yang liriknya mengena dan menyentuh. Saya terhanyut. Saya tersentak. Saya tertegun. Saya tersentuh.

Saya menggemari Iwan Fals, namun dalam acara tadi, dalam aransemen musik Erwin Gutawa, saya tak bisa membohongi diri kalau saya menikmati semuanya. Terlebih lagi lagu penutupnya adalah lagu Bento karya Iwan Fals. Lagu ini dinyanyikan dengan garang oleh Azizi, vokalis Blackout. Saya tak bisa membohongi diri. Saya menikmati semuanya. Apakah ini akibat fenomenalnya lagu-lagu tersebut seperti yang dikatakan oleh Erwin Gutawa? Ah, bisa jadi. Dan itu pasti karena dua syarat yang tadi, yang terpenuhi.

Setelah acara itu selesai, saya kembali ke kamar. Saya mengetikkan sebuah judul untuk tulisan ini "semua punya syarat". Untuk diakui sebagai fenomenal, selalu punya syarat memang. Dibidang apapun itu, profesi apa pun itu. Syarat itulah yang akan kita penuhi untuk memantaskan diri sebagai fenomenal dibidang kita masing-masing. Belum terlambat. Belum. Mumpung hari masih Senin.. :D

Senin, 16 Mei 2011

Menguatkan Kekuatan

Di kantor, saya punya seorang teman. Kami biasa memanggilnya Sam. Setiap hari dia mesti datang paling awal dan pulang paling belakangan. Sam mempunyai tugas  menyiapkan segala kebutuhan staf kantor sedemikian sehingga  para staf merasa nyaman untuk beraktifitas. Mulai dari membersihkan ruangan, mengelap debu di atas meja kerja, menyiapkan keranjang sampah di beberapa sudut ruangan, hingga menyiapkan teh atau kopi hangat dan segelas air putih untuk masing-masing staf. Untuk urusan teh dan kopi hangat ini, si Sam menyiapkannya dua kali, sekali dipagi hari dan sekali disore hari.

Selain tugas-tugas pokok tadi, si Sam juga mempunyai tugas lainnya. Memfotocopy berkas-berkas kantor yang akan diarsipkan, dan membayar tagihan kantor. Jika ada staf yang datang ke kantor dan  belum sempat sarapan, maka biasanya si Sam ini yang akan diminta untuk membelikan sarapan buat si staf tadi. Tidak jarang pula si Sam diminta untuk membantu urusan-urusan pribadi para staf kantor. Harus kesana dan harus kesini.

Lalu, pada suatu sore setelah jam kerja, kami menonton sebuah film yang begitu imajinatif. Di film itu ada tokoh yang bertangan empat. Menonton film ini, saya berkata kepada si Sam, bagaimana seandainya jika si Sam juga bertangan empat? Saya berpikir pasti pekerjaannya akan lebih mudah. Misalnya dipagi hari, sepasang tangan menyiapkan teh hangat dan sepasang lagi menyeduh kopi.

Namun, si Sam punya keinginan lain. Seandainya bisa, katanya, maka kelebihan yang ingin ia miliki adalah kemampuan untuk berada disuatu tempat hanya dengan memikirkan tempat itu. Misalnya, kalau ia diminta ke bank untuk membayar tagihan, maka ia cukup memikirkan bank itu lalu tibalah ia di bank tadi. Ia tidak butuh kelebihan yang lain, seperti itu sajalah, katanya. Itu akan memampukan ia untuk menolong pekerjaan banyak orang, katanya lagi.

Wajar saja menurut saya, jika si Sam menginginkan seperti itu. Karena memang ssering kali ia harus mobile untuk mengerjakan dan mengantar ini itu kesana kemari.

Saya pun secara pribadi sering menginginkan punya kelebihan-kelebihan yang tidak saya miliki kini. Kelebihan-kelebihan yang barangkali jika saya mulai mempelajarinya sekarang maka waktunya telah terlambat, dan barangkali bakat saya tidak ada disitu.

Untuk itu, daripada fokus terhadap kemampuan yang tidak saya miliki, lebih baik saya menguatkan kemampuan yang sudah ada pada diri ini. Salah satunya seperti ini, menulis. Selamat menulis.

* * *

Jumat, 29 April 2011

Saat malam berada di tengah


hujan tengah malam
menambah melarutkan malam
rintik saja turunnya, tatkala
saya dan sunyi masih terjaga

Rabu, 27 April 2011

Semoga besok masih ada

Akhir-akhir ini saya tak selalu bisa untuk cepat tidur. Ada saja pikiran yang mengganjal ketika hendak memejamkan mata. Dan pikiran yang mengganjal itu, lebih banyak didominasi oleh soal-soal pekerjaan. Dari yang remeh-temeh, hingga yang punya tetek-bengek. 

Dari persoalan-persoalan yang remeh-temeh dan punya tetek-bengek itu, kebanyakan didominasi oleh perasaan-perasaan ketakutan. Kadang-kadang saya berharap kalau-kalau waktu sehari bisa diperpanjang agar lebih dari 24 jam.

Akhir-akhir ini saya memang tak bisa tidur cepat. Ada banyak pikiran yang mengganjal. Dan ketika bisa tertidur saya sudah tak ingat lagi, apakah saya telah berdoa atau tidak. Saya tak ingat lagi, sama dengan tak ingatnya saya bahwa besok bisa saja saya tak akan pernah terbangun lagi.

Senin, 25 April 2011

Ujian Kenaikan Kelas

Hari ini kami menelepon ke kantor atasan. Perihal yang kami tanyakan adalah soal penilaian kinerja bulanan kami sebagai kantor cabang. Dalam daftar penilaian yang kami terima itu, kami menemukan adanya ketidaksesuaian data dengan kinerja yang telah kami laporkan setiap bulannya.

Kami melakukan cross check ke kantor atasan perihal ketidaksesuaian itu. Kami mencari tahu siapa yang bertugas menerima dan menindaklanjuti laporan dari kantor cabang. Kepada staf kantor atasan yang menangani laporan tersebut kami menanyakan data mana yang ia pakai buat menganalisa dan menilai kinerja kantor cabang kami.

Jelas saja kami tidak terima dengan penilaian yang dikirimkan ke kami. Sebab, data-data yang dicantumkan dalam lembar penilaian itu sangat berbeda dengan data yang kami laporkan. Awalnya, staf tersebut bersikeras bahwa data yang menjadi dasar penilaiannya berasal dari data yang kami kirimkan setiap bulannya. Debat telepon pun terjadi. Kami mencoba menguak fakta, sementara suara di ujung telepon sana memberikan jawabannya. Tidak terima dengan jawaban yang diberikan, kami mengajukan pertanyaan berikutnya. Kini, kami lebih spesifik. Kami menanyakan data tanggal berapa yang kami kirimkan, dan oleh siapa, sehingga telah menjadi dasar oleh pihak kantor atasan untuk membuat penilaian. Tersebutlah sebuah nama dari pihak kami. Nama yang tersebut diminta untuk memberikan keterangan. Namun nama yang tersebut itu menunjukkan keyakinannya bahwa data yang dikirimkannya telah sesuai. 

Debat telepon masih berlangsung. Dari pihak kami telah hampir pasti menjatuhkan vonis bersalah kepada staf kantor atasan tadi. Mesti ada yang mengaku siapa yang salah sebelum gagang telepon ditutup. Dan sebelum si bersalah mengaku maka debat masih akan terus berlangsung. Fakta nampaknya mulai terkuak. Kami telah memegang data-data arsip dari laporan yang telah kami kirimkan. Bukti telah jelas. Staf tadi perlahan merendahkan suaranya. Dalam suara yang rendah itu, ia akhirnya mengaku. Kesalahan ada pada pihaknya. "Kalau begitu, kirim ulang saja laporan itu, biar kami membuatkan koreksinya", begitu kata staf tadi mengakhiri pembicaraan.

Namun, persoalannya tidak selesai sampai disitu. Secara pribadi saya berpendapat bahwa kejadian ini mesti mendapatkan kritik dan perbaikan. Mesti ada mekanisme saling kontrol. Jangan mentang-mentang kantor atasan, maka menjadi anti-kritik. Inilah yang saya sebut dengan saling menghormati dan menghargai job masing-masing. Perihal mengirim ulang laporan adalah perihal gampang. Memang laporan itu hanya beberapa lembar saja. Namun data-data yang ada di laporan itu adalah hasil peras keringat dan putar otak dari tim kerja kami yang ada di kantor cabang. Ini pelecehan! (maaf, saya agak keras pada kalimat ini) Saya ulangi, ini pelecehan. Kesalahan data yang menjadi dasar penilaian buat kami adalah sama dengan tidak adanya penghargaan terhadap kinerja yang telah kami lakukan. Jadi, permasalahan tidak selesai dengan hanya mengirimkan ulang data-data yang dibutuhkan. Tidak selesai sampai disitu, Bung.

Tapi sudahlah, toh kau sudah mengakui kesalahanmu. Semoga kami pun dapat memakluminya. Bukankah dengan begini, berarti kita terus dapat belajar?

* * *

Sampai disini, saya tetap masih percaya bahwa pengalaman adalah guru yang terbaik. Saya yakin, bahwa jika kami bisa belajar dari kejadian hari ini, maka kami akan naik kelas, baik sebagai individu maupun sebagai institusi. Benarlah apa yang dikatakan para bijak bahwa setiap tempat adalah sekolah, setiap orang adalah guru, dan setiap waktu adalah belajar.

Salam Sukses Selalu :)

Minggu, 24 April 2011

Mengayuh pedal dan mengalirkan peluh agar tak terjatuh


Telah dua minggu ini, bersepeda lagi telah menjadi salah satu aktifitas saya mengisi akhir pekan. Sepedanya bukan sepeda baru. Saya membelinya dari seorang teman yang sudah punya sepeda baru.  Ya, saya menyebutnya bersepeda lagi sebab bersepeda pernah saya tekuni ketika smp dulu

Setelah sekian lama, saat minggu lalu untuk pertama kalinya bersepeda lagi, kaki ini terasa berat untuk mengayuh pedal dan mendaki jalan menanjak. Cara saya mengayuh belum selincah waktu dulu. Namun ketangkasan memainkan setang setir menghindari lubang di jalan nampaknya masih saya miliki. 

Minggu ini kembali saya bersepeda lagi. Tanjakan yang minggu lalu terasa berat saya daki, kini sedikit mudah saya lalui. Minggu depan barangkali, saya akan kembali bersepeda. Saya kembali akan menguji tanjakan yang saya lewati dalam dua minggu ini. Menurut teori, tantangan yang sama jika dihadapi untuk kedua kalinya maka akan terasa lebih ringan.

  


Senin, 11 April 2011

Kepada siapa kami mengadu?

Besok dan lusa, hari yang menantang
Tuhanku, hanya kepada-Mu kami mengadu
Semoga waktu mewariskan dewasa

* * *

Sabtu, 02 April 2011

Sungguh ...



Seorang teman mengeluh kepada saya,

“Mengapa ya kalau saya menundukkan kepala lalu mengangkatnya beberapa saat kemudian, mata saya menjadi berkunang-kunang?”

Ditanya seperti itu dengan kapasitas saya yang bukan seorang dokter tentu saja membuat saya tidak bisa menjawab secara pasti. Namun, berdasarkan pengalaman orang-orang yang saya dengar bahwa gejala seperti itu boleh jadi adalah gejala kurang darah atau tekanan darah rendah.

Analisa saya:
Pada saat teman tadi menundukkan kepala, pembuluh darah yang ada di leher tertekuk. Karena tekanan darahnya rendah, maka darah yang dipompa dari jantung untuk diteruskan ke kepala menjadi terhambat oleh adanya tekukan atau lipatan pembuluh darah di daerah leher. Dengan begitu pasokan darah ke kepala menjadi berkurang, sehingga menjadikan fungsi organ-organ yang ada di bagian kepala menjadi tidak maksimal. Salah satunya adalah mata yang berkunang-kunang.

Dengan analisa seperti itu, saya menjawab kepada teman tadi,

“Barangkali gejala kurang darah, Pak !”

Mendengar jawaban saya, teman tersebut mengiyakan namun dengan kurang yakin. Teman saya lalu bercerita kalau sudah dua malam dia selalu tidur lebih larut dari biasanya dan bangun pagi terburu-buru.

Saya langsung menginterupsi dan bilang kepada teman tadi bahwa biang kerok dari mata berkunang-kunang yang dialaminya, hampir pasti adalah karena aktifitas tidur yang terlalu larut malam itu. Dan saya menyarankan dengan sedikit mencandai dia bahwa kalau pagi jangan langsung buru-buru bangun. Biarkan dulu nyawa kembali seratus persen. Berikan waktu kepada tubuh untuk melakukan booting (pembacaan memory; istilah komputer). Jangan sampai karena terburu-buru bangun menyebabkan sebagian nyawa belum sempat masuk ke dalam tubuh dan tertinggal di tempat tidur.

“Ah, sambarang kau”, jawab teman saya dengan terbahak-bahak.

 * * *

Akhirnya, pagi ini saya mengucap syukur karena telah dihidupkan kembali dari mati kecil saya semalam. Lagi-lagi saya masih diberi waktu untuk meraih impian-impian yang belum terwujud. Walaupun saya tahu, sering kali kewajiban-kewajiban kepada-Nya tidak saya laksanakan. Sungguh, rahmat Allah untuk seluruh alam.

Selamat berakhir pekan.

Rabu, 30 Maret 2011

Senyum Tanggal Muda

Bagaimanakah?
Beginikah?
Begitukah?
Ah, terserah kaulah!

* * *

Kamis, 24 Maret 2011

Maka menulislah saya

Aku tak ingin mengingini
setelah mati aku nanti
kau hanya mendapati namaku
hanya pada batu nisanku

* * *

Minggu, 20 Maret 2011

Sihir optimisme


Agenda pertama saya hari ini adalah mencuci. Ketika bangun pagi, melalui jendela saya dapat melihat kalau langit sedang mendung. Mungkin saja hujan akan turun. Walaupun begitu, agenda mencuci tadi harus selesai, mesti tuntas. Saya berharap matahari mau mengintip dari balik awan dan memberikan sinarnya. Dan saya optimis harapan itu akan terwujud.

Maka mulailah saya memilih pakaian yang akan dicuci, beberapa baju dan beberapa celana. Saya mengambil deterjen bubuk, mencari ember menuang air, menakar deterjen secukupnya lalu melarutkannya ke dalam air. Setelah itu memasukkan satu persatu pakaian ke dalam larutan tadi. Rendam beberapa menit, kemudian kucek, lalu bilas dengan air bersih. Begitu petunjuk yang saya temukan pada kemasan deterjen. Saya patuhi petunjuk itu dan tidak berapa lama mencuci pun selesai.

Langit tetap saja mendung. Namun saya bersyukur karena tidak sampai turun hujan. Dan cuaca nampaknya akan memihak kepada saya. Di langit timur sana saya melihat matahari mengintip malu-malu dari balik awan. Harapan saya mulai terlihat. Dengan rapi saya mengatur cucian tadi pada tali jemuran di sisi rumah.

Menit berganti menit. Matahari masih saja malu-malu menampakkan diri seutuhnya. Lama-lama sikap malu-malu tadi berubah menjadi sikap menutup diri. Kini, langit menjadi gelap. Rintik-rintik mulai menjejak di tanah dan menimbulkan bunyi tik-tik di atas atap. Ini pertanda bahwa cucian di jemuran harus dipindahkan ke tempat yang lebih aman, lebih strategis. Tempat yang tidak terkena hujan, namun cukup memberi ruang agar pakaian bisa diangin-anginkan.

Dan benar saja, strategi mengangin-anginkan tadi berhasil. Hingga saat tulisan ini dibuat, beberapa pakaian itu telah saya pindahkan ke dalam rumah. Tak ada lagi air yang menetes. Memang belum kering seratus persen, tetapi saya tidak perlu khawatir. Saya masih punya senjata pamungkas. Ya, setrika akan merampungkannya dan besok pagi pakaian itu akan siap untuk dikenakan. 

Begitulah. Di bawah langit yang mendung selalu ada ruang untuk berharap :)

* * *

Rabu, 16 Maret 2011

bukan BCD (Bunga Citra Destari)


Lintasan pikiran, ide,.. ya, barangkali boleh saja disebut demikian. Saya menemukan tiga kata ini: berita, cerita, derita. Awalnya, saya hanya menemukan dua yang pertama. Setelah sadar bahwa abjad awalnya berurutan, b dan c, kemudian saya mencoba melanjutkan dengan abjad setelahnya. Saya lalu mendapatkan kata yang ketiga: derita.

Tidak puas dengan hanya tiga kata itu, saya mencoba dengan abjad yang lainnya: aerita, eerita, ferita, gerita, herita, ierita, jerita, kerita, lerita, merita, nerita, oerita, perita, qerita, rerita, serita, terita, uerita, verita, werita, xerita, yerita, zerita.

Akhirnya, mengikuti kelaziman yang selama ini didengar telinga saya, tiga kata itulah yang saya pilih. Lagipula letak ketiganya berdekatan, berurutan. Kau pernah mendengar kata-kata yang lainnya, yang sisanya?

* * *

Berita
Dariku, kau mungkin ingin menanyakan berita
Berita itu akan kau dengar sebagai cerita
Mungkin pasti, kau hanya akan suka berita yang baik-baik saja
Sebab berita baik, akan kau racik lagi menjadi cerita

Cerita
Okelah sekarang aku akan bercerita
Cerita tentang derita
Cerita ini aku dapat dari berita
Dari mulut ke mulut, sejak lama kala

Derita
Begini cerita dari mulut ke mulut itu
Katanya jika derita datang padamu
Lihatlah disekitarmu, jangan ke atasmu, menengoklah ke bawahmu
Sebab dengan begitu kau akan menemukan syukur, di derita itu

* * *

Sabtu, 12 Maret 2011

Melaporkan dari Manado

Mungkin saja kau sudah melihatnya di televisi. Berita tentangnya. Tentang gempa yang mengguncang Jepang. Kemarin siang, sekitar jam 3 saya menontonnya. Dalam skala richter kekuatannya 8,9. Kau tahu apa artinya 8,9 itu? Kau tahu? Saya tak tahu pasti. Yang saya tahu setelah membuka Wikipedia, bahwa  kekuatan gempa interval 8,0 sampai 8,9 SR dapat menyebabkan kerusakan serius hingga dalam area  ratusan mil.

Kini, yang jelas, gempa sekuat itu telah menimbulkan gelombang tsunami di lautan Jepang. 600 km per jam kecepatan gelombangnya. Itu berarti sama dengan 10 kali kecepatan motor yang berani saya pacu. Kau bisa membayangkan bagaimana mengendarai motor dalam kecepatan sekencang itu? Saya tak bisa membayangkannya. Saya tak bisa. Saya tidak berani.

Melalui kemajuan teknologi saat ini, berita tentang tsunami di Jepang dengan cepat menyebar, mungkin hampir ke seluruh negara. Satu hal yang perlu saya syukuri, tentunya. Di  setiap stasiun televisi di negeri kita beritanya disiarkan. Saya bisa menonton rekaman gambar yang ditayangkan. Dengan gagah perkasanya, tsunami  menyapu setiap benda yang dilaluinya. Dari tayangan itu saya bisa melihat (pastinya kau juga), kapal-kapal, mobil-mobil terseret bagai perahu kertas. Bahkan ada bangunan yang menyala-nyala ikut terseret dan mengapung di atas tsunami tadi, mungkin kilang minyak, atau apalah.

Setelah Jepang mengalami guncangan gempa dan tsunami menyapu beberapa daerahnya, pihak Jepang kemudian mengirimkan peringatan kepada negara-negara tetangga, tak terkecuali negeri kita, Indonesia.  Dengan kecepatan gelombang 600 km per jam, diperkirakan gelombang tsunami akan mencapai Indonesia pada malam harinya sekitar pukul 20 waktu Indonesia bagian tengah. Daerah-daerah yang  diperkirakan akan terkena imbas dari tsunami Jepang adalah Papua, Maluku Utara, dan Pulau Sulawesi bagian Utara.

* * *

Mungkin saja kau sudah melihatnya di televisi. Berita tentang kepanikan orang-orang negeri kita di tiga pulau tadi. Ya, memang benar. Mereka panik. Salah satu diantara mereka adalah saya.

Hari Jum’at kemarin merupakan hari kerja terakhir dipekan ini. Seperti Jum’at-Jum’at sebelumnya, saya akan berlama-lama berada di kantor, biasanya hingga selepas Maghrib, namun tidak pada Jum’at kemarin. Televisi di sudut ruangan terus memberitakan perkembangan terbaru tentang tsunami di Jepang. Saya dan seorang teman masih membicarakan agenda kerja yang sudah harus siap pada hari Senin nanti. Di luar, di jalan raya, terdengar klakson kendaraan bersahut-sahut. “Hei, kau yang di depan, percepat putaran rodamu!”, barangkali begitu artinya.

Kantor saya berada di kawasan padat lalu lintas, namun mendengar bunyi klakson kendaraan yang melintas di hari kemarin, saya bisa menangkap ada sesuatu yang tidak biasa. Nada klakson itu bukan hanya sekedar berkata: “Hei, kau yang di depan, percepat putaran rodamu!” Bukan, bukan hanya sekedar itu pesannya. Ada warna-warna kepanikan pada nada-nada dari klakson itu.

* * *

Manado memiliki dataran yang bergelombang. Jalan rayanya ada banyak tanjakan dan turunan. Pusat bisnisnya terletak di kawasan Mega Mas, yang diistilahkan dengan BOB (Boulevard On Bussiness). Kawasan BOB ini merupakan daerah yang terletak di pesisir laut. Menurut perkiraan saya daerah ini dulunya laut, kemudian ditimbun, maka jadilah BOB seperti sekarang yang ditumbuhi ratusan gedung perkantoran dan pusat perbelanjaan. Mungkin terlalu berlebihan jika saya menyebut kawasan ini sebagai kawasan Seribu Mall. Sehingga jika kau pernah mendengar 5B yang menjadi daya tarik Manado, maka salah satu B yang dimaksud adalah Boulevard ini.

Kepanikan cukup besar barangkali terjadi di kawasan ini. Apalagi setelah dikabarkan bahwa gelombang tsunami dari Jepang akan mencapai pantai Manado pada pukul 8 malam. Peringatan agar masyarakat bersiap diri dan tidak panik disampaikan Pemerintah setempat melalui Kecamatan, Kelurahan, hingga ke RT/RW. Mobil berpengeras suara diturunkan untuk berpatroli di jalan-jalan, menghimbau dan mengarahkan masyarakat.

Di sepanjang perjalanan saya pulang ke rumah, saya melihat  orang-orang telah ramai bergerombol.  Bersama keluarga, bersama teman, bersama tetangga-tetangga. Semua bersiap-siap, dan tidak sedikit yang sudah bergerak menuju daerah yang lebih tinggi.Pergerakan orang-orang ke daerah yang lebih tinggi terus berlangsung sejak sore hingga mencapai puncaknya menjelang pukul 8 malam.

Menit-menit pun berganti, Pemerintah kita akhirnya mengumumkan mencabut peringatan bahaya yang telah diumumkan sejak sore hari.Tsunami, yang dinanti-nanti, akhirnya tak jadi datang. Mungkin ia lelah setelah bekerja keras di Jepang sana. Mungkin juga ia memilih beristirahat dulu beberapa jenak, menghimpun tenaga untuk berjalan mencapai Indonesia yang beribu mil jaraknya. Tapi kami berharap ia tak sampai datang kemari.

* * *

Sabtu, 05 Maret 2011

Oh, apa yang harus saya jawab?


Apakah laki-laki harus kumisan atau janggutan? Saya rasa, tidak harus. Walaupun demikian, dua hal itu saya miliki kini. Dengan kumis dan janggut, saya bisa mengukur bahwa waktu telah lagi berlalu beberapa hari. Saya tak perlu melihat penanggalan, saya cukup meraba di kedua tempat tumbuhnya kumis dan janggut tadi. Terlambat beberapa hari saja mencukurnya, bisa membuat waktu di wajah ini seakan berlari  cukup jauh  di depan. Seperti ketika saya menulis catatan ini.

Kumis, janggut, laki-laki. Kau tak harus punya dua yang pertama untuk disebut laki-laki. Tapi saya punya, kumis dan janggut. Dua hal yang selalu memberitahu saya bahwa  bukan sedikit waktu yang telah saya  pakai untuk meniti umur-umur kehidupan ini. Berbicara waktu, lalu kau mungkin akan bertanya tentang pencapaian, kepada saya.

Oh, kepada saya, apa yang harus saya jawab?

* * *

Sabtu, 26 Februari 2011

Cuaca lagi bersahabat

1

Perkenalkan, nama saya Hujan, nama kamu siapa? Nama saya Kemarau. Setelah perkenalan itu lalu mereka saling bertukar payung dan kipas.

2

Perkenalkan, nama saya Kipas, nama kamu siapa? Nama saya Payung. Setelah perkenalan itu lalu mereka berpisah. Kipas dibawa oleh Hujan, Payung dibawa oleh Kemarau.

* * *

Sabtu, 19 Februari 2011

kamarku kebanjiran

Ada buku-buku yang belum selesai saya baca. Ada botol-botol air mineral yang telah kosong. Ada baju-baju yang bergantungan, pada tali, pada belakang pintu, pada dinding. Ada dua pasang sepatu, di sudut sana tepat di belakang pintu. Ada sebuah gelas, sebuah sendok, sebuah piring.

Ketika itu saya tak ada disini, di kamar ini. Ketika, menurut orang-orang, hujan turun dengan sangatt deras. Tiba-tiba saja air telah mengalir dari jalan raya, masuk ke halaman, kemudian dengan pasti masuk ke dalam rumah melalui pintu depan. Lalu, tanpa mengucapkan permisi memasuki ruangan-ruangan di dalam rumah. Tak terkecuali kamarku ini.

Saat itu saya ada di kamar ini. Setelah sebelumnya saya turun dari menumpang motor dengan seorang teman. Setelah sebelumnya saya diberitahu bahwa air hujan tiba-tiba saja membanjir. Saya tidak ingin langsung mempercayai kata orang-orang. Saya bergegas memasuki rumah, menuju kamarku membuka pintunya, dan... oh.. gelap. Eh, tunggu dulu lampu belum dinyalakan.

Ada buku-buku yang belum selesai saya baca, basah. Ada botol-botol air mineral yang telah kosong, berserakan. Ada baju-baju yang bergantungan, pada tali, pada belakang pintu, pada dinding. Ada dua pasang sepatu, di sudut sana tepat di belakang pintu, terhempas dan basah. Ada sebuah gelas, sebuah sendok, sebuah piring, terkotori.

Saat itu saya ada di kamar ini. Menyisingkan lengan baju, mencari ember, mencari kain lap. Air dituang ke dalam ember. Kain lap dicelupkan, diperas. Dari ujung ke ujung, dari sudut ke sudut, pembersihan dilakukan. Diulang sekali, sekali lagi, lalu sekali lagi, sampai berkali-kali.

Saat ini saya ada di kamar ini. Ada buku-buku yang masih basah yang belum selesai dibaca. Ada botol-botol kosong air mineral yang telah berbaris rapi. Ada baju-baju bergantungan yang sudah harus dicuci. Ada gelas, sendok, piring yang belum dibersihkan. Sementara di sudut sana, air masih menyisakan genangannya, sisa-sisa pembersihan hari itu.

Karena kejadian itu, saya menambah benda penghuni kamarku. Sebuah rak plastik tiga susun, berwarna pink. Tak ada yang saya sesali dari kejadian hari itu, kecuali buku-buku yang basah tadi. Karenanya rak berwarna pink tadi saya hadiahkan buat mereka. Mereka belum juga kering.

***

Sabtu, 29 Januari 2011

Kerja Belum Selesai

Saya membuka diary
Dalam suatu waktu, seringkali saya
mendapati diriku berada dalam
ruang yang berbeda dengan pikiranku

Terkadang, ketika tersadar ternyata
diri ini berada dalam ruang yang berjarak
beberapa tahun di muka ruang
tempat pikiranku berada

Terkadang pula pikiranku
berjarak beberapa tahun di belakang ruang
tempat diri ini berada

Akhirnya, ketika benar-benar tersadar
ketika diri ini dan pikiran ini berada
dalam satu ruang yang sama
saya mendapati diriku tidak sedang
mengerjakan apa-apa

Belum ada apa-apa
Kerja belum selesai

Sabtu, 22 Januari 2011

Janji akhir pekan

Memenuhi janjiku, pada diriku sendiri. Pada setiap akhir pekan pada rumah mayaku ini, bahwa saya akan berkunjung. Membawa satu buah, dua buah catatan. Memperbaiki letak itu, ini. Menambahkan sesuatu disana, disini. Sambil tak lupa, menengok tetangga kiri, kanan.

Harusnya janji berkunjung itu, tadi malam. Dua pekan sudah seperti itu, kecuali pekan ini. Sehari saya terlambat..

* * *

"Sudah"
"Sudah selesai"
"Saya mau pulang..."

Sabtu, 15 Januari 2011

Laki-laki pilihan Bapakmu

Kau akhirnya menepati janjimu
Kau bilang akan mengenalkan aku
Pada laki-laki pilihan bapakmu, suamimu

Dia memang kaya aku tahu itu
Aku tahu dari maharnya pada keluargamu
Dua petak sawah lima ekor kerbau

Dia juga keluarga bangsawan
Aku tahu pada deretan nama-nama
Pada undangan merah jambu yang kau kirimkan dulu

Dia juga gagah, sudah pasti itu
Saya laki-laki juga tahu, juga bapakmu
Apalagi kau adalah perempuan

Dia juga lebih alim aku tahu itu
Aku bisa lihat diwajahnya yang bercahaya itu
Saat lebih dulu ia mengucapkan salam padaku

Kau beruntung, bapakmu tidak memilihku
Kau beruntung, kau beruntung

* * *

Jumat, 14 Januari 2011

Tentang Teng-Teng

"Apakah kita masih punya alasan untuk tetap optimis dengan kondisi Indonesia hari ini?", kurang lebih seperti itulah bunyi pertanyaannya. Pertanyaan itu saya dengar pada acara radio mingguan Kang Prie GS yang disiarkan Jum'at malam tadi. Acaranya di Smart FM diberi nama Refleksi, jam 19 sampai jam 20 waktu Jakarta.

Demi menjawab pertanyaan itu, Kang Prie mengutarakan beberapa fakta. Dengan ciri khasnya yang suka bercanda itu, disampaikannya fakta itu dalam beberapa kata yang tidak panjang dan lebar.  Sangat singkat, dan intinya bahwa kita masih bisa tetap optimis kepada Indonesia kita ini.

Dan kalau saya pikir-pikir, saya amat-amati dan saya rasa-rasakan memang benar bahwa masih banyak alasan untuk kita tetap optimis kepada bangsa ini. Salah satunya tentang kabar dari kawan yang saya terima sore tadi.

Saya bertemu dengan kawan ini ketika kami sama-sama mengikuti Pelatihan Peningkatan Kapasitas SDM Calon Wirausaha Muda Makassar yang diadakan oleh Kementerian Koperasi dan UMKM, beberapa bulan yang lalu. Di pelatihan itu kami dibimbing tentang bagaimana memulai sebuah usaha, bagaimana menghadapi tantangan yang kerap kali dihadapi wirausaha baru, sampai bagaimana mengembangkan usaha menjadi sebuah bisnis jangka panjang. 

Kawan saya ini, ketika itu, sedang merintis usaha yang dia sebut sebagai ten-tenk spesial. Barangkali karena ada embel-embel spesialnya, makanya tulisannya menjadi ten-tenk. Padahal setahu saya tulisannya teng-teng. Oh, tunggu dulu, tahu ten-tenk kan? Ten-tenk ini merupakan panganan tradisional yang terbuat dari kacang tanah yang diberi gula merah. Kacang tanah tadi disangrai kemudian dituangi dengan larutan gula merah hangat. Kemudian dibentuk dalam model lingkaran yang berdiameter kira-kira 10 cm. Setelah itu didinginkan. Maka jadilah.

(Oh iya, sebelum lanjut, saya hanya ingin bilang kalau cara membuat ten-tenk yang saya tuliskan di atas tadi hanyalah hasil imajinasi pribadi yang saya dapat dari pengalaman saya selama bergaul dengan yang namanya ten-tenk. Namun kalau mau diukur tingkat kepercayaannya, bolehlah sampai 80%.)

Oke, kita lanjut.

Nah, kawan saya ini mengabarkan kalau ten-tenk spesialnya itu (yang sepertinya telah bermetamorfosis dan berganti nama menjadi Ten-tenk Butterfly) berhasil menjadi finalis pertama pada lomba Wirausaha Muda Mandiri 2010 tingkat Propinsi Sulawesi Selatan, Maluku, dan Papua. Dan berhak mengikuti lomba selanjutnya di tingkat Nasional.

Saya jadi teringat the Butterfly Effect yang dikemukakan oleh Edward Norton Lorenz. Bahwa kejadian-kejadian yang terjadi hari ini boleh jadi adalah pengaruh dan akumulasi dari kejadian-kejadian yang lalu. Begitu pun dengan kejadian-kejadian di hari esok.

Ten-tenk Butterfly bukanlah kupu-kupu pertama yang mengepakkan sayapanya. Telah ada beberapa, mungkin puluhan, mungkin ratusan, mungkin ribuan. Dan kepakkan sayap-sayap ini akan terus menjalar, berakumulasi dan memberikan efek. 

Di kabar yang dia sampaikan melalui sms itu, teman saya tadi memohon didoakan, dan berpesan agar kami tetap semangat.
* * *

Sumber foto: google.co.id

Sabtu, 08 Januari 2011

Mengapa Tuhan Menciptakan Warna

Salam. Apa kabar? Semoga baik-baik saja. Saya pun sedang baik-baik saja. Saya berharap ini bukan kata-kata rutin untuk berbasa-basi setelah sekian lama tak berjumpa. Oh, iya.. sekarang saya tidak lagi di kotaku yang dulu. Coba tebak dimana. Ayo, coba.Ya.. ya.. saya lupa, saya lupa kalau di negara kita tercinta ini ada banyak kota. Akan membuang-buang waktu saja jika kita main tebak-tebakan. Lagipula kalaupun tebakan anda tepat belum tentu saya membenarkannya.

Hei, anda harus tahu kalau saya ke kota ini seorang diri. Saya naik pesawat. Ini kelima kalinya saya menaiki benda penemuan Wright bersaudara itu. Ini kota yang sama sekali baru buat saya. Memang sih namanya sudah tidak asing lagi, malah sangat terkenal. Anak SD pasti juga tahu. Saya kasih bocoran sedikit. Kota ini terdiri dari lima huruf. Saya lupa pahlawan siapa yang lahir di kota ini.

Hah, tak usah pusing-pusing. Begitu saja kok repot. Begini saja, soal dimana saya berada tidak begitu penting. Yang jelas sekarang saya sedang bersemangat. Saya ingin bercerita.

Saya sudah bilang tadi kan, kalau saya ke kota ini seorang diri. Namun sebelum saya meninggalkan kotaku yang dulu, saya sudah punya nomor hape siapa yang akan saya temui disini. Hari itu hujan turun sejak pagi. Saya berkemas-kemas. Jam 12.25 pesawat akan berangkat, itu tertera di tiket yang saya pegang. Hujan belum juga reda ketika saya meninggalkan tempat kostku. Saya berpamitan dengan teman-teman di kost-an. Sudah hampir jam 12. Saya naik ke taksi dan bilang ke pak sopir: "Penerbangan jam 12.25, masih dapat, kan?" Pak sopirnya tidak menjawab, mungkin ia ragu.

Di perjalanan menuju bandara saya dililit oleh rasa kedinginan. Oleh dinginnya suhu AC mobil, dinginnya cuaca yang sedang hujan, dan dinginnya aliran darahku yang dihinggapi kegugupan dan ketakutan akan ketinggalan pesawat. Di negara ini, pelayanan umum memang sering menjadi sorotan. Ada banyak hal yang selalu disoroti, salah satunya soal ketepatan waktu. Namun, dihari itu saya berharap agar pelayanan umum tadi tidak usah dibereskan dulu. Biarkanlah begitu adanya. Biarkanlah penundaan-penundaan pelayanan tetap terjadi. Sebab saya masih di jalan, bandara masih beberapa menit lagi.

Beberapa menit kemudian, saya bersyukur. Ketika menyebutkan kota tujuanku, petugas tiket berkata: "Oh, pesawatnya delay, Pak, masih transit di kota anu, belum ada konfirmasi kapan berangkatnya".
"Oh, begitu ya?", jawabku.

Nah, singkat cerita, pesawatnya berangkat. Informasi penundaan penerbangan sudah saya kirimkan kepada seseorang yang akan menjemputku di kota tujuan nanti. Secara fisik kami belum saling bertemu. Namun, melalui telepon kami sudah mengenal warna suara masing-masing. Saat tiba mendarat nanti, bagaimana saya mengenali penjemputku dan bagaimana dia mengenali saya. Ini masalah yang coba saya pecahkan selama di pesawat.

Tiba-tiba, setelah awak pesawat mengumumkan bahwa pesawat telah mendarat dengan selamat, sebuah sms masuk ke hapeku. "Bro, kamu pake baju warna apa?"

* * *