Rabu, 13 November 2013

Hidup Cuma Rabu-Rabu

Di setiap Sabtu malam tontonlah TVRI. Saya punya acara favorit di malam itu. Acara ini juga pernah populer di TVRI pada periode 1988 hingga 1998. Namanya Berpacu dalam Melodi (BDM). Pembawa acaranya masih tetap sama seperti puluhan tahun yang lalu, Koes Hendratmo. Mas Koes orang memanggilnya.

Usia Mas Koes sekarang sudah 70 tahun. Kalau menghitung ke belakang, ke tahun acara ini pertama kali ditayangkan maka usia Mas Koes pada saat itu baru 45 tahun. Kalau mencoba juga menghitung usia saya waktu itu baru sekitar 4 tahun.

Pada periode 1988-1998 siaran tivi di rumah saya memang hanya TVRI. Jadi sepanjang periode tersebut ingatan saya kepada acara ini begitu melekat. Dan sekarang ketika acara ini kembali tayang dan kembali lagi menjadi salah satu acara favorit saya, itupun karena di kamar kontrakan saya hanya ada tiga siaran tivi yang jernih penangkapan gambarnya. Salah satunya TVRI.

Berpacu dalam Melodi tampaknya memang membidik segmen penonton lama. Penonton lama tersebut barangkali adalah generasi Bapak dan Mamak kita. Dan barangkali pula generasi saya yang pada waktu kecil dulu di rumahnya hanya ada siaran TVRI.

"Kami tidak ingin kehilangan penonton lama, tetapi kami juga ingin rengkuh penonton baru," kata Helmy Yahya, orang lama di belakang BDM yang bersama TVRI menghadirkan kembali acara tersebut. (kompas.com)

Menonton Kuis Berpacu dalam Melodi seperti mengingat kembali masa puluhan tahun dulu. Apalagi bukan saja pembawa acaranya saja, tetapi konduktor musiknya juga masih sama yaitu Ireng Maulana yang kini  sudah berusia 68 tahun.

Saya hafal dan sangat suka dengan kalimat pembuka yang selalu diucapkan diawal acara oleh Mas Koes. "Satu minggu sudah kita berpisah, satu minggu pula usia kita bertambah".

Seandainya saja acara ini selalu tayang setiap minggu sejak pertama kali dulu tahun 1988 hingga 2013 sekarang, maka kalimat pembuka tadi akan sudah diucapkan sebanyak 1.300 kali. Sama banyaknya dengan jumlah minggu sepanjang rentang tahun tersebut.

Izinkan saya mengulang kembali kalimat tadi. Satu minggu sudah kita berpisah, satu minggu pula usia kita bertambah. Tapi nampaknya kita tak mau repot dengan menghitung sudah berapa minggu usia kita bertambah. Kita selalu mengukurnya dengan bilangan tahun. Dengan begitu kita jadi mudah mengingatnya.

Kita memang jadi lebih mudah mengingat usia dengan bilangan tahun. Kita jadi lebih mudah mengingat moment-moment penting dalam hidup ini dengan bilangan tahun. Sama halnya ketika saya mengingat tanggal 11 Desember, karena pada tanggal inilah saya pertama kali mendarat di Manado. Tepatnya 11 Desember 2010. Insya Allah, tanggal 11 Desember nanti genap tiga tahun sudah saya membaktikan hidup di kota ini.

Tiga tahun di Manado, sedikit banyaknya saya sudah bisa akrab dengan aksen dan bahasa disini. Orang-orang disini bilang kalau bahasa Manado itu campur-campur. Ada Belandanya, ada Inggrisnya, ada Indonesianya, ada pula asli lokalnya.

Ada satu kata yang artinya sebentar, yang saya tidak tahu kenapa ia disebut demikian. Kata itu adalah rabu-rabu. Saya kadang menyela ketika ada teman yang bilang, tunggu jo rabu-rabu neh Pak Luqman, (tunggu sebentar ya Pak Luqman). Apa, kau bilang rabu-rabu? Rabu-rabu itu dua hari Rabu, itu satu minggu lamanya. Tapi begitulah. Rabu-rabu itu berarti sebentar. Itulah Manado.

Hari Rabu ke hari Rabu berikutnya itu satu minggu lamanya. Jika kita berpisah hari Rabu ini dan bertemu lagi Rabu pekan depan, maka seperti kata Mas Koes, satu minggu pula usia kita bertambah. 

Kita memang jadi lebih mudah mengingat usia dengan bilangan tahun. Walaupun bilangan usia selalu bertambah setiap saat, bahkan jika kita mampu menghitungnya dengan bilangan detik. 

Sore tadi saya menulis di status BBM. Dari Rabu ke Rabu cuma rabu-rabu, begitu sebentarnya seminggu itu ternyata. (*)

Selasa, 12 November 2013

Bertemu Keheningan

Ada banyak hari yang membahagiakan. Salah satunya adalah ketika kita berhasil melewati sebuah hari yang sangat sibuk.

Sejak bangun pagi, di kepala kita sudah dipenuhi dengan daftar list pekerjaan kantor yang masih harus diselesaikan. Setiba di kantor, belum pula pekerjaan itu kita kerjakan datang lagi pekerjaan berikutnya yang minta untuk diprioritaskan. Okelah kalau pekerjaan itu on the table saja. Tapi kadang-kadang di tengah pekerjaan on the table yang mendesak itu ada pula interupsi-interupsi pekerjaan on the field yang juga membutuhkan prioritas. Maka kita namakanlah hari itu sebagai Hari Sibuk Tingkat Internasional.

Hari ini saya mengalami hari seperti itu. Hari Sibuk Tingkat Internasional sekaligus Hari yang Membahagiakan.

Kalau siang tadi waktu berlari begitu cepat, maka malam ini waktu sepertinya berjalan begitu tenang. Sangat tenang, sampai-sampai saya bisa mendengar dengan jelas setiap tarikan dan hembusan napas sendiri.

Saya jadi ingat kata-kata yang dikutip seorang teman, yang katanya ia kutip juga. "Sesuatu yang tidak membuatmu mati akan menjadikannmu kuat."

* * *



Jumat, 08 November 2013

Para Pencari Uang

Ini jalan menuju pulang
Diujung hari bertemu petang

Ini jalan menuju pulang
Semakin larut semakin lengang

Ini jalan menuju pulang
Adzan dan fajar berkumandang lantang

Inikah jalan menuju Pulang


* * * 

Kamis, 07 November 2013

Belum Banyak Yang Bisa Diceritakan

Diakhir pekan kemarin saya berada di Ternate. Inilah kota yang ketika pertama kali ke sana saya mengira terpencil seperti apa keadaannya. Ternyata saya salah duga. Kalau kemajuan suatu kota ditandai oleh adanya pusat perbelanjaan seperti mall, Ternate punya Jatiland Mall yang cukup besar, sehingga jika berada di dalamnya kita akan lupa sedang berada di kota mana. Desain mall dimana-mana memang mirip-mirip.

Kalau kemajuan suatu kota ditandai oleh bandara yang cukup megah, Ternate punya Bandara Sultan Babullah. Bandara yang sekarang merupakan bandara baru. Saya bertanya ke salah satu cleaning service disana, katanya baru satu bulan dioperasikan. Pekan kemarin adalah kali keempat saya ke Ternate. Terakhir kali saya datang pada penghujung Agustus tiga bulan lalu. Saat itu Bandara Sultan Babullah masih tampak seperti terminal bus. Ruang tunggu penumpang begitu sempit dan sesak. Panas dan gerah hampir tak tertahankan. Tapi ketika kemarin mendarat di bandara yang baru, saya sempat kaget. Ruang tunggu penumpang sangat sejuk dan adem. Lukisan-lukisan indah banyak terpajang di dinding-dindingnya.

Saat ini di Ternate juga sedang booming perdagangan batu bacan. Batu bacan ini adalah batu warna-warni yang dijadikan mata cincin atau mata kalung. Batu ini naik pamornya sejak Presiden SBY menjadikannya cinderamata yang diberikan kepada Presiden Obama. Harga batu ini bisa mencapai puluhan juta rupiah, tergantung jenis dan bentuk ukirannya.

Tapi saya tidak ingin bercerita panjang lebar tentang bagaimana Kota Ternate itu.

Saya hanya gembira saja ketika mendapat tugas berdinas ke daerah lain. Saya jadi bisa sambil menyelam minum air, sambil berdinas sambil bertemu kawan-kawan lama.

Tapi kalau urusan dinas-dinas ke daerah, saya punya seorang teman. Teman ketika kuliah dulu. Ia adalah staf di salah satu kementerian di Jakarta sana. Saya salut dengan teman yang satu ini. Ia memang sering mendapat tugas kunjungan ke daerah-daerah. Hanya saja ia selalu mengajukan agar daerah yang akan dikunjunginya adalah daerah yang ada kawan lama disana. Dan tempat paling jauh di timur Indonesia yang sudah dia kunjungi adalah Manado. Ya, di Manado sini ada si Luqman, pikirnya.

Mendapat kunjungan seperti ini saya pun senang. Kami bisa bercerita kembali ke belakang bertahun-tahun lalu. Bercerita tentang ide-ide besar yang saat itu masih belum berwujud. Hidup ini memang dinamis. Selalu menampakkan perubahan-perubahan. Bertemu kawan lama dan bercerita tentang masa dulu, kita jadi tahu bahwa sebagian mimpi-mimpi dulu, kini telah menjadi nyata.

Tapi saya juga tidak ingin bercerita panjang lebar tentang kawan lama saya yang kerja di Jakarta itu.

Ketika di Ternate kemarin saya menghubungi salah satu kawan kuliah dulu yang telah menetap beberapa tahun disana. Sambil menikmati pemandangan sore pantai Ternate, kami saling bertukar cerita. Kami membahas kemungkinan untuk mengadakan reuni dengan teman-teman yang sepertinya sudah terpencar-pencar dari Sabang sampai Merauke. Sesekali juga kami menyinggung sedikit soal pekerjaan. Oleh teman ini saya ditraktir segelas kopi.

Sampai disini dululah. Saat ini belum banyak yang bisa diceritakan. Mungkin besok atau dilain hari.

* * *

Rabu, 06 November 2013

Catatan Sebelum Pulang Kantor

Catatan ini saya tulis sebelum pulang kantor. Pas semua file di laptop sudah saya save, sudah saya close. Sebenarnya jam pulang kantor sudah dari sore tadi. Barangkali biar dibilang karyawan teladan, makanya hingga lepas maghrib saya masih saja di kantor. Padahal kalau mau dituruti, pekerjaan disini tidak akan pernah ada habisnya seberapa larut pun kita berdiam di kantor.

Bukan memang, bukan supaya mau dibilang sebagai karyawan teladan. Salah betul kalau mengira kami berdiam di kantor hingga malam menjelang adalah untuk menyelesaiakan pekerjaan. Obrolan sore dengan teman-teman palingan yang dibahas adalah soal pertandingan liga champion nanti subuh. Siapa yang bakal menang. Siapa yang tersingkir. Kenapa klub ini sekarang mainnya jelek. Dan banyak lagi obrolan ringan lainnya.

Catatan ini saya tulis sebelum pulang kantor. Makanya ketika ada yang menemukan catatan ini, saya barangkali sudah pulang, sudah tiba di rumah, atau barangkali sudah terlelap tidur. Atau barangkali saya sudah ngantor lagi pada keesokan harinya.

Kalau begitu, marilah kita pulang. Marilah pulang.

* * *