Minggu, 30 September 2012

30.09.2012. Sehari Tiga Titik

Puncak Gunung Mahawu 1300 mdpl, Tomohon. Hampir tengah hari.

Puncak Minahasa, Kabupaten Minahasa Utara. Menjelang Ashar.

Pantai Firdaus, Kema - Kabupaten Minahasa Utara. Sebentar lagi sore.

Kamis, 27 September 2012

Hari Ini Anak Muda Ini Gajian Lagi

Tanggal dua puluh tujuh datang lagi. Hari ini anak muda ini gajian lagi. Untuk ukuran anak muda gajiku di perusahaan ini cukup besar. Apalagi jika ditambah dengan komisi-komisi bulanan yang juga selalu ada.

Sebelum bekerja di perusahaan ini, saya pernah bekerja mengelola warnet seorang teman. Bekerja di warnet ini waktu itu hanyalah sebagai kesenangan agar tidak menganggur diawal-awal kelulusan kuliah saya. Tidak ada negosiasi gaji. Mendapat jaminan makan setiap hari plus bersenang-senang di depan komputer rasanya sudah cukup. Setelah tanggal dua puluh setiap bulannya barulah kami akan melihat saldo pendapatan warnet. Berapa biaya tagihan rekening listrik dan provider internet, berapa biaya maintenance komputer selama bulan itu, berapa biaya makan dan minum, serta berapa yang harus disisihkan buat membayar cicilan pinjaman. Sisa dari semua pengeluaran-pengeluaran itulah yang akan kami bagi. Di warnet teman ini saya bekerja kurang lebih tujuh bulan lamanya.

Sebelum bekerja di warnet teman tadi, saya pernah bekerja mengelola usaha pangkas rambut. Kami menamainya Pangkas Rambut Mahasiswa Militan. Lokasinya di kompleks kos-kosan mahasiswa. Pelanggan kami sebagian besar adalah mahasiswa. Waktu itu saya juga masih mahasiswa. Prinsip pengelolaan usaha pangkas rambut ini adalah prinsip bagi hasil, fifty-fifty. Ada pihak yang menyiapkan tempat dan peralatan pangkas rambut. Ada pihak yang mengelola sebagai tenaga pangkas rambut. Saya bersama seorang teman yang juga adik tingkat saya di kampus diberikan kepercayaan untuk menjalankan pangkas rambut ini. Karena kami masih berkuliah pangkas rambut ini buka mulai jam empat sore hingga jam sembilan malam.

Bakat menggunting rambut memang sudah mulai saya latih sejak SMA. Ketika itu yang menjadi kelinci percobaan saya adalah adik dan anak-anak tetangga di sekitar rumah. Setelah mulai terampil banyak teman-teman SMA yang mulai mempercayakan rambutnya digunting oleh saya. Pada saat kuliah jam terbang saya pun semakin bertambah. Mulai dari teman-teman mahasiswa di kos-kosan, hingga senior-senior bahkan beberapa junior saya di kampus sering kali merasakan dentingan gunting yang saya mainkan di kepala mereka. Ketika kuliah dulu selain buku-buku, di dalam tas yang saya ranselkan di punggung juga selalu ada gunting dan sisir.

Saya masih ingat, ada seorang teman saya. Namanya Adi Kurniawan. Teman ini sejak kepalanya digunduli pada saat ospek, sejak itu dia tidak pernah lagi menggunting rambutnya. Rambutnya dibiarkan terus tumbuh hingga beberapa tahun setelahnya. Ketika teman ini dipercaya menjadi Ketua BEM di Fakultas rambut panjangnya tetap setia ia pelihara. Saya juga ingat kelakar kami ketika menyinggung-nyinggung tentang rambut panjangnya. Ia selalu bilang selama rambutnya masih gondrong itu berarti suasana hatinya masih merah. Masih ada perlawanan yang harus dilakukan. Ketika suasana hati berubah menjadi merah jambu, pada saat itulah ia baru akan memotong rambutnya. Jika rambut gondrong itu harus dipendekkan, saya minta kepadanya agar urusannya diserahkan ke saya. Dan benar saja, dikemudian hari urusan itu tuntas saya jalankan.

Saya harus berterima kasih kepada teman-teman di kampus. Karena dari mereka-lah kemampuan menggunting rambut yang saya miliki menjadi semakin terasah. Dalam hal menggunting rambut saya selalu mempunyai prinsip bahwa yang digunting rambutnya tidak akan pernah lebih tampan dari yang menggunting. Jangan pernah berharap, hehe. Tentu saja ini hanya candaan saya untuk membangkitkan imajinasi pada gaya potongan rambut yang diminta teman-teman.

Harus saya akui, bekal keterampilan mencukur inilah yang sangat menolong kondisi keuangan saya menjelang akhir-akhir kemahasiswaan saya. Waktu itu perasaan segan dan malu sudah begitu besarnya jika harus selalu meminta kepada Mamak dan Bapak, apalagi dengan kuliah yang belum juga kelar. Pendapatan bagi hasil yang saya peroleh melalui usaha pangkas rambut tadi sudah lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan harian. Sesekali saya pun bisa mentraktir teman-teman. Sejak mengelola pangkas rambut tak pernah lagi ada istilah tanggal tua. Tak pernah lagi ada mahasiswa rantau galau pada tanggal tua.  Kami akan menerima bagi hasil keuntungan pada setiap tanggal satu.

Dua setengah tahun saya mengelola usaha pangkas rambut ini. Enam bulan setelah di wisuda dari kampus, saya minta izin kepada pemilik usaha. Saya ingin mencoba kesenangan baru, mungkin juga tantangan baru. Maka bergabunglah saya dengan beberapa teman mengelola sebuah usaha warnet yang ceritanya sudah saya singgung di atas tadi.

Tanggal dua puluh tujuh datang lagi. Hari ini anak muda ini gajian lagi. Untuk ukuran anak muda gajiku di perusahaan ini cukup besar. Apalagi jika dibandingkan dengan dua pekerjaan yang pernah saya jalani sebelumnya.

Pengalaman bergaul dengan sesuatu yang kita sebut uang telah memberikan pemahaman pada diri ini bahwa uang selalu tak pernah cukup untuk memenuhi keinginan kita. Seberapa pun banyak uang yang kita miliki. Jika hidup ini hanya diukur dengan uang maka kita akan bingung dibuatnya. Karena uang tidak selalu berhubungan linear dengan kepuasan batin.

Uang yang kita miliki tak akan pernah cukup. Sudah seperti itulah tabiatnya uang. Sehingga jangan pernah menunggu cukup untuk membantu sesama. Lihat sekelilingmu, siapa yang butuh dibantu dengan uangmu. Jangan menunggu. Begitu nasehat Bapak saya sebelum melepas saya kembali ke kota ini pada lebaran yang baru lalu.

Untuk ukuran anak muda pendapatanku di perusahaan ini memang cukup besar. Apalagi jika dibandingkan dengan dua pekerjaan yang pernah saya jalani sebelumnya. Jika harus saya sandingkan dengan keinginan-keinginan yang menghuni pikiran ini rasanya uang saya memang tak pernah cukup. Tidak dulu, tidak sekarang.  Di sisi lain, saya pun selalu merasakan perasaan yang sama, perasaan hidup yang lebih hidup setiap kali ada teman yang bisa saya bantu dengan uang yang saya miliki. Apakah ketika masih dulu. Apakah ketika kini.

Barangkali memang ada benarnya nasehat orang-orang suci, memberi itu terangkan hati.


* * *

Rabu, 19 September 2012

Perihal Perempuan Di Kotaku

Siapa bilang malam Minggu adalah malam yang panjang. Saya bilang malam Sabtu atau Jum'at malamlah yang paling panjang. Saya tak perlu memberi tahu alasannya. Anda yang bekerja dari Senin hingga Jum'at dan libur pada Sabtu-Minggu pasti tahu.

Pernah hampir disetiap akhir pekan kami rutin mengunjungi sebuah mall dan nongkrong di salah satu tempat makan yang ada disana. Kami biasanya memilih meja dengan view yang memberikan pemandangan pada jalan masuk pengunjung mall. Pada posisi ini, jika Anda pandai membaca peluang pasar maka Anda akan langsung tahu produk apa yang akan laku keras disini. Ya, kota ini adalah surganya pakaian mini.

Di tempat makan tadi, kalau sedang tak ingin makan saya biasanya memesan secangkir teh. Cangkir teh disitu cukup besar. Dua kali besarnya jika dibandingkan dengan cangkir teh di kantorku yang biasa dihidangkan di atas meja kerjaku. Suatu kali saya mencoba memesan secangkir coklat hangat. Setelah menghabiskannya, saya berbisik kepada teman-teman yang bersama saya waktu itu: "Lain kali saya sudah tahu apa yang akan saya pesan kalau kesini lagi", sambil saya menunjuk cangkir yang telah kosong.

Pernah disuatu kunjungan nongkrong kami berikutnya, kami memilih meja yang agak di pojok. Walaupun agak di pojok namun masih tetap strategis untuk dapat mengamati lalu-lalang perempuan-perempuan berbalut pakaian mini.

Dan, lihat.. beberapa meja di depan sana. Kau lihat? Perempuan itu, yang memakai jilbab itu. Yang duduk sendiri itu. Mungkin saja dia memesan secangkir teh hangat juga, atau mungkin secangkir cokelat hangat.

Di kota ini saya seringkali dibuat takjub ketika melihat perempuan yang mengenakan jilbab. Mereka punya aura tersendiri tatkala berada di antara mereka-mereka yang menganggap pakaian mini adalah hal yang biasa. 

Namun ada ketakjuban jenis lain ketika dihari itu saya memperhatikan perempuan berjilbab yang duduk sendiri pada meja di depan sana. Jilbabnya membingkai pas pada wajah cantiknya, dipadu dengan pakaian yang menutupi tinggi tubuhnya yang semampai. Perempuan ini sepertinya tidak suka memakai busana yang hanya sekedar pembungkus tubuh yang menampakkan lekukan-lekukan anggota tubuhnya. Perempuan ini memakai pakaian yang selayaknya perempuan yang disebut berhijab. Di meja itu ia duduk sendiri, kepalanya menunduk acuh. Tampaknya ia sedang asyik memainkan blackberry yang ada di genggamannya. Dan pada tangan yang satu, jari-jarinya mengapit sebatang rokok. Sesekali rokok itu dihisapnya. Asap rokok mengepul di sekitar mejanya. Saya tak menyangka. Seketika itu saya takjub. Sebuah ketakjuban yang benar-benar lain. Pikiran saya tiba-tiba dihinggapi banyak pertanyaan, banyak penilaian. Di kota ini saya memang tidak sulit untuk menemukan perempuan-perempuan yang menghisap rokok di tempat-tempat umum. Tidak ada perasaan risih sedikit pun yang mereka tampakkan.

Jangan salah. Merokok itu bukan persoalan gender. Ia adalah persoalan kesehatan. Sudah lama saya berhenti merokok.

Pernah pula suatu sore saya mendapati diri ini harus terburu-buru mengejar jamaah maghrib yang sudah dimulai. Saya mengambil wudhu lalu menuju tangga mesjid. Di tangga itulah saya berpapasan dengan perempuan yang beberapa saat sebelumnya turun dari mobil. Perempuan itu nampaknya juga bergegas mengejar jamaah maghrib yang hampir usai. Ia menuju lemari berisi mukena pada barisan shaf perempuan yang berada di belakang. Kulitnya putih mulus, rambutnya hitam terawat dan panjang hingga melewati bahu. Ia mengenakan pakaian terusan yang tak berlengan. Pakaian itu memperlihatkan sebagian punggung hingga keseluruhan lengannya yang putih mulus itu. Terusan yang ia pakai nampaknya tidak cukup panjang untuk menutupi keseluruhan betisnya. Salah kostumkah perempuan itu? Saya tidak tahu. Yang saya tahu pakaiaannya sangat menggoda dan menantang imajinasi. Jika nanti saya sudah beristri, saya akan meminta isteriku untuk berdandan dan memakai busana seperti perempuan di tangga mesjid itu. Saya akan meminta isteriku berdandan seperti itu di rumah. Hanya di rumah saja, dan pasti saya betah.

Malam ini saya menulis lagi. Saya teringat pada salah seorang perempuan yang menjadi kawan saya. Dia pernah menulis: "Seandainya keimanan seseorang hanya didasarkan pada penampilan luar saja, maka betapa mudahnya masuk surga".

* * *

Minggu, 09 September 2012

Rumus Kebaikan

sehari selembar benang
sedikit demi sedikit 
lama-lama menjadi kain
lama-lama menjadi bukit

* * *

Jumat, 07 September 2012

masa depan, oh masa depan

Akhir-akhir ini saya menjadi jarang membaca buku. Saya lebih sering menghayal. Terhadap kalkulasi-kalkulasi di-masa-depan-lah khayalan saya itu berlabuh. Di dalamnya ada kekhawatiran. Di dalamnya ada optimisme.

* * *