Minggu, 22 Desember 2013

Di Italia ada Inter Milan

Saya mau bilang begini. Kepada sesama kita yang menyukai sepakbola. Barangkali kita tak harus ngefans sama semua klub bola. Satu saja sudah cukup menurut saya. Walaupun ada banyak klub bola yang bagus-bagus. 

Tujuan yang paling masuk akal kenapa kita tak harus ngefans sama semua klub bola yang bagus-bagus itu adalah agar kita tidak selalu begadang setiap minggunya menunggui siaran pertandingan klub-klub itu.

Coba bayangkan, malam minggu sudah ada banyak siaran langsung dari berbagai liga di Eropa sana. Sejak mulai lepas isya sampai menjelang subuh. Besok malamnya lagi, malam Senin, juga tidak kalah banyaknya pertandingan-pertandingan yang disiarkan. 

Itu baru pertandingan akhir pekan. Belum lagi pertandingan tengah pekan, hari Rabu dan Kamis.
Oleh karena itu, memang ada baiknya kita cukup ngefans sama satu klub bola saja.

Eh, ngomong-ngomong di Italia sana ada Inter Milan. Itu kesebelasan fanatik saya. Heheh.

* * *

Iwan Fals - Lagu Satu

Jalani hidup tenang tenang tenanglah seperti karang
Sebab persoalan bagai gelombang
Tenanglah tenang tenanglah sayang
..........

Jumat, 13 Desember 2013

Senyum Sepoi-Sepoi


Senyum sepoi-sepoi itu barangkali seperti angin. Yang masuk dari celah-celah fentilasi di atas jendela kamar kita. Yang menyentuh ujung kaki kita, atau ujung jari kita, atau ujung hidung kita, atau apa saja dari bagian tubuh kita yang lolos dari dekapan selimut saat pagi hampir berlalu.

Senyum sepoi-sepoi itu barangkali seperti angin. Yang berlari di atas pematang sawah. Yang berkejaran susul-menyusul dengan belalang di sela-sela batang padi yang bijinya hampir menguning. Yang singgah di pundak para petani dan berbisik lembut pada telinga mereka, mengabarkan bahwa jam makan siang telah tiba.

Senyum sepoi-sepoi itu barangkali seperti angin. Yang menguapkan peluh di bibir secangkir teh yang sore.

* * *

Rabu, 04 Desember 2013

Apalah Artinya Sebuah Nama

Nama saya Luqman. Tapi saya seringkali dipanggil tidak dengan nama itu. Beberapa teman di kantor ada yang lebih suka menyapa dengan Pak Lucky. Awalnya saya kurang nyaman pada sapaan nama itu. Sebab, saya jadi terdengar lebih tua. Tapi lama-lama, saya pikir-pikir, santai sajalah. Bukannya lucky berarti beruntung? Berarti kalau ada yang menyapa saya dengan Pak Lucky itu sama saja dengan mereka bilang "hai Pak yang beruntung.." Bukankah ada yang bilang nama adalah doa? Kalau begitu setiap kali saya disapa dengan nama itu, maka setiap kali itu juga saya didoakan mendapat keberuntungan. Eh, eh.. tapi jangan lupa, keberuntungan harus pula dibuat mengalir kepada orang-orang di sekitar kita, kepada lingkungan kita.

Tapi seingat kepala ini, panggilan Lucky sepertinya bukan saja baru sekarang saya dengar ditujukan kepada diri ini. Waktu jaman SD dulu, saya juga pernah dipanggil dengan nama Lucky Luke. Waktu itu pas lagi jamannya film Lucky Luke. Seorang koboi yang menggoreng telur di atas batu. Seorang koboi yang kecepatan tangannya memainkan pistol lebih cepat daripada bayangannya.

Kemudian pas SMP, teman-teman memanggil saya dengan nama Luken. Saya tidak tahu juga apa artinya nama itu. Panggilan Luken ini masih lekat sampai sekarang. Terutama oleh teman-teman dekat saya. Kalau suatu waktu kamu mendengar seseorang memanggil dengan nama ini, kamu jangan ragu menduga kalau orang tersebut pastilah teman akrab saya. Aha, beberapa lama kemudian saya mengartikan sendiri nama Luken itu. Lu itu artinya kamu, ken itu asal kata can artinya mampu/bisa, sehingga Luken artinya kamu bisa. Nah, bagaimana? Boleh seperti itu kan?

Eh, ternyata belum selesai sampai disitu. Pas kuliah, saya dapat panggilan baru lagi. Kali ini panggilan itu lebih punya hubungan dengan nama asli saya. Lumbah. Singkatan dari Luqman Bahri. Saya masih ingat, waktu kuliah dulu, dalam satu angkatan saya se-fakultas terdapat 3 orang yang bernama Luqman atau Lukman. Ada Lukman Ali jurusan fisika. Ada Lukman Masnur yang jurusan Matematika. Dan saya yang di Statistika.

Teman saya yang Lukman Masnur tadi kemudian lebih sering dipanggil dengan sapaan Lumas. Sedangkan yang Lukman Ali barangkali tetap Lukman. Atau barangkali, memang sudah budaya kita yang suka mempendek-pendekkan nama panggilan. Teman saya yang lain yang namanya Adi Kurniawan biasa dipanggil Adi Kure. Purnama dipanggil Pure. Ahsan dipanggil Aca. Dan masih banyak lagi.

Kembali ke panggilan Lumbah tadi. Ada beberapa teman yang kalau lagi bercanda biasa memanggil dengan si Lumbah-Lumbah. Tapi anehnya saya tidak marah. Yang pertama, karena mungkin teman saya yang memanggil itu memang teman akrab yang bisa saya candai balik juga. Yang kedua, barangkali karena saya langsung mengasosiasikan kata lumbah-lumbah itu dengan hewan yang hidupnya di air, yang suka menolong itu, yang katanya kalau dalam pelayaran kita melihat lumbah-lumbah berenang di permukaan air maka berarti pelayaran kita akan aman. Saya langsung mengasosiasikannya ke hewan air tadi. Hewan yang suka menolong itu. Sesama teman, bukankah memang harus saling menolong?

Ini masih soal nama pula. Memiliki nama ternyata tidak cukup sampai disitu saja. Kita juga mesti tahu bagaimana memperkenalkan nama kita.

Memperkenalkan nama ini ternyata ada seninya juga. Biar orang yang kita beritahu gampang mengingatnya. Tidak sekedar menyebutkan nama saja.

Tentang seni perkenalan nama ini, saya paling suka cara yang dipakai oleh senior-senior saya waktu kuliah dulu. Cara ini juga yang biasa saya pakai untuk mempekenalkan diri terutama pada acara-acara malam keakraban dengan mahasiswa baru.

Kami biasa memulai perkenalan dengan seperti ini. Nama saya Luqman, lengkapnya Luqman Bahri. Teman-teman biasa memanggil Luqman atau Lumbah, ada yang memanggil Kanda Luqman, ada yang memanggil Kak Luqman, tapi sebenarnya saya lebih suka kalau dipanggil makan.

Biasanya setelah perkenalan singkat itu, suasana menjadi cair. Dari situ barulah kita mulai membahas tentang bagaimana kehidupan kampus itu, bagaimana melewati tahun pertama kuliah, bagaimana mengenal seluk-beluk kampus, dan pembahasan lainnya tentang kampus.

Tapi jujur, tentang apa arti nama Luqman Bahri, mengapa orang tua saya memberikan nama itu, belum sekalipun saya menanyakannya kepada Bapak atau Mamak. Saya hanya menduga-duga, kalau keinginan orang tua saya dengan nama Luqman itu adalah agar saya bisa meneladani seseorang yang di dalam Alqur'an diabadikan namanya menjadi nama sebuah Surah. Seseorang yang menasehati anaknya agar tidak berkata  ah kepada kedua Ibu Bapaknya, apalagi berlaku kasar.

Akhirnya, mereka yang bertanya apalah arti sebuah nama, maka mestilah juga diingatkan pada peribahasa ini:  bahwa manusia mati meninggalkan nama. Dan, nama disini tidak hanya berarti beberapa kata yang tertera di KTP. Nama itu bisa berupa wajah ceria kala menjumpai saudara kita. Menjadi tetangga yang baik. Dan masih banyak lagi.

* * *

Minggu, 01 Desember 2013

Ini Bulan Desember

Baik merangkak, berjalan, berlari, maupun terbang, kita membutuhkan 30 hari lamanya untuk sampai dari pangkal November menuju pangkal Desember. Dan apa-apa yang kita temui di bulan ini pasti selalu ada embel-embel Desembernya. Mulai dari pengingat tanggal di handphone. Karcis yang kita terima dari penjaga parkir mall. Struk belanja. Surat-menyurat di kantor. Struk penarikan uang di ATM. Hingga senyum manis pramugari yang menemanimu pada penerbangan tiga puluh lima ribu kaki di atas permukaan laut.

Ini bulan Desember. Mari lihat apa-apa yang bisa kita petik di bulan ini. Bismillah.

* * *

Rabu, 13 November 2013

Hidup Cuma Rabu-Rabu

Di setiap Sabtu malam tontonlah TVRI. Saya punya acara favorit di malam itu. Acara ini juga pernah populer di TVRI pada periode 1988 hingga 1998. Namanya Berpacu dalam Melodi (BDM). Pembawa acaranya masih tetap sama seperti puluhan tahun yang lalu, Koes Hendratmo. Mas Koes orang memanggilnya.

Usia Mas Koes sekarang sudah 70 tahun. Kalau menghitung ke belakang, ke tahun acara ini pertama kali ditayangkan maka usia Mas Koes pada saat itu baru 45 tahun. Kalau mencoba juga menghitung usia saya waktu itu baru sekitar 4 tahun.

Pada periode 1988-1998 siaran tivi di rumah saya memang hanya TVRI. Jadi sepanjang periode tersebut ingatan saya kepada acara ini begitu melekat. Dan sekarang ketika acara ini kembali tayang dan kembali lagi menjadi salah satu acara favorit saya, itupun karena di kamar kontrakan saya hanya ada tiga siaran tivi yang jernih penangkapan gambarnya. Salah satunya TVRI.

Berpacu dalam Melodi tampaknya memang membidik segmen penonton lama. Penonton lama tersebut barangkali adalah generasi Bapak dan Mamak kita. Dan barangkali pula generasi saya yang pada waktu kecil dulu di rumahnya hanya ada siaran TVRI.

"Kami tidak ingin kehilangan penonton lama, tetapi kami juga ingin rengkuh penonton baru," kata Helmy Yahya, orang lama di belakang BDM yang bersama TVRI menghadirkan kembali acara tersebut. (kompas.com)

Menonton Kuis Berpacu dalam Melodi seperti mengingat kembali masa puluhan tahun dulu. Apalagi bukan saja pembawa acaranya saja, tetapi konduktor musiknya juga masih sama yaitu Ireng Maulana yang kini  sudah berusia 68 tahun.

Saya hafal dan sangat suka dengan kalimat pembuka yang selalu diucapkan diawal acara oleh Mas Koes. "Satu minggu sudah kita berpisah, satu minggu pula usia kita bertambah".

Seandainya saja acara ini selalu tayang setiap minggu sejak pertama kali dulu tahun 1988 hingga 2013 sekarang, maka kalimat pembuka tadi akan sudah diucapkan sebanyak 1.300 kali. Sama banyaknya dengan jumlah minggu sepanjang rentang tahun tersebut.

Izinkan saya mengulang kembali kalimat tadi. Satu minggu sudah kita berpisah, satu minggu pula usia kita bertambah. Tapi nampaknya kita tak mau repot dengan menghitung sudah berapa minggu usia kita bertambah. Kita selalu mengukurnya dengan bilangan tahun. Dengan begitu kita jadi mudah mengingatnya.

Kita memang jadi lebih mudah mengingat usia dengan bilangan tahun. Kita jadi lebih mudah mengingat moment-moment penting dalam hidup ini dengan bilangan tahun. Sama halnya ketika saya mengingat tanggal 11 Desember, karena pada tanggal inilah saya pertama kali mendarat di Manado. Tepatnya 11 Desember 2010. Insya Allah, tanggal 11 Desember nanti genap tiga tahun sudah saya membaktikan hidup di kota ini.

Tiga tahun di Manado, sedikit banyaknya saya sudah bisa akrab dengan aksen dan bahasa disini. Orang-orang disini bilang kalau bahasa Manado itu campur-campur. Ada Belandanya, ada Inggrisnya, ada Indonesianya, ada pula asli lokalnya.

Ada satu kata yang artinya sebentar, yang saya tidak tahu kenapa ia disebut demikian. Kata itu adalah rabu-rabu. Saya kadang menyela ketika ada teman yang bilang, tunggu jo rabu-rabu neh Pak Luqman, (tunggu sebentar ya Pak Luqman). Apa, kau bilang rabu-rabu? Rabu-rabu itu dua hari Rabu, itu satu minggu lamanya. Tapi begitulah. Rabu-rabu itu berarti sebentar. Itulah Manado.

Hari Rabu ke hari Rabu berikutnya itu satu minggu lamanya. Jika kita berpisah hari Rabu ini dan bertemu lagi Rabu pekan depan, maka seperti kata Mas Koes, satu minggu pula usia kita bertambah. 

Kita memang jadi lebih mudah mengingat usia dengan bilangan tahun. Walaupun bilangan usia selalu bertambah setiap saat, bahkan jika kita mampu menghitungnya dengan bilangan detik. 

Sore tadi saya menulis di status BBM. Dari Rabu ke Rabu cuma rabu-rabu, begitu sebentarnya seminggu itu ternyata. (*)

Selasa, 12 November 2013

Bertemu Keheningan

Ada banyak hari yang membahagiakan. Salah satunya adalah ketika kita berhasil melewati sebuah hari yang sangat sibuk.

Sejak bangun pagi, di kepala kita sudah dipenuhi dengan daftar list pekerjaan kantor yang masih harus diselesaikan. Setiba di kantor, belum pula pekerjaan itu kita kerjakan datang lagi pekerjaan berikutnya yang minta untuk diprioritaskan. Okelah kalau pekerjaan itu on the table saja. Tapi kadang-kadang di tengah pekerjaan on the table yang mendesak itu ada pula interupsi-interupsi pekerjaan on the field yang juga membutuhkan prioritas. Maka kita namakanlah hari itu sebagai Hari Sibuk Tingkat Internasional.

Hari ini saya mengalami hari seperti itu. Hari Sibuk Tingkat Internasional sekaligus Hari yang Membahagiakan.

Kalau siang tadi waktu berlari begitu cepat, maka malam ini waktu sepertinya berjalan begitu tenang. Sangat tenang, sampai-sampai saya bisa mendengar dengan jelas setiap tarikan dan hembusan napas sendiri.

Saya jadi ingat kata-kata yang dikutip seorang teman, yang katanya ia kutip juga. "Sesuatu yang tidak membuatmu mati akan menjadikannmu kuat."

* * *



Jumat, 08 November 2013

Para Pencari Uang

Ini jalan menuju pulang
Diujung hari bertemu petang

Ini jalan menuju pulang
Semakin larut semakin lengang

Ini jalan menuju pulang
Adzan dan fajar berkumandang lantang

Inikah jalan menuju Pulang


* * * 

Kamis, 07 November 2013

Belum Banyak Yang Bisa Diceritakan

Diakhir pekan kemarin saya berada di Ternate. Inilah kota yang ketika pertama kali ke sana saya mengira terpencil seperti apa keadaannya. Ternyata saya salah duga. Kalau kemajuan suatu kota ditandai oleh adanya pusat perbelanjaan seperti mall, Ternate punya Jatiland Mall yang cukup besar, sehingga jika berada di dalamnya kita akan lupa sedang berada di kota mana. Desain mall dimana-mana memang mirip-mirip.

Kalau kemajuan suatu kota ditandai oleh bandara yang cukup megah, Ternate punya Bandara Sultan Babullah. Bandara yang sekarang merupakan bandara baru. Saya bertanya ke salah satu cleaning service disana, katanya baru satu bulan dioperasikan. Pekan kemarin adalah kali keempat saya ke Ternate. Terakhir kali saya datang pada penghujung Agustus tiga bulan lalu. Saat itu Bandara Sultan Babullah masih tampak seperti terminal bus. Ruang tunggu penumpang begitu sempit dan sesak. Panas dan gerah hampir tak tertahankan. Tapi ketika kemarin mendarat di bandara yang baru, saya sempat kaget. Ruang tunggu penumpang sangat sejuk dan adem. Lukisan-lukisan indah banyak terpajang di dinding-dindingnya.

Saat ini di Ternate juga sedang booming perdagangan batu bacan. Batu bacan ini adalah batu warna-warni yang dijadikan mata cincin atau mata kalung. Batu ini naik pamornya sejak Presiden SBY menjadikannya cinderamata yang diberikan kepada Presiden Obama. Harga batu ini bisa mencapai puluhan juta rupiah, tergantung jenis dan bentuk ukirannya.

Tapi saya tidak ingin bercerita panjang lebar tentang bagaimana Kota Ternate itu.

Saya hanya gembira saja ketika mendapat tugas berdinas ke daerah lain. Saya jadi bisa sambil menyelam minum air, sambil berdinas sambil bertemu kawan-kawan lama.

Tapi kalau urusan dinas-dinas ke daerah, saya punya seorang teman. Teman ketika kuliah dulu. Ia adalah staf di salah satu kementerian di Jakarta sana. Saya salut dengan teman yang satu ini. Ia memang sering mendapat tugas kunjungan ke daerah-daerah. Hanya saja ia selalu mengajukan agar daerah yang akan dikunjunginya adalah daerah yang ada kawan lama disana. Dan tempat paling jauh di timur Indonesia yang sudah dia kunjungi adalah Manado. Ya, di Manado sini ada si Luqman, pikirnya.

Mendapat kunjungan seperti ini saya pun senang. Kami bisa bercerita kembali ke belakang bertahun-tahun lalu. Bercerita tentang ide-ide besar yang saat itu masih belum berwujud. Hidup ini memang dinamis. Selalu menampakkan perubahan-perubahan. Bertemu kawan lama dan bercerita tentang masa dulu, kita jadi tahu bahwa sebagian mimpi-mimpi dulu, kini telah menjadi nyata.

Tapi saya juga tidak ingin bercerita panjang lebar tentang kawan lama saya yang kerja di Jakarta itu.

Ketika di Ternate kemarin saya menghubungi salah satu kawan kuliah dulu yang telah menetap beberapa tahun disana. Sambil menikmati pemandangan sore pantai Ternate, kami saling bertukar cerita. Kami membahas kemungkinan untuk mengadakan reuni dengan teman-teman yang sepertinya sudah terpencar-pencar dari Sabang sampai Merauke. Sesekali juga kami menyinggung sedikit soal pekerjaan. Oleh teman ini saya ditraktir segelas kopi.

Sampai disini dululah. Saat ini belum banyak yang bisa diceritakan. Mungkin besok atau dilain hari.

* * *

Rabu, 06 November 2013

Catatan Sebelum Pulang Kantor

Catatan ini saya tulis sebelum pulang kantor. Pas semua file di laptop sudah saya save, sudah saya close. Sebenarnya jam pulang kantor sudah dari sore tadi. Barangkali biar dibilang karyawan teladan, makanya hingga lepas maghrib saya masih saja di kantor. Padahal kalau mau dituruti, pekerjaan disini tidak akan pernah ada habisnya seberapa larut pun kita berdiam di kantor.

Bukan memang, bukan supaya mau dibilang sebagai karyawan teladan. Salah betul kalau mengira kami berdiam di kantor hingga malam menjelang adalah untuk menyelesaiakan pekerjaan. Obrolan sore dengan teman-teman palingan yang dibahas adalah soal pertandingan liga champion nanti subuh. Siapa yang bakal menang. Siapa yang tersingkir. Kenapa klub ini sekarang mainnya jelek. Dan banyak lagi obrolan ringan lainnya.

Catatan ini saya tulis sebelum pulang kantor. Makanya ketika ada yang menemukan catatan ini, saya barangkali sudah pulang, sudah tiba di rumah, atau barangkali sudah terlelap tidur. Atau barangkali saya sudah ngantor lagi pada keesokan harinya.

Kalau begitu, marilah kita pulang. Marilah pulang.

* * *

Selasa, 29 Oktober 2013

Sakit Perut

Tidak gampang untuk mengamalkan nasehat bahwa sepertiga bagian perut untuk makanan, sepertiga untuk minuman, dan sepertiganya lagi untuk udara. Memang tidak gampang, apalagi jika segala ongkos prosesi mengisi perut tersebut tidak dibebankan pada isi dompetmu. 

Begitulah kira-kira. Semalam saya ditraktir seorang teman. Ia katanya kebetulan lewat di depan kantor saya. Singgahlah ia. Diajaknyalah saya untuk pergi makan. 

"Tunggulah sedikit lagi, masih ada beberapa file di komputer yang harus saya bereskan. Maghrib sepertinya juga sedang menjelang", begitu pesan saya kepada teman ini.

Sebenarnya makanan yang kami makan tadi malam itu biasa-biasa saja. Menu ikan bakar. Makanan nasional yang gampang sekali ditemui di seluruh tanah air kita ini, tak terkecuali di Manado tempatku bermukim sejak tiga tahun lalu. Hanya saja barangkali yang membedakan menu ikan bakar di daerah satu dengan di daerah lain yakni terletak pada bumbu dan sambal yang menemani ikan bakar tadi. Apalah jadinya ikan bakar tanpa sambal yang menendang.

Saya memang sejak dulu hobi makan dengan sambal. Bahkan sejak sambal itu masih dalam bentuk lombok biji. Barangkali disitulah akar persoalannya. Semalam itu menu ikan bakar kami dipadu dengan irisan tomat mentah ditambah dengan lombok biji yang ditumbuk kasar. orang Manado sini bilang dabu-dabu iris. Pernah dengar kan lagu Pulang Jo yang populer dinyayikan oleh Tantowi Yahya? Baiklah saya kutipkan beberapa lirik di lagu itu. Makan batata ubi kayu, rebus di balanga, colo dabu-dabu kapala ikan, ikan roa.... Pulang jo, pulang jo, biar busu-busu ini kampung sandiri. Nah, cita rasa dabu-dabu itulah yang barangkali akan bisa mengajak orang-orang Manado di perantauan sana untuk selalu pulang.

Hmm, dabu-dabu iris. Semalam saya pasti menyantap terlalu lahap dabu-dabu itu. Saking lahapnya saya jadi menambah lagi sepiring nasi. Lalu akhirnya lupalah saya pada nasehat sepertiga perut tadi.

(Beberapa menit setelah menuliskan catatan ini, saya menemukan diri saya sedang nongkrong di dalam toilet kantor sambil memikirkan hari esok dan entah apalagi, sesekali diselingi bunyi "plung" di dasar kloset)

* * *

Rabu, 23 Oktober 2013

Artikanlah Saja Sendiri!

Tulisan berikut saya kutip dari beranda facebook seorang teman.
"Engkau yang terus tumbuh berpikirlah tentang rubuh. Engkau yang terus terbang berpikirlah tentang hinggap. Engkau yang terus menyelam berpikirlah tentang rembulan." 

* * *




Kamis, 17 Oktober 2013

Hukum Kekekalan Bahagia

Ketika kuliah dulu saya pernah bergabung dengan sebuah organisasi kemahasiswaan. Agar diterima bergabung kami mesti melalui begadang bermalam-malam. Begadang menerima materi pelatihan dasar atau istilahnya basic training. Dimulai selepas Isya dan berakhir menjelang Subuh. Begitu terus hingga beberapa malam. Bisa seminggu barangkali. Tapi memang waktu itu masih fresh-freshnya saya sebagai mahasiswa. Kalau tidak salah ingat sekitar semester 3. Sehingga urusan gadang-begadang masih jagonyalah.

Teman-teman seangkatan saya beberapa orang telah lebih dulu bergabung. Atas bujuk rayu mereka, maka saya pun tertarik untuk mengikuti pelatihan dasar itu. Apalagi kata mereka, pelatihannya tidak dipungut biaya sepeser pun. Malah makan, minum, dan snacknya ditanggung oleh panitia. Wah, bagus juga buat penghematan, pikir saya.

Sejujurnya saya akui, karena mengikuti pelatihan inilah saya jadi suka membaca buku-buku filsafat. Bagaimana tidak, setiap pembicara yang membawakan materi selalu melandaskan teori mereka pada buku "ini" yang ditulis "si ini". Wah, wah, begini toh pengetahuannya orang yang banyak baca. Untuk kampanye gemar membaca, sepertinya mereka berhasil mempengaruhi pikiran mahasiswa baru yang bernama Luqman ini.

Memang asyik juga begadang bermalam-malam dengan dijejali teori-teori filsafat, apalagi selalu terbuka ruang untuk berdiskusi juga berdebat. Sejak itu saya juga jadi suka mengikuti forum-forum diskusi mahasiswa, baik yang formal maupun diskusi-diskusi lepas di kantin kampus.

Dimalam pelatihan itu, kami tiba pada sebuah diskusi tentang Tuhan. Akhh, lihatlah kami makhluk yang terbatas ini mencoba mendiskusikan Engkau yang serba tak terbatas.

"Kita percaya dan yakin bahwa Tuhan itu Maha Kuasa."
"Iya, sepakat!"
"Kalau begitu, bisakah Tuhan menciptakan batu yang tidak bisa diangkatNya?"

Pertanyaan macam mana pula itu, hei. Perdebatan bermunculan. Diskusi pun menjurus panas. Malam yang dingin tak terasa sudah. Pertanyaan itu harus mendapatkan jawaban. Tidak cukup sekedar jawaban. Jangan sampai mempengaruhi tingkat kewarasan kami yang mahasiswa baru ini.

Oke, mari kita tinggalkan pertanyaan yang di atas. Ini masih tentang materi diskusi di pelatihan itu. Bahasannya masih tentang Tuhan. 
"Siapakah Tuhan itu?" 
"Tuhan itu adalah Dia Yang Maha Awal". 
"Dia tidak beranak dan tidak diperanakkan".
"Dia yang menciptakan langit dan bumi beserta segala isinya".
"Dia tidak diciptakan, Dialah Yang Maha Pencipta".

Berbagai jawaban bermunculan. Karena sebagian besar kami yang ikut adalah mahasiswa MIPA, tiba-tiba datang lagi sebuah pertanyaan yang menyentak.

"Kalau begitu, Energi adalah Tuhan. Bukankah Hukum Kekekalan Energi menyebutkan bahwa Energi tidak dapat diciptakan dan tidak dapat dimusnahkan?"

* * *

Sudahlah. Tulisan yang tidak beraturan diatas sebenarnya dipicu oleh ingatan saya pada Hukum Kekekalan Energi itu. Tadi selepas shalat Maghrib saya merenung. Sebenarnya kebahagiaan seperti apa yang kita cari. Bahkan kita selalu meminta kebahagiaan tadi melalui doa rabbana atina itu. Kita mengulang-ulang doa itu setiap hari. Tapi apakah kita menjadi bahagia.

Saya lalu berpikir apakah Hukum Kebahagiaan sama dengan Hukum Kekalan Energi itu. Bahwa bahagia tidak dapat diciptakan dan tidak dapat dimusnahkan. Bahwa bahagia itu hanya dapat diubah dari bahagia yang satu ke bentuk bahagia yang lain.

Ngomong-ngomong tentang bahagia, barangkali ada baiknya kita mencoba mencicipi oleh-oleh khas daerah Gorontalo sana, namanya Pia Bahagia. Makan sebiji kita bisa langsung kenyang. Kenapa ia dinamai Pia Bahagia, mungkin seperti kata teman saya: bahagia itu sederhana, makan lalu kenyang.

Tapi saya tetap percaya bahwa sambil kita selalu berdoa rabbana atina, bahagia itu juga punya hukum kekekalannya sendiri. Ia bisa berupa mendengar suara riang ibu kita diujung telepon sana. Ia bisa berupa menyingkirkan kerikil kecil di tengah jalan. Ia bisa berupa menemukan secangkir teh hangat di pagi yang dingin. Ia bisa berupa apa saja. Seperti kata para bijak: bahagia itu bukan dimana-mana, bahagia itu ada dimana-mana.

* * *


Rabu, 09 Oktober 2013

Saya Baru Tahu


Bertahun-tahun saya berkirim email via gmail.
Saya baru tahu kalau maksimal ukuran file attach yang boleh dilampirkan adalah 25MB.
Saya baru tahu.
Baru saja.

* * *

Selasa, 08 Oktober 2013

Apa Kabar

Seberapa penting pertanyaan "apa kabar" kita tanyakan kepada seseorang? Penting ataupun tidak penting tanyakan saja. Kalaupun menurutmu tidak penting, anggaplah saja itu sebagai basa-basi pembuka percakapan. Kalaupun menurutmu penting, ya, sudah pasti kamu akan menanyakannya.

Tapi, saran saya, tanyakanlah, apalagi kalau percakapan itu lewat pesan blackberry, atau sms.

Saya pernah mengalaminya sendiri. Kejadiannya dengan sesama teman di tempat kerja. Teman ini berkantor di Jakarta. Suatu hari tanpa basa-basi saya mengirimkan pesan melalui blackberry. Kami saling berbalas pesan. Saya menanyakan sebuah surat yang akan kami sampaikan ke nasabah. Surat itu sudah diproses, sudah ada di meja Pak Bos, tinggal menunggu ditandatangani, Pak Bosnya lagi meeting.

Saya minta kalau bisa keesokan harinya, pagi-pagi sekali, surat itu agar dapat diemail ke kantor di cabang kami. Sudah beberapa hari soalnya nasabah kami selalu menayakan perihal surat tersebut.

Pesan blackberry yang saya kirimkan tanpa basa-basi itu disertai pula dengan nada mendesak. Tadinya sapaan "mbak" kepada teman ini dibalas dengan sapaan "mas" kepada diri ini. Dibeberapa pesan balasan, sapaan mas masih selalu melekat. Tapi setelah pesan bernada mendesak tadi, sapaan mas yang terdengar begitu akrab tiba-tiba berganti dengan sapaan "kamu" yang disertai dengan nada yang ketus. Balas membalas pesan pun terhenti. Ada yang salahkah dengan desakan saya.

Lama saya berpikir sebelum akhirnya saya mengirim pesan lagi.
Mbak, tadi itu mbak marah ya.

Mbak lagi capek dan demam.
Tadi waktu luqman bbm lagi di dokter.
Tapi ga marah.

* * *


Minggu, 24 Maret 2013

Ada yang baru

Banyak yang baru di bulan Maret ini. Ada tiga diantaranya.

Yang pertama, saya mendapatkan umur baru, 29 tahun. 

Yang kedua, saya punya blackberry baru. Dulu, sebelum punya blackberry saya biasa bilang ke teman-teman: "nanti saya sms ya.." Sekarang setelah punya, saya cukup saja bilang, "oke, bbm saja kalo ada info".

Yang ketiga saya punya laptop baru. Catatan yang saya tuliskan ini adalah hasil dari ketak-ketik laptop baruku itu.

* * *

Jumat, 01 Maret 2013

Tahu-Tahu Sudah Maret Pula

Sahabat saya pernah memberitahu. Katanya, kalau kita mau tahu bahwa sehari-semalam itu begitu panjang maka cobalah untuk tidak tidur selama 24 jam. Anggaplah saja begini. Kita bangun pagi jam 6, maka cobalah untuk tidak tidur hingga jam 6 keesokan paginya.

Hanya saja begini, kadang-kadang saya ragu apakah benar sehari-semalam itu benar-benar 24 jam? Saya kadang juga merasakan bahwa 24 jam di hari ini sepertinya tidak sama dengan 24 jam di hari yang kemarin. Apakah itu hanya perasaan saya saja? Pada hari yang kadang saya merasa bahwa putaran jam begitu cepat berlalu, saya biasanya bertanya. Jangan-jangan ada tangan gaib yang tiba-tiba memutar jarum jam lebih cepat dari biasanya. Boleh saja putaran jam sehari semalam itu tetap menunjuk angka 24, tapi karena putarannya lebih cepat maka pergantian hari juga terjadi dengan cepat. 

Seingat saya, di pekan yang lalu di malam Jum'at seperti ini saya sedang dalam perjalanan kembali ke Manado setelah dua hari berdinas di Gorontalo. Perjalanan Gorontalo-Manado itu kurang lebih 600 km. Demi menghindari mabuk perjalanan saya memilih duduk di samping pak sopir. Namun ternyata ada resikonya kalau kita duduk di samping pak sopir. Apalagi pada malam hari. Saya ternyata tidak boleh tertidur selama perjalanan. Saya punya tugas untuk selalu mengajak ngobrol pak sopir agar ia tetap terjaga. Kalau pak sopirnya lengah karena kantuk  maka bisa repot urusannya. Apalagi kami yang penumpang sudah harus sampai ke Manado sebelum pagi. Biar lambat asal selamat, namun lebih cepat memang lebih baik.

Perasaan, perjalanan pekan lalu itu baru kemarin terjadinya. Eh, tahu-tahu sekarang sudah hari Jum'at lagi. Tahu-tahu hari ini sudah Maret pula.

* * *

Selasa, 22 Januari 2013

Ini Bukan Fatwa

Kalau pagi hari dirimu berat sekali untuk bangun dari tidur, maka tengok-tengoklah dirimu itu. Boleh jadi dirimu itu sudah lama tidak kau olahragakan.

* * *