Rabu, 29 September 2010

Diam

Telah beberapa hari saya lebih banyak diam. Tak banyak bicara. Saya hampir tak pernah kemana-mana. Sesekali saja, kadang pagi atau sore, saya pergi ke kios kecil di sebelah kontrakan saya. Jaraknya hanya beberapa meter saja. Selalu tidak banyak yang hendak saya beli. Paling-paling cuma sabun mandi, pasta gigi, dan sampo. Atau mie dan kopi instan.

Sore tadi saya ke kios kecil itu lagi. Lampu di kamar saya tiba-tiba saja mati, tak menyala lagi. Saya mendapatkan bola lampu yang baru di kios itu. Kini, anak bungsu si pemilik kios telah berumur 2 tahun. Ia kini sudah pandai bicara. Meskipun belum jelas apa yang dibicarakannya. Benda apapun yang dipegangnya selalu diajaknya berbicara.

Hari ini saya masih lebih banyak diam. Dibeberapa hari ini, setiap kali ke kios kecil itu dan menyebutkan nama-nama benda yang hendak saya beli, setiap kali itu juga saya selalu mendengar suara asing. Nadanya berat dan serak. Sumbernya tak berjarak dengan diri saya. Bahkan dengan urat leher saya sekalipun. O, bukan, suara itu bukan suara siapa-siapa. Suara itu suara saya sendiri.

Beberapa hari ini tenggorokan saya memang terasa gatal, sangat gatal. Karenanya saya terpaksa tak banyak berbicara. Kata-kata yang selalu terdengar hanyalah: uhuk, uhuk, uhuk. Jika melihat dengan kacamata medik, maka pastilah ada virus atau bakteri yang sedang menyerang teggorokanku itu. Jika melihat fenomena cuaca yang tak menentu, maka barangkali diakibatkan oleh fenomena cuaca tadi.

Namun, apa pun penyebab uhuk-uhuk tadi, terpaksa saya memang harus diam. Saya mungkin disuruh tak banyak bicara dulu buat beberapa saat. Buat menyadari diri dari kata-kata yang telah saya perdengarkan selama ini. Adakah kata-kata itu bermanfaat atau tidak.

Minggu, 12 September 2010

Perjalanan dari malam ke malam

Saat ini saya sedang berada di tanah kelahiranku, Raha. Seperti biasa, sejak merantau ke Makassar 8 tahun lalu, mudik Lebaran telah menjadi agenda khusus. Tiga tahun terakhir ini, alhamdulillah saya bisa merutinkannya setahun sekali.

Dengan menumpang kapal laut, perjalanan ke kotaku ini akan menempuh waktu kurang lebih 15 jam. Namun pada kepulangan kali ini, saya menumpang kapal yang lajunya sedikit lebih lambat. Dengan menempuh waktu 27 jam akhirnya pada pukul 12 malam pada dua hari sebelum lebaran saya berlabuh di pelabuhan Raha. Saya menyebut mudik kali ini sebagai perjalanan dari malam ke malam.

Melalui pengeras suara dari kantor pelabuhan, kami disambut alunan lagu dari sebuah radio tape. Lagu itu dinyanyikan oleh suara serak seorang perempuan muda. Mungkin banyak yang tidak peduli. Tetapi barangkali ada juga yang tersentuh disinggung lagu itu.

Mesin kapal telah dimatikan. Perlahan kami merapat ke dermaga. Tali kapal dilemparkan untuk kemudian ditangkap oleh beberapa orang yang telah menunggu di dermaga. Tangga kapal belum juga diturunkan. Satu persatu penumpang mendekati pintu tangga, berdesakan dan mencoba untuk mengantri. Namun tampak dari wajah-wajah itu bahwa perasaan hampir tak bisa lagi diajak bersabar. Dermaga telah disesaki oleh para penjemput. Jumlahnya mungkin tiga kali lebih banyak dari penumpang yang akan turun. Teriakan mulai terdengar bersahut-sahutan. Dari atas kapal. Juga dari dermaga. Jika si penumpang melihat sosok penjemputnya berdiri di dermaga, maka ia akan meneriakinya. Jika si penjemput melihat sosok yang akan dijemputnya berdiri di dek kapal, maka ia akan meneriakinya. Begitulah biasanya. Begitulah adanya hingga tangga kapal diturunkan.
 
Saya pun mengambil posisi diantara penumpang yang akan turun. Turut terdesak, turut berdesakan. Lagu tadi masih tetap mengalun. Suara serak perempuan tadi masih tetap menyanyikan bait-bait di lagu itu.

Dunia ini panggung sandiwara
Ceritanya mudah berganti
Ada peran wajar dan ada peran berpura-pura
Mengapa kita bersandiwara
.......

Selamat Idul Fitri, Mohon Maaf Lahir dan Batin