Rabu, 18 Maret 2015

Gara-gara Cerita Pohon Bambu

: kepada Saya

Tadi malam seorang Sahabat mengirimkan pesan whatsapp kepada saya. Sahabat ini mengabarkan bahwa per hari kemarin ia resmi diterima bekerja. Ia menyampaikan terima kasihnya kepada saya.

Beberapa hari sebelumnya saya dan Sahabat ini memang sempat berbicara melalui telepon. Hari itu saya yang menelepon. Baru satu kali deringan telepon terdengar, panggilan saya langsung dijawabnya. Saya sempat bergurau: call centre saja yang pekerjaannya menjawab panggilan telepon, kita masih harus menunggu paling cepat dua atau tiga deringan, kalah cepat dari Sahabat saya ini. Tawa kami pun meledak.

Sahabat ini memang mengakui kalau timing saya menelepon saat itu pas sekali. Ada banyak cerita yang mau ia bagi. Makanya panggilan saya langsung dijawab pada deringan yang pertama. Hari itu ia baru saja selesai mengikuti sesi wawancara kerja. Ini tes ketiga. Ia sudah melewati dua sesi tes sebelumnya. Untuk sesi wawancara ini ia tidak yakin akan hasilnya. Disitu ia mungkin merasa galau. 

Dari situ pembicaraan dimulai. Ia bercerita kalau sebenarnya ia telah mengirimkan lamaran kerja ke beberapa perusahaan. Sebuah perusahaan yang bergerak di bidang saham sudah menerima salah satu lamarannya. Hanya saja karena proses tes, wawancara dan keputusan diterima-tidaknya yang terbilang cepat, Sahabat saya ini jadi ragu, kok secepat dan semudah itu ia bisa diterima bekerja. Akhirnya ia justru menolak kesempatan bekerja disana.

Ia juga sempat diundang wawancara oleh sebuah perusahaan properti yang pasarnya berada di Australia. Perusahaan ini membidik  orang Indonesia sebagai pembeli. Katanya, banyak orang Indonesia yang suka memiliki aset properti di Australia. Makanya dibutuhkan tenaga marketing untuk memasarkannya di Indonesia. Di perusahaan ini Sahabat saya itu hanya sampai pada wawancara awal saja. Karena sebelum dia sudah ada beberapa orang yang diwawancarai juga. Sudah ada kandidat yang akan diterima. Dari wawancara ini Sahabat saya justru senang. Sebab, walaupun ia tidak jadi kandidat yang akan diterima, tetapi si Pewawancara suka dengan cara berkomunikasi Sahabat saya. Makanya si Pewawancara dengan berat hati dan meminta maaf lalu berjanji akan merekomendasikan Sahabat ini ke perusahaan yang menjadi kenalannya.

Pembicaraan berlanjut lagi. Sahabat ini meminta pendapat saya tentang bagaimana bersetia terhadap pekerjaan yang sedang kita jalani sekarang, dan bagaimana menghadapi tawaran-tawaran kerja dari tempat lain.

Sejujurnya saya merasa belum punya kapasitas untuk memberikan pendapat untuk pertanyaan-pertanyaan itu. Pengalaman serta lamanya bekerja di perusahaan saya sekarang belum bisa dipakai sebagai dasar untuk menjawab pertanyaan tadi. Walaupun sejak lima tahun lalu sampai sekarang hanya perusahaan inilah satu-satunya tempat saya mengabdikan diri. Memang ada banyak teman seangkatan kerja dengan saya yang memutuskan untuk resign dan memilih bekerja di perusahaan lain karena tawaran gaji yang lebih tinggi. Kesetiaan saya masih perlu diuji. Soal godaan pekerjaan dengan gaji yang lebih tinggi di luar sana saya anggap sebagai rumput tetangga yang selalu lebih hijau. Godaan-godaan itu akan semakin hijau jika kita tidak pernah khusyuk menghayati rumput di halaman sendiri. Lagipula di pekerjaan sekarang saya merasa menemukan rumah.

* * *
Kepada Sahabat tadi, saya lalu menyinggung kisah tentang Plato dan Gurunya.  Cerita tentang pohon bambu. Saya menyampaikan ringkasan cerita ini kepada Sahabat tadi dalam konteks untuk menemukan dan bersetia pada pekerjaan.

Cerita dalam versi yang umum beredar barangkali seperti ini.

Suatu hari, Plato bertanya kepada Gurunya: "Apa itu Cinta? Bagaimana saya bisa menemukannya?"
Gurunya menjawab: "Kau lihat, disana ada ladang gandum yang luas didepan sana. Berjalanlah kamu tanpa boleh mundur kembali, kemudian ambillah satu ranting saja. Jika kamu menemukan ranting yang kau anggap paling menakjubkan, artinya kamu telah menemukan cinta."

Plato pun berjalan ke ladang gandum tersebut, dan tidak lama kemudian ia kembali ke Gurunya dengan tangan hampa. Gurunya pun bertanya: "Mengapa kamu tidak membawa satu ranting pun?"

Plato menjawab: "Karena saya hanya boleh membawa satu saja, dan saat berjalan saya tidak diperbolehkan mundur kembali, tetapi sebenarnya tadi saya telah menemukan satu yang paling menakjubkan, tapi saya berpikir, mungkin ada ranting yang lebih menakjubkan lagi di depan sana, jadi ranting tadi tidak jadi saya ambil. Dan ternyata, ketika saya melanjutkan perjalanan, barulah saya sadari bahwa ranting-ranting yang saya temukan kemudian, tidak sebagus ranting yang tadi. Jadi, akhirnya tidak  sebatang pun yang saya ambil."

Lalu Gurunya menjawab: "Ya, seperti itulah cinta."

Pada kesempatan lain, Plato bertanya sekali lagi pada Gurunya: "Apa itu perkawinan? Bagaimana saya bisa menemukannya?"

Gurunya menjawab: "Kau lihat, ada hutan bambu yang lebat di depan sana. Berjalanlah kamu tanpa boleh mundur kembali, kemudian tebanglah satu pohon saja yang kamu anggap paling bagus.”

Kemudian Plato langsung kembali memasuki hutan. Tidak lama kemudian Plato sudah kembali ke hadapan Gurunya dengan membawa sebatang pohon bambu. Lalu Sang Guru bertanya: “Kenapa kau sudah kembali? Apa kau sudah menemukan pohon yang kau anggap paling bagus? Dan pohon yang kau bawa ini menurutku tidak bagus-bagus amat. Tolong jelaskan ke saya kenapa kau pulang dan memutuskan mengambil pohon ini?”

Plato menjawab: "Sebab berdasarkan pengalaman saya sebelumnya setelah menjelajah hampir setengah ladang, dan ternyata saya kembali dengan tangan hampa. Makanya pada kesempatan ini, saya lihat pohon ini, dan saya rasa tidaklah buruk-buruk amat, jadi saya putuskan utuk menebangnya dan membawanya kesini. Saya tak mau menghilangkan kesempatan untuk mendapatkannya."

Gurunya pun kemudian menjawab: "Dan… Yah! itulah Perkawinan." 

* * * 
Pesan whatsapp yang saya sebut di awal, bunyi lengkapnya seperti ini: "Gara-gara saran Pak Luq.. Tentang teori pohon bambu, hari ini saya resmi bekerja Pak Luq.. Terima kasih sarannya Pak.. hehe." 

Senang rasanya hati ini membaca pesan Sahabat tadi. Saya tidak menanyakan lagi perusahaan mana yang menerimanya bekerja. Saya hanya membalas pesannya: "Alhamdulillah, Aamiin. Insya Allah berkah, Pak.." 

Besok-besok Sahabat ini barangkali akan sering menasihatkan kembali cerita pohon bambu ini. Kepada saya. 

Hidup ini memang perihal nasihat-menasihati dalam kebaikan dan kesabaran. (*)
 

Rabu, 11 Maret 2015

31st

Beginilah cara teman-teman di kantor merayakan ulang tahun saya hari ini.