Kamis, 27 September 2012

Hari Ini Anak Muda Ini Gajian Lagi

Tanggal dua puluh tujuh datang lagi. Hari ini anak muda ini gajian lagi. Untuk ukuran anak muda gajiku di perusahaan ini cukup besar. Apalagi jika ditambah dengan komisi-komisi bulanan yang juga selalu ada.

Sebelum bekerja di perusahaan ini, saya pernah bekerja mengelola warnet seorang teman. Bekerja di warnet ini waktu itu hanyalah sebagai kesenangan agar tidak menganggur diawal-awal kelulusan kuliah saya. Tidak ada negosiasi gaji. Mendapat jaminan makan setiap hari plus bersenang-senang di depan komputer rasanya sudah cukup. Setelah tanggal dua puluh setiap bulannya barulah kami akan melihat saldo pendapatan warnet. Berapa biaya tagihan rekening listrik dan provider internet, berapa biaya maintenance komputer selama bulan itu, berapa biaya makan dan minum, serta berapa yang harus disisihkan buat membayar cicilan pinjaman. Sisa dari semua pengeluaran-pengeluaran itulah yang akan kami bagi. Di warnet teman ini saya bekerja kurang lebih tujuh bulan lamanya.

Sebelum bekerja di warnet teman tadi, saya pernah bekerja mengelola usaha pangkas rambut. Kami menamainya Pangkas Rambut Mahasiswa Militan. Lokasinya di kompleks kos-kosan mahasiswa. Pelanggan kami sebagian besar adalah mahasiswa. Waktu itu saya juga masih mahasiswa. Prinsip pengelolaan usaha pangkas rambut ini adalah prinsip bagi hasil, fifty-fifty. Ada pihak yang menyiapkan tempat dan peralatan pangkas rambut. Ada pihak yang mengelola sebagai tenaga pangkas rambut. Saya bersama seorang teman yang juga adik tingkat saya di kampus diberikan kepercayaan untuk menjalankan pangkas rambut ini. Karena kami masih berkuliah pangkas rambut ini buka mulai jam empat sore hingga jam sembilan malam.

Bakat menggunting rambut memang sudah mulai saya latih sejak SMA. Ketika itu yang menjadi kelinci percobaan saya adalah adik dan anak-anak tetangga di sekitar rumah. Setelah mulai terampil banyak teman-teman SMA yang mulai mempercayakan rambutnya digunting oleh saya. Pada saat kuliah jam terbang saya pun semakin bertambah. Mulai dari teman-teman mahasiswa di kos-kosan, hingga senior-senior bahkan beberapa junior saya di kampus sering kali merasakan dentingan gunting yang saya mainkan di kepala mereka. Ketika kuliah dulu selain buku-buku, di dalam tas yang saya ranselkan di punggung juga selalu ada gunting dan sisir.

Saya masih ingat, ada seorang teman saya. Namanya Adi Kurniawan. Teman ini sejak kepalanya digunduli pada saat ospek, sejak itu dia tidak pernah lagi menggunting rambutnya. Rambutnya dibiarkan terus tumbuh hingga beberapa tahun setelahnya. Ketika teman ini dipercaya menjadi Ketua BEM di Fakultas rambut panjangnya tetap setia ia pelihara. Saya juga ingat kelakar kami ketika menyinggung-nyinggung tentang rambut panjangnya. Ia selalu bilang selama rambutnya masih gondrong itu berarti suasana hatinya masih merah. Masih ada perlawanan yang harus dilakukan. Ketika suasana hati berubah menjadi merah jambu, pada saat itulah ia baru akan memotong rambutnya. Jika rambut gondrong itu harus dipendekkan, saya minta kepadanya agar urusannya diserahkan ke saya. Dan benar saja, dikemudian hari urusan itu tuntas saya jalankan.

Saya harus berterima kasih kepada teman-teman di kampus. Karena dari mereka-lah kemampuan menggunting rambut yang saya miliki menjadi semakin terasah. Dalam hal menggunting rambut saya selalu mempunyai prinsip bahwa yang digunting rambutnya tidak akan pernah lebih tampan dari yang menggunting. Jangan pernah berharap, hehe. Tentu saja ini hanya candaan saya untuk membangkitkan imajinasi pada gaya potongan rambut yang diminta teman-teman.

Harus saya akui, bekal keterampilan mencukur inilah yang sangat menolong kondisi keuangan saya menjelang akhir-akhir kemahasiswaan saya. Waktu itu perasaan segan dan malu sudah begitu besarnya jika harus selalu meminta kepada Mamak dan Bapak, apalagi dengan kuliah yang belum juga kelar. Pendapatan bagi hasil yang saya peroleh melalui usaha pangkas rambut tadi sudah lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan harian. Sesekali saya pun bisa mentraktir teman-teman. Sejak mengelola pangkas rambut tak pernah lagi ada istilah tanggal tua. Tak pernah lagi ada mahasiswa rantau galau pada tanggal tua.  Kami akan menerima bagi hasil keuntungan pada setiap tanggal satu.

Dua setengah tahun saya mengelola usaha pangkas rambut ini. Enam bulan setelah di wisuda dari kampus, saya minta izin kepada pemilik usaha. Saya ingin mencoba kesenangan baru, mungkin juga tantangan baru. Maka bergabunglah saya dengan beberapa teman mengelola sebuah usaha warnet yang ceritanya sudah saya singgung di atas tadi.

Tanggal dua puluh tujuh datang lagi. Hari ini anak muda ini gajian lagi. Untuk ukuran anak muda gajiku di perusahaan ini cukup besar. Apalagi jika dibandingkan dengan dua pekerjaan yang pernah saya jalani sebelumnya.

Pengalaman bergaul dengan sesuatu yang kita sebut uang telah memberikan pemahaman pada diri ini bahwa uang selalu tak pernah cukup untuk memenuhi keinginan kita. Seberapa pun banyak uang yang kita miliki. Jika hidup ini hanya diukur dengan uang maka kita akan bingung dibuatnya. Karena uang tidak selalu berhubungan linear dengan kepuasan batin.

Uang yang kita miliki tak akan pernah cukup. Sudah seperti itulah tabiatnya uang. Sehingga jangan pernah menunggu cukup untuk membantu sesama. Lihat sekelilingmu, siapa yang butuh dibantu dengan uangmu. Jangan menunggu. Begitu nasehat Bapak saya sebelum melepas saya kembali ke kota ini pada lebaran yang baru lalu.

Untuk ukuran anak muda pendapatanku di perusahaan ini memang cukup besar. Apalagi jika dibandingkan dengan dua pekerjaan yang pernah saya jalani sebelumnya. Jika harus saya sandingkan dengan keinginan-keinginan yang menghuni pikiran ini rasanya uang saya memang tak pernah cukup. Tidak dulu, tidak sekarang.  Di sisi lain, saya pun selalu merasakan perasaan yang sama, perasaan hidup yang lebih hidup setiap kali ada teman yang bisa saya bantu dengan uang yang saya miliki. Apakah ketika masih dulu. Apakah ketika kini.

Barangkali memang ada benarnya nasehat orang-orang suci, memberi itu terangkan hati.


* * *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar