Sabtu, 15 Mei 2010

Di Kamarku, Di Diriku

Nyamuk-nyamuk mabuk
Dengan perut penuh darah
Otak-otak muak
Dengan dada penuh marah

***

Selasa, 11 Mei 2010

Masyarakat Panjang Umur

Berapa tahunkah bilangan umur seseorang sehingga ia dikatakan berumur panjang? Apakah 40, 50, 60, atau 70? Jika, patokan umur manusia didasarkan pada umur Rasulullah Muhammad SAW (63 tahun), maka seseorang akan dikatakan berumur panjang jika ia bisa menyamai ataupun melebihi umur Rasulullah. Jika memang demikian, bagaimanakah caranya agar kita bisa sampai ke umur panjang itu? Ada banyak cara tentunya. Barangkali bisa dengan memelihara makanan, memelihara tubuh, memelihara pikiran dan memelihara hati. Namun, rahasia berumur panjang ini sebenarnya telah diungkap oleh Rasulullah SAW melalui hadist Beliau yang diriwayatkan oleh Bukhari Muslim: “Barangsiapa yang ingin diluaskan rezkinya dan dipanjangkan umurnya maka hendaklah ia menjalin silaturrahim”.

Saya tertarik untuk menulis perihal panjang umur dan silaturrahim ini, karena minggu lalu dalam beberapa hari saya baru saja mengunjungi kota Sengkang Kabupaten Wajo Sulawesi Selatan. Mengunjungi kota ini, saya menyaksikan pemandangan yang berbeda ketika saya mengunjungi kota-kota lainnya di Sulawesi Selatan. Di kota ini saya menemukan ada banyak sekali toko yang berdiri hampir disetiap sudut kota. Sehingga secara pribadi, saya menjuluki kota ini dengan kota sejuta toko. Aktifitas perdagangan di kota ini juga sangat ramai. Teringat hadist di atas saya lalu membuat asumsi sendiri, bahwa inilah kota yang masyarakatnya akan berumur panjang. Mengapa bisa demikian. Karena dengan aktifitas perdagangannya, maka setiap waktu masyarakat di kota ini akan banyak melakukan hubungan-hubungan dagang dengan pihak lain. Dan hubungan dagang ini akan bisa berjalan dengan baik jika dilakukan dalam hubungan kasih dan sayang (silaturrahim).

Maka, saya berharap akan ada pihak yang bersedia untuk membuktikan asumsi saya tadi bahwa masyarakat Sengkang adalah masyarakat yang berumur panjang. Barangkali mahasiswa yang lagi bingung dalam menemukan topik tugas akhir bisa mengangkat judul tentang hal ini.

***

Alfabet

Alfabet merupakan huruf-huruf yang dikembangkan oleh bangsa Inggris yang didasarkan pada alfabet Romawi yang usianya kira-kira 2.500 tahun. Sebelum alfabet-alfabet ditemukan, manusia menggunakan gambar-gambar untuk merekam peristiwa-peristiwa atau menyampaikan gagasan-gagasan. Sebuah gambar dari beberapa kijang bertanduk dapat berarti “Ini adalah daerah perburuan yang baik”. Jadi, ini sebenarnya adalah suatu bentuk penulisan. Tulisan gambar ini sangat dikembangkan oleh Bangsa-bangsa Babilonia, Mesir, dan Cina Kuno. Lambat laun, tulisan gambar mengalami perubahan. Gambar, bukan hanya berarti obyek yang digambar, tetapi juga mewakili gagasan yang berhubungan dengan obyek yang digambar tersebut. Misalnya, gambar kaki mungkin menunjukkan kata kerja “berjalan”. Tingkat penulisan ini disebut ideografik atau tulisan gagasan. Kesulitan pada jenis tulisan ini adalah bahwa pesan-pesan dapat ditafsirkan oleh orang yang berbeda-beda dengan makna yang berbeda-beda pula. (http://ceritakan.com)

Maka, hari ini saya musti berterimakasih kepada bangsa yang telah menemukan alphabet A-Z itu. Sebab, jika tidak karena mereka, maka saya tak tahu harus menggambar apa untuk sebuah maksud sederhana yang ingin saya tanyakan kepadamu: “Apa kabar?”

***

Kamis, 06 Mei 2010

Adakah ia Di Kotamu

Aku dapat tiba-tiba mencintai suatu kota. Ketika disana aku temukan perempuan-perempuan. Yang membuatku tiba-tiba jatuh cinta. Yang membuatku jatuh cinta diam-diam.

* * *

Minggu, 02 Mei 2010

Akan kuceritakan tentang kotaku

Kepada: Makassar (yang) Tidak Kasar

Saya lahir, bertumbuh, dan bersekolah hingga menamatkan SMU di kota Raha, Sulawesi Tenggara. Setelah itu, saya melanjutkan kuliah ke Makassar. Telah 8 tahun saya berada di kota ini. Ketika dulu mengunjungi Makassar untuk berkuliah saya diberikan sebuah nasehat sebagai bekal merantau. Nasehat ini mungkin terdengar lucu bagi orang-orang yang telah lama menghuni Makassar. Namun bagi kami yang berasal dari sebuah kota kecil, nasehat ini bisa begitu berharga. Disatu sisi, nasehat ini adalah wangsit bagi keselamatan kami. Disisi lain, nasehat ini bisa menghindarkan kami dari cap sebagai orang kampungan.

Nasehat itu berbunyi seperti ini: “Yang pertama kali harus kamu pelajari di Makassar adalah tentang bagaimana menyeberangi jalan. Karena Makassar bukan seperti kota kecilmu Raha. Di kotamu Raha, kamu masih dapat menunggu kendaraan sepi jika kamu hendak menyeberang. Namun di Makassar tidak. Maka pelajarilah cara menyeberang ini, atau kamu akan selamanya berdiri di tepi jalan. Atau jika kamu ingin selamat."

Nasehat ini masih saya ingat. Sebab menurut guru saya, di jalan raya orang bisa tiba-tiba menjadi punya hak untuk terburu-buru. Sehingga dalam keterburu-buruan ini, orang bisa jadi tidak peduli kepada orang lain, apalagi hanya kepada seorang penyeberang jalan. Maka, nasehat ini akan tetap saya simpan dan saya akan mewariskannya kepada anak-anak muda dari kotaku yang kelak akan mengunjungi Makassar.

Sebagai mahasiswa rantau, saya dihadapkan pada keharusan untuk bersosialisasi dan berkenalan dengan teman-teman baru. Dalam berkenalan ini saya juga dihadapkan pada sejumlah pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab. Dan dalam pertanyaan-pertanyaan ini, ada satu pertanyaan yang selalu membuat saya jengkel. Mengetahui bahwa pertanyaan ini bisa menjengkelkan saya, maka saya telah mempersiapkan diri agar tidak jengkel jika saja pertanyaan itu benar-benar ditanyakan. Pertanyaan itu gampang saja sebenarnya. Karenanya, menjawabnya pun juga gampang. Namun, karena kegampangan ini-lah saya selalu saja menemui perasaan jengkel. Jika nasehat mengatakan bahwa dibalik kesukaran ada kemudahan, maka nasehat untuk perasaan saya ini adalah dibalik kegampangan ada kejengkelan.

Kejengkelan saya itu berawal dari pertanyaan ini: “Dari mana kamu berasal?” Hoho... lihatlah betapa sederhananya ia, hanya terdiri dari empat kata. Mendapat pertanyaan ini, kemudian saya akan menjawab “Raha”. Kemudian si penanya akan bertanya kembali “Raha? Dimana itu? Nusa Tenggara?” Lalu, saya akan menjawab lagi, “Bukan, Raha masih di Sulawesi, Sulawesi Tenggara”. Kemudian si penanya tadi akan bertanya lagi, “Sulawesi Tenggara? Kendari ya?” Saya akan menjawab lagi, “Bukan, Kendari itu Ibukota Propinsi, sedangkan Raha ada di Kabupaten Muna”.

Setelah itu biasanya tanya jawab tadi akan berakhir dan menyisakan kejengkelan yang menjengkelkan dalam diri ini. Oh, betapa kotaku itu tidak terkenal memang, tetapi jika ada yang meragukan apakah kotaku itu terdapat di peta Indonesia, maka pertanyaan itu akan menambah penderitaanku yang sejak awal memang sudah menderita dengan kejengkelan-kejengkelan di atas.

Akhirnya, belajar dari pengalaman itu, saya jadi tahu bahwa jika penderitaan bisa berawal dari hal-hal yang sederhana, maka jangan-jangan kebahagiaan juga bisa berawal dari kebaikan-kebaikan yang sederhana.

Tabik ... :))