Kamis, 28 Juli 2011

Sudah lama saya tidak bermain bola

Sudah lama saya tidak bermain bola. Jika memakai ukuran liga profesional, maka lamanya saya tidak bermain kurang lebih setengah musim. Setengah musim bukanlah perkara remeh. Ada banyak yang bisa berubah dalam setengah musim. Boleh jadi lemak perut akan menumpuk. Boleh jadi berat badan akan menaik. Boleh jadi pergerakan akan melambat. Boleh jadi akurasi umpan dan operan akan menurun. Dan, boleh jadi kekuatan tendangan akan melemah.

Itulah sebabnya sebelum musim kompetisi dimulai banyak klub-klub besar mengadakan pertandingan pemanasan. Tujuannya tidak lain untuk mengembalikan performa tim dan para pemainnya setelah menjalani masa liburan. Maka demi tujuan inilah, klub-klub tadi mengadakan tur pra musim ke berbagai negara melawan berbagai klub.

Sudah lama saya tidak bermain bola. Nasehat untuk menggantung sepatu barangkali cocok untuk saya pertimbangkan. Namun, saya belum punya keinginan untuk gantung sepatu. Sehingga hal yang mungkin tepat saya lakukan sekarang adalah menunggu, menunggu hingga bursa transfer pemain musim ini ditutup pada Agustus nanti. Menunggu kalau-kalau ada klub Eropa yang ingin mengontrak saya. Namun menunggu terkadang mengandung ketidakpastian, dan ketidakpastian terkadang melahirkan kekecewaan. Maka, dalam menghadapi ketidakpastian yang bisa mengecewakan ini, yang bisa saya lakukan adalah berandai-andai dan bertindak seolah-olah. Berseolah-olah saya ini pemain professional.

Ah, sudahlah. Mari berhenti berceloteh yang tidak jelas. Begini, saya menyukai sepak bola. Saya menyukai sepak bola sebagai hobby. Sekedar bermain dan sekedar mengeluarkan keringat. Namun, tentang bermain bola ini memang telah lama tidak saya lakukan. Barangkali karena telah lama itu, maka akhir-akhir ini saya banyak memikirkan tentang bola. Pikiran tentang bola ini barangkali dipicu oleh aktifitas bekerja yang hanya memungkinkan saya untuk menonton saja, tanpa bisa bermain. Padahal saya juga ingin mempraktekkan aksi tendangan penalty yang lagi jadi perhatian dunia saat ini. Menendang penalty dengan membelakangi gawang itu.

Namun, keberadaan saya kini yang sedang menjadi penonton seharusnya menjadi sebuah kesyukuran. Bukankah ada anekdot yang mengatakan bahwa penonton selalu lebih pintar daripada pemain? Dengan menjadi penonton saya bisa melihat pertandingan dengan cakrawala yang lebih luas. Saya bisa mengetahui mana pergerakan pemain yang lamban dan salah menempatkan posisi. Saya bisa mengetahui pemain mana yang tidak bisa mengikuti irama permainan tim. Saya bisa mengetahui intrik-intrik permainan, mana yang hanya diving dan mana yang benar-benar pelanggaran. Dan kepada pemain yang bermain tidak sesuai dengan ekspektasi saya yang menonton, maka dengan lantang saya bisa seenaknya berteriak: “bodoh kamu!”

Barangkali, menyadari penonton selalu lebih pintar daripada pemain maka sang pelatih akan selalu memilih untuk menjadi penonton dan berdiri di pinggir lapangan. Memberikan instruksi-instruksi tanpa terpancing untuk ikut bermain ke dalam lapangan. Sepenting dan segenting apapun pertandingan yang sedang dihadapi.

Menyadari penonton selalu lebih pintar daripada pemain, maka biasanya pula para pemain akan menonton rekaman pertandingan yang telah mereka mainkan. Menonton diri mereka sendiri. Melihat pada saat mana mereka melakukan kesalahan, melihat pada saat mana mereka melakukan pelanggaran. Sehingga dengan menonton diri sendiri seperti ini, maka dipertandingan selanjutnya kesalahan-kesalahan tadi sudah tidak diulangi lagi. Mungkin inilah rahasia klub-klub hebat yang memenangkan banyak trophy itu.

Saya memang sudah lama tidak bermain bola. Menjadi penonton dan menonton ke dalam diri sendiri barangkali perlu untuk mengetahui bahwa tidak setiap waktu saya bisa bermain bagus dalam lapangan kehidupan ini.

Selamat Menyambut Ramadhan, dan Mohon Maaf untuk tontonan kurang menarik yang saya mainkan selama ini.. :)

Sabtu, 23 Juli 2011

Kampung Indonesia

Sepulang kantor lalu menidurkan diri lalu terbangun tengah malam, menjadikan waktu begitu panjang dan pagi begitu jauh. Hari-hari seperti ini, di akhir pekan begini, sudah seharusnya memang waktu tak perlu terlalu cepat berdetik. Biarlah ia melambat dari seperti biasanya.

Terbangun tengah malam dengan kondisi perut yang baru terisi sekali di hari ini, menambah semakin panjangnya penantian terbitnya pagi. Tapi itu bukan masalah. Justru ini akan membuat pertemuan dengan pagi menjadi lebih indah nantinya. Apalagi pagi nanti adalah hari Sabtu. Saya bisa kemana saja sesuka yang saya mau, tanpa harus terikat oleh rutinitas.

Yang ingin saya lakukan ketika tiba pagi nanti adalah segera dan sesegera mungkin menyantap nasi kuning hangat. Saya membayangkan pastilah rasanya akan sangat nikmat sekali. Atau, kalau perlu bersama dengan kopi susu hangat. Dan sepertinya saya akan menambahkan dua buah telur ceplok pada nasi kuning itu. Ah, kita lihat saja nanti.

Sebenarnya ketika terbangun tadi dan menengok berita-berita di internet, saya menemukan banyak sekali pemberitaan tentang Indonesia kita. Dan yang sekarang sedang ramai dibicarakan adalah soal Nazaruddin. Setelah sekian lama kabur dan menyembunyikan diri tiba-tiba ia muncul di tivi dan berwawancara. Namun, dimana tepatnya ia berada tak dikatakannya. 

Soal Nazaruddin ini, seorang kawan distatus facebooknya menulis seperti ini: Gajah mati meninggalkan gading, Harimau mati meninggalkan belang, Manusia mati meninggalkan nama, dan Nazaruddin pergi meninggalkan teman-temannya.

Oleh sebab itulah barangkali disebuah pidatonya Presiden SBY sebagai Dewan Pembina Partai Demokrat, yang juga partainya Nazaruddin, mengajak agar si Nazaruddin segera pulang dan kembali ke Indonesia. Pulang ke Indonesia menemui teman-temannya dan mengungkapkan kebenaran kicauannya selama ini.

Oh iya, membicarakan Nazaruddin, saya teringat sebuah lagu Manado, Pulang Jo, pulang jo.. pulang jo.. biar busu-busu... itu kampung sandiri...

Dan memang, ini kampung sendiri, Indonesia. Biar busuk-busuk, saya masih bisa menantikan pagi lalu berharap menemukan nasi kuning hangat dengan dua telur mata sapi di atasnya. Juga dengan segelas kopi susu hangat.

Manado, 23 Juli 2011

Minggu, 10 Juli 2011

Bicara tentang buku

Saya pernah menuliskan seratus buah cita-cita yang ingin saya raih. Cita-cita itu saya tulis dalam sebuah buku kecil. Buku kecil itu masih saya bawa kini dan masih menyimpan cita-cita itu. Saya tidak ingat lagi pastinya keseratus cita-cita itu. Namun untuk mengingatnya saya pun tak ingin membuka buku kecil tadi. "Cukup ditulis apa cita-citanya dan kapan target tercapainya, biarkan masuk ke alam bawah sadar, dan tengoklah kembali daftar cita-cita itu setelah lama nanti", begitu kira-kira saran dari metode penulisan cita-cita tadi.

Maka, tanpa membuka buku kecil itu, saya mengingat salah satu cita-cita yang tertulis di dalamnya. "Saya ingin punya perpustakaan pribadi".

Perpustakaan pribadi yang seperti apa? Ketika dulu menuliskan cita-cita ini yang terpikir hanyalah bahwa saya punya banyak buku dan dibeli dengan uang hasil kerja sendiri. Tidak perlu sekali beli. Cukuplah sebuah dulu, kemudian sebuah lagi, hingga lama-lama buku-buku itu jadi banyak. Begitulah proses untuk mewujudkan cita-cita memiliki perpustakaan pribadi itu.

Awalnya, saya tidak muluk-muluk untuk mewujudkan cita-cita itu. Cukup sebuah buku dalam sebulan, pikirku. Sehingga dalam setahun saya akan punya dua belas buku, dan dalam sepuluh tahun saya sudah akan punya seratus dua puluh buku.

Buku seperti apa yang akan menjadi koleksiku? Ini juga tidak pernah saya pikirkan. Namun saya lebih tertarik membaca buku sastra dan segala turunannya, filsafat, pengembangan diri dan bisnis, perkembangan dunia dan sejarahnya, serta buku biografi. Dengan melihat kecenderungan itu, barangkali kelak perpustakaanku akan penuh dengan buku-buku dengan tema-tema tersebut.

Kemudian, mulailah saya mengumpulkan buku. Membeli sebuah, lalu sebuah lagi. Seperti misi saya diawal tadi: sebulan sebuah buku. Untuk mensukseskan misi itu, maka saya mengincar buku-buku tebal dengan halaman yang beratus-ratus. Dengan halaman yang beratus-ratus itu saya berharap tidak akan kehabisan bahan bacaan dan kesepian hingga tiba bulan berikutnya untuk membeli sebuah buku lagi. Dengan demikian, misi sebulan sebuah buku, bukan saja berarti bahwa sebulan sebuah buku bertambah, tetapi juga berarti sebulan ada sebuah buku yang selesai dibaca.

Namun lihatlah godaan buku-buku itu. Di mata ini mereka ibarat gadis-gadis cantik. Lirik sana, wow. Lirik sini, aduhai. Terhadap gadis-gadis tadi kita diperintahkan untuk menundukkan pandangan, namun terhadap buku-buku menggoda itu perintah mana yang bisa menahan? Maka setiap kali ke toko buku, saya tidak akan sebentar saja disana. Saya akan mendatangi buku yang menggoda, menyapanya, meraba tekstur sampulnya, membolak-balik halamannya, membaca testimoni orang-orang, dan memastikan bahwa bukan cuman judulnya saja yang menarik. Saya selalu teringat pesan: don't just the book by it cover.

Dan ngomong-ngomong, misi saya di atas tadi tentang sebulan sebuah buku hanyalah omong kosong belaka. Misi itu gagal total. Setiap kali ke toko buku saya selalu digoda oleh banyak buku menarik. Beberapa diantaranya tak mau melepaskan genggamannya dari tangan ini. Mereka memohon agar diizinkan ikut dengan saya agar mereka segera terbebas dari toko buku itu. Kalaulah bukan karena dompetku yang meneriaki pastilah sudah saya bawa mereka semua ikut bersamaku. Namun sebelum meninggalkan toko, kepada buku-buku yang masih berkeras untuk ikut saya selalu menitipkan janji disela-sela halaman mereka bahwa saya akan kembali lagi esok, atau esoknya lagi.

Akhirnya, saya harus membuat pengakuan bahwa kini kemampuanku membeli buku lebih cepat dari pada kemampuanku membaca. Apalagi kau tahu kan, saya selalu tertarik membeli buku-buku tebal? Kau juga mungkin tahu, betapa banyak buku-buku tebal yang bagus-bagus di toko sana? Beberapa diantaranya telah memilih saya sebagai tuannya. Dan salah satunya baru saja saya tamatkan membacanya, buku kedua dari novel biografi Muhammad, para pengeja hujan.

Selamat membaca.