Minggu, 02 Mei 2010

Akan kuceritakan tentang kotaku

Kepada: Makassar (yang) Tidak Kasar

Saya lahir, bertumbuh, dan bersekolah hingga menamatkan SMU di kota Raha, Sulawesi Tenggara. Setelah itu, saya melanjutkan kuliah ke Makassar. Telah 8 tahun saya berada di kota ini. Ketika dulu mengunjungi Makassar untuk berkuliah saya diberikan sebuah nasehat sebagai bekal merantau. Nasehat ini mungkin terdengar lucu bagi orang-orang yang telah lama menghuni Makassar. Namun bagi kami yang berasal dari sebuah kota kecil, nasehat ini bisa begitu berharga. Disatu sisi, nasehat ini adalah wangsit bagi keselamatan kami. Disisi lain, nasehat ini bisa menghindarkan kami dari cap sebagai orang kampungan.

Nasehat itu berbunyi seperti ini: “Yang pertama kali harus kamu pelajari di Makassar adalah tentang bagaimana menyeberangi jalan. Karena Makassar bukan seperti kota kecilmu Raha. Di kotamu Raha, kamu masih dapat menunggu kendaraan sepi jika kamu hendak menyeberang. Namun di Makassar tidak. Maka pelajarilah cara menyeberang ini, atau kamu akan selamanya berdiri di tepi jalan. Atau jika kamu ingin selamat."

Nasehat ini masih saya ingat. Sebab menurut guru saya, di jalan raya orang bisa tiba-tiba menjadi punya hak untuk terburu-buru. Sehingga dalam keterburu-buruan ini, orang bisa jadi tidak peduli kepada orang lain, apalagi hanya kepada seorang penyeberang jalan. Maka, nasehat ini akan tetap saya simpan dan saya akan mewariskannya kepada anak-anak muda dari kotaku yang kelak akan mengunjungi Makassar.

Sebagai mahasiswa rantau, saya dihadapkan pada keharusan untuk bersosialisasi dan berkenalan dengan teman-teman baru. Dalam berkenalan ini saya juga dihadapkan pada sejumlah pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab. Dan dalam pertanyaan-pertanyaan ini, ada satu pertanyaan yang selalu membuat saya jengkel. Mengetahui bahwa pertanyaan ini bisa menjengkelkan saya, maka saya telah mempersiapkan diri agar tidak jengkel jika saja pertanyaan itu benar-benar ditanyakan. Pertanyaan itu gampang saja sebenarnya. Karenanya, menjawabnya pun juga gampang. Namun, karena kegampangan ini-lah saya selalu saja menemui perasaan jengkel. Jika nasehat mengatakan bahwa dibalik kesukaran ada kemudahan, maka nasehat untuk perasaan saya ini adalah dibalik kegampangan ada kejengkelan.

Kejengkelan saya itu berawal dari pertanyaan ini: “Dari mana kamu berasal?” Hoho... lihatlah betapa sederhananya ia, hanya terdiri dari empat kata. Mendapat pertanyaan ini, kemudian saya akan menjawab “Raha”. Kemudian si penanya akan bertanya kembali “Raha? Dimana itu? Nusa Tenggara?” Lalu, saya akan menjawab lagi, “Bukan, Raha masih di Sulawesi, Sulawesi Tenggara”. Kemudian si penanya tadi akan bertanya lagi, “Sulawesi Tenggara? Kendari ya?” Saya akan menjawab lagi, “Bukan, Kendari itu Ibukota Propinsi, sedangkan Raha ada di Kabupaten Muna”.

Setelah itu biasanya tanya jawab tadi akan berakhir dan menyisakan kejengkelan yang menjengkelkan dalam diri ini. Oh, betapa kotaku itu tidak terkenal memang, tetapi jika ada yang meragukan apakah kotaku itu terdapat di peta Indonesia, maka pertanyaan itu akan menambah penderitaanku yang sejak awal memang sudah menderita dengan kejengkelan-kejengkelan di atas.

Akhirnya, belajar dari pengalaman itu, saya jadi tahu bahwa jika penderitaan bisa berawal dari hal-hal yang sederhana, maka jangan-jangan kebahagiaan juga bisa berawal dari kebaikan-kebaikan yang sederhana.

Tabik ... :))

Tidak ada komentar:

Posting Komentar